Berbeda Pilihan
A
A
A
KOMISI Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan dua pasangan capres-cawapres dalam pemilu presiden (pilpres) 9 Juli mendatang. Keduanya adalah pasangan nomor urut 1 Prabowo-Hatta yang diusung Partai Gerindra, Partai Golkar, PPP, PKS, PBB, serta pasangan nomor urut 2 Jokowi-Jusuf Kalla yang dijagokan PDIP, PKB, Partai Nasdem, dan Partai Hanura.
Dengan keputusan KPU itu, berarti kita harus memilih satu di antara dua pilihan dalam pilpres nanti, Prabowo-Hatta ataukah Jokowi-Kalla. Sebenarnya peluang untuk memunculkan pasangan capres-cawapres yang ketiga masih terbuka dengan konfigurasi perolehan pemilu legislatif 9 April lalu.
Namun, parpol tersisa tak mampu mencapai kesepakatan untuk memunculkan pasangan capres-cawapres dari poros ketiga. Suka tidak suka, dua pasangan capres-cawapres inilah yang harus kita pilih dalam pilpres 9 Juli. Dua-duanya memiliki kelebihan dan tentu saja tak lepas dari kekurangan.
Dua-duanya juga memiliki latar belakang, rekam jejak, serta prestasi masing-masing. Siapa yang bakal terpilih sebagai presiden-wapres periode 2014-2019, biarkan rakyat yang menentukan. Kedua pasangan memiliki hak untuk meyakinkan dan mengajak rakyat untuk memilih mereka sesuai aturan dan ketentuan undang-undang yang mengatur.
Kita yakin masyarakat sudah mampu dan berpengalaman dalam memilih pemimpin baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden. Artinya di level yang paling menentukan, rakyat sudah terbiasa berbeda pilihan.
Dan bagi mereka berbeda pilihan adalah hal biasa, tidak perlu dimaknai sebagai fanatisme buta yang bisa menyulut konflik antarkelompok pendukung. Konflik fisik tidak akan membawa manfaat apa pun bagi kedua kandidat. Dua-duanya akan dirugikan dan yang paling dirugikan adalah bangsa Indonesia. Kita perlu mengingatkan kembali tentang berbeda pilihan yang sebenarnya sudah membudaya di Indonesia. Ini mengingat akhirakhir ini rivalitas dua kelompok pendukung kedua kandidat begitu tajam. Salah satunya yang terlihat jelas dari perang opini dan komentar di media sosial (sosmed).
Jika rajin menyimak rivalitas itu, kita membayangkan telah terjadi perang terbuka antara dua kubu. Yang satu fanatik pro dan satunya fanatik anti terhadap kontestan pilpres. Yang lebih mencengangkan perang di sosmed ini sudah menjurus pada isu-isu pribadi, SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), dan wilayah yang tidak pantas menjadi bahan perdebatan antarcapres.
Fitnah, stigma, tuduhan tanpa dasar campur baur dengan sentimen negatif, nyinyir, dan serba pokoknya menjadi menu sehari-hari perang antar pendukung capres-cawapres di sosmed. Kita yakin dua kontestan pilpres (Prabowo maupun Jokowi) yang siap berkompetisi sehat dan fair ini jika membaca komentar dan perang opini tentang mereka di media sosial, juga akan terperangah.
Pasti mereka akan mengingatkan tim sukses, relawan, ataupun sayap-sayap pendukungnya untuk tidak meniru atau terlibat dalam perang opini yang seperti itu. Justru kita berharap tim sukses dan pemenangan kedua pasangan harus sering-sering bertemu untuk menetralisasi dan mendinginkan situasi yang memanas di jagat sosmed. Kedua tim juga memiliki kewajiban agar perang sosmed tidak menjalar dan terbawa ke wilayah akar rumput. Sebab jika itu meledak, akibatnya bisa fatal dan mencoreng proses demokrasi Indonesia yang sedang menjadi sorotan dunia.
Sekali lagi, kedepankan sikap bahwa berbeda pilihan itu lumrah. Toh , nanti hanya akan ada satu pasangan capres-cawapres yang akan terpilih. Bagi yang menang, tentu tidak boleh sewenang-wenang, jemawa, atau lupa daratan. Demikian pula bagi yang kalah, bukan berarti akhir dari segalanya. Beri selamat kepada yang menang dengan kepala tegak dan siap berjuang untuk Pemilu 2019.
Dengan keputusan KPU itu, berarti kita harus memilih satu di antara dua pilihan dalam pilpres nanti, Prabowo-Hatta ataukah Jokowi-Kalla. Sebenarnya peluang untuk memunculkan pasangan capres-cawapres yang ketiga masih terbuka dengan konfigurasi perolehan pemilu legislatif 9 April lalu.
Namun, parpol tersisa tak mampu mencapai kesepakatan untuk memunculkan pasangan capres-cawapres dari poros ketiga. Suka tidak suka, dua pasangan capres-cawapres inilah yang harus kita pilih dalam pilpres 9 Juli. Dua-duanya memiliki kelebihan dan tentu saja tak lepas dari kekurangan.
Dua-duanya juga memiliki latar belakang, rekam jejak, serta prestasi masing-masing. Siapa yang bakal terpilih sebagai presiden-wapres periode 2014-2019, biarkan rakyat yang menentukan. Kedua pasangan memiliki hak untuk meyakinkan dan mengajak rakyat untuk memilih mereka sesuai aturan dan ketentuan undang-undang yang mengatur.
Kita yakin masyarakat sudah mampu dan berpengalaman dalam memilih pemimpin baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden. Artinya di level yang paling menentukan, rakyat sudah terbiasa berbeda pilihan.
Dan bagi mereka berbeda pilihan adalah hal biasa, tidak perlu dimaknai sebagai fanatisme buta yang bisa menyulut konflik antarkelompok pendukung. Konflik fisik tidak akan membawa manfaat apa pun bagi kedua kandidat. Dua-duanya akan dirugikan dan yang paling dirugikan adalah bangsa Indonesia. Kita perlu mengingatkan kembali tentang berbeda pilihan yang sebenarnya sudah membudaya di Indonesia. Ini mengingat akhirakhir ini rivalitas dua kelompok pendukung kedua kandidat begitu tajam. Salah satunya yang terlihat jelas dari perang opini dan komentar di media sosial (sosmed).
Jika rajin menyimak rivalitas itu, kita membayangkan telah terjadi perang terbuka antara dua kubu. Yang satu fanatik pro dan satunya fanatik anti terhadap kontestan pilpres. Yang lebih mencengangkan perang di sosmed ini sudah menjurus pada isu-isu pribadi, SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), dan wilayah yang tidak pantas menjadi bahan perdebatan antarcapres.
Fitnah, stigma, tuduhan tanpa dasar campur baur dengan sentimen negatif, nyinyir, dan serba pokoknya menjadi menu sehari-hari perang antar pendukung capres-cawapres di sosmed. Kita yakin dua kontestan pilpres (Prabowo maupun Jokowi) yang siap berkompetisi sehat dan fair ini jika membaca komentar dan perang opini tentang mereka di media sosial, juga akan terperangah.
Pasti mereka akan mengingatkan tim sukses, relawan, ataupun sayap-sayap pendukungnya untuk tidak meniru atau terlibat dalam perang opini yang seperti itu. Justru kita berharap tim sukses dan pemenangan kedua pasangan harus sering-sering bertemu untuk menetralisasi dan mendinginkan situasi yang memanas di jagat sosmed. Kedua tim juga memiliki kewajiban agar perang sosmed tidak menjalar dan terbawa ke wilayah akar rumput. Sebab jika itu meledak, akibatnya bisa fatal dan mencoreng proses demokrasi Indonesia yang sedang menjadi sorotan dunia.
Sekali lagi, kedepankan sikap bahwa berbeda pilihan itu lumrah. Toh , nanti hanya akan ada satu pasangan capres-cawapres yang akan terpilih. Bagi yang menang, tentu tidak boleh sewenang-wenang, jemawa, atau lupa daratan. Demikian pula bagi yang kalah, bukan berarti akhir dari segalanya. Beri selamat kepada yang menang dengan kepala tegak dan siap berjuang untuk Pemilu 2019.
(nfl)