Masa Depan Kita di Laut

Jum'at, 06 Juni 2014 - 11:05 WIB
Masa Depan Kita di Laut
Masa Depan Kita di Laut
A A A
INDONESIA tengah memasuki masa transisi pemerintahan dengan tiga warisan yang tidak pernah diharapkan: kemiskinan, pengangguran, dan nyaris kelaparan. Saya menyebut kemiskinan sebab pada kenyataannya sekitar 100 juta rakyat Indonesia hidup dengan status ekonomi rentan: miskin dan hampir miskin.

Lalu, tidak kurang dari 40 juta jiwa di antaranya tengah berjuang mendapatkan pekerjaan tetap dan layak. Meski terkesan seperti lelucon menyebut Indonesia rentan kelaparan. Fakta belakangan terakhir menunjukkan bahwa tidak saja faktor kemiskinan yang menyebabkan rakyat tidak mampu membeli pangan. Ikhtiar negara memenuhi kebutuhan pokok rakyat dari produksi dalam negeri juga kian lemah.

Puncaknya, sekitar USD12 miliar lenyap untuk impor pangan, lebih dari USD40 miliar untuk impor energi, dan utang luar negeri menumpuk tiap tahun. Nah , jika dengan penduduk sekitar 250 juta jiwa saja kita terseok-seok memenuhi janji kemerdekaan: melindungi, menyejahterakan, dan mencerdaskan tiap-tiap anak bangsa, bagaimana rakyat Indonesia boleh optimistis merayakan 100 tahun kemerdekaannya dengan (proyeksi) penduduk mencapai 450 juta jiwa kelak?

Bergeser ke Laut?
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru-baru ini berpesan bahwa Indonesia akan menghadapi persoalan serius pada 20, 30, 50 tahun mendatang jika gagal memanfaatkan potensi laut. Karena itu, paradigma pembangunan jangka panjang Indonesia harus diubah menjadi pembangunan berbasis darat-maritim (Kompas , 1/2).

Celakanya, meski dua periode pemerintahan SBY telah didukung porsi APBN maksimum (sepanjang sejarah republik) dan dengan anggaran kelautan yang terus tumbuh, wajah kemiskinan di kampung-kampung nelayan dan pulau-pulau kecil tidak juga berubah.

Ketimpangan pembangunan antara pulau besar dan kecil maupun pulau terdepan dan pedalaman kian tampak. Kejahatan di laut berupa illegal fishing, illegal logging, illegal mining, human trafficking, hingga perdagangan narkoba melalui jalur laut terus berlanjut. Belakangan investasi asing dimudahkan (ikut) mengelola perairan pesisir dan pulau-pulau kecil melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 saat perjanjian batas perairan dengan 10 negara tetangga belum sepenuhnya tuntas.

Perubahan paradigma yang disebutkan Presiden SBY terbukti lebih dilatari kesadaran ekonomi (jangka pendek) yakni menipisnya sumber daya alam di darat dan tanpa mempertimbangkan kepentingan lebih besar: laut sebagai ruang juang dan ruang hidup bangsa.

Sebagai ruang juang, Indonesia berbatasan langsung dengan 10 negara di laut dan hanya dua negara di darat. Jika tidak awas dan terus diperjuangkan, keterhubungan perairan Indonesia dengan laut dunia (convoyer belt) dapat menjadi ancaman serius bagi masuknya pengaruh asing seperti barang, jasa, modal, ideologi, penyakit, hingga kriminalitas yang mengancam keamanan dan kedaulatan bangsa Indonesia.

Laut juga bukanlah lumbung ekonomi (ekstraktif) baru yang selalu siap menggantikan kebangkrutan sumber daya alam di darat. Sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945 dan Deklarasi Djuanda 1957 pertama kali dikumandangkan, laut telah pula menjadi ruang hidup bangsa dengan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat menjadi tujuan pengelolaannya.

Masa Depan
Masa depan adalah hari ini. Begitu pun wajah Indonesia 2045 merupakan hasil karya dan cipta anak-anak bangsa hari ini. Karena itu, Pemilu 2014 harus menghasilkan perubahan. Di hulu pemerintahan ke depan perlu memasukkan aspek kelautan, termasuk kekayaan budaya dan pengetahuan bahari bangsa ke tiap jenjang pendidikan. Jika saat ini hanya 20% dari seluruh sekolah kejuruan di Indonesia yang membidangi kelautan, ke depan perlu ditingkatkan menjadi 50%. Dalam jangka panjang, strategi ini dapat menghasilkan generasi Indonesia dengan mental dan adab kelautan yang kuat.

Sedangkan jangka pendek akan merombak struktur tenaga kerja kelautan dari sebelumnya tidak terlatih (unskill labour) ke berdaya saing tinggi (skill labour). Kita harus merevitalisasi (bukan menambah) armada perikanan rakyat agar lebih efektif dan efisien melakukan penangkapan ikan di perairan kepulauan. Lalu, secara bertahap merestrukturisasi 1.000 kapal yang ada di perairan kepulauan ke perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia dan laut lepas.

Data termutakhir dari Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa sebanyak 99,5% dari total armada perikanan nasional Indonesia beroperasi di perairan kepulauan atau berjarak kurang dari 12 mil dari garis pantai. Selain untuk mengoptimalkan produksi pangan perikanan, baik di perairan kepulauan maupun ZEEI strategi ini sekaligus dapat mempersempit masuknya kapal-kapal ilegal ke perairan Indonesia. Reformasi sektor keuangan pun menjadi mutlak guna mendukung pembangunan hulu-hilir kelautan.

Di hilir pemerintah dapat memperkuat konektivitas antarpulau dengan armada dagang dan transportasi handal guna mendukung hilirisasi industri nasional dan mendistribusikan layanan kesejahteraan ke pulau-pulau kecil di timur Indonesia. Sebagai gambaran, sejak Orde Baru hingga penghujung pemerintahan Presiden SBY, hampir 80 pelabuhan perikanan berada di kawasan barat Indonesia.

Minimnya pelabuhan perikanan di timur Indonesia telah menyulitkan bangkitnya industri pengolahan ikan nasional. Terakhir, di tengah cuaca ekstrem dan arus liberalisasi yang semakin kuat, pemerintah perlu memfasilitasi secara rutin informasi cuaca, lokasi penangkapan ikan, dan harga ikan kepada nelayan dan penambak.

Jika sebelumnya cabai keriting dan sederet komoditas pertanian dapat mudah diikuti perkembangan harga hariannya melalui media cetak dan elektronik, ke depan layanan informasi serupa harus tersedia untuk sedikitnya 18 komoditas ikan konsumsi rakyat Indonesia.

Harapannya, aktivitas perikanan menjadi lebih aman, efisien, begitu pun nelayan tidak lagi dirugikan dalam penetapan harga jual ikan. Meski belum sempurna, visi misi dua calon presiden telah memberi peluang terhadap perubahan (mendasar) strategi pembangun nasional. Maka itu, hanya dengan ikhtiar berbasis kelautan, presiden hasil Pemilu 2014 dapat mengantarkan Indonesia ke masa depan lebih baik.

M RIZA DAMANIK
Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia; Penulis Buku ”Hak Asasi Nelayan”
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6312 seconds (0.1#10.140)