Industri Gula Terancam
A
A
A
HIRUK-pikuk pesta politik yang makin memuncak mendekati pemilihan presiden awal Juli mendatang, sepertinya telah menyihir perhatian dari pemerintah ataupun masyarakat.
Berbagai urusan yang krusial terhadap kehidupan masyarakat cenderung dikesampingkan sementara, tak terkecuali urusan impor pangan. Dalam sebulan terakhir ini, ditengarai impor gula rafinasi telah merembes ke pasar tradisional yang dijual secara ritel justru pada saat bersamaan musim giling. Kondisi tersebut jelas adalah sebuah ancaman bagi pabrik gula dan petani tebu karena harga gula rafinasi yang seharusnya untuk konsumsi industri, jauh lebih murah dibandingkan harga gula lokal.
Beredarnya gula rafinasi yang dipasarkan dalam kemasan ukuran satu kilogram di pasar tradisional, dinilai oleh produsen gula di dalam negeri sebagai dampak dari ketidakkonsistenan pemerintah dalam mengelola pergulaan nasional. Di satu sisi, pemerintah selalu mengumandangkan untuk memberdayakan petani tebu dan industri gula nasional, namun di sisi lain kebijakan impor gula tetap terus digulirkan.
Produsen gula lokal tak bisa menutupi kekhawatirannya dengan serbuan gula rafinasi yang kini beredar di pasar ritel tanpa pengawasan. Akibatnya, harga gula nasional tidak bisa memberi dampak positif terhadap kesejahteraan petani dan industri gula nasional, karena tidak bisa bersaing dari harga gula rafinasi yang jauh lebih murah.
Sementara itu, Perum Bulog yang ditugaskan pemerintah mengimpor gula atas nama mengamankan cadangan gula nasional (buffer stock ) di dalam negeri, telah merealisasikan impor gula kristal putih (GKP) untuk konsumsi rumah tangga sebanyak 27.000 ton dari Thailand atau sekitar 8,2% dari izin impor yang dikantongi Bulog sebanyak 350.000 ton sepanjang tahun ini.
Sebelumnya, berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan (Kemendag), Bulog juga sudah menyerap sebanyak 22.000 ton gula lokal, yang dipasok dari PT RNIāsalah satu badan usaha milik negara yang bergerak dalam bidang industri gula sebanyak 12.000 ton dan sebesar 10.000 berasal PTPN XI.
Sementara data soal importasi gula rafinasi belum tersedia, namun pemerintah memastikan volume impor tahun ini bakal lebih rendah atau sekitar 2,9 juta ton, bandingkan dengan volume impor tahun lalu yang mencapai 3,05 juta ton. Kondisi Indonesia yang kini tercatat sebagai salah satu importir gula memang sungguh ironis, karena jauh sebelumnya Indonesia dikenal sebagai negara pengekspor gula.
Kabarnya, Indonesia tercatat mengimpor gula rafinasi rata-rata sebesar 2,5 juta ton per tahun sehingga mengantarkan negeri ini menduduki level ke-3 terbesar di dunia untuk urusan impor gula rafinasi. Mengapa importasi gula rafinasi begitu besar? Salah satu penyebabnya karena kemampuan industri gula nasional memenuhi kebutuhan gula untuk konsumsi industri terbatas. Industri gula yang ada pada umumnya sudah ketinggalan teknologi.
Dari 62 pabrik yang beroperasi, saat ini rata-rata sudah berumur puluhan tahun bahkan ratusan tahun yang merupakan peninggalan Belanda. Tercatat 52 di antaranya adalah milik negara dan selebihnya dioperasikan pihak swasta. Adapun rencana merevitalisasi 15 pabrik, yang terealisasi hanya sekitar empat unit hingga tahun ini. Persoalan pergulaan nasional makin kompleks ketika pemerintah menetapkan harga pokok penjualan (HPP) gula kristal putih sebesar Rp8.250 per kilogram sepanjang tahun ini.
Penetapan HPP tersebut jauh lebih rendah dibandingkan usulan dari Dewan Gula Indonesia (DGI) sebesar Rp9.500 per kg. Perhitungan HPP versi DGI memang lebih tinggi dari versi resmi yang berlaku sekarang karena mempertimbangkan biaya pokok produksi sebesar Rp8.740 per kg berdasarkan kajian dari kalangan akademisi, kemudian ditambah 10% sehingga HPP yang diusulkan sebesar Rp9.500 per kg.
Namun, pemerintah dalam hal ini Kemendag beralasan bahwa penetapan HPP yang lebih rendah dari usulan DGI untuk menghindari terjadinya perembesan gula rafinasi yang masuk pasar tradisional, serta mencegah terjadinya penyelundupan dari luar negeri.
Akan tetapi, antisipasi yang ditempuh pemerintah tersebut masih tetap jebol karena fakta lapangan ditemukan gula rafinasi tetap menembus pasar tradisional dengan harga yang lebih murah.
Berbagai urusan yang krusial terhadap kehidupan masyarakat cenderung dikesampingkan sementara, tak terkecuali urusan impor pangan. Dalam sebulan terakhir ini, ditengarai impor gula rafinasi telah merembes ke pasar tradisional yang dijual secara ritel justru pada saat bersamaan musim giling. Kondisi tersebut jelas adalah sebuah ancaman bagi pabrik gula dan petani tebu karena harga gula rafinasi yang seharusnya untuk konsumsi industri, jauh lebih murah dibandingkan harga gula lokal.
Beredarnya gula rafinasi yang dipasarkan dalam kemasan ukuran satu kilogram di pasar tradisional, dinilai oleh produsen gula di dalam negeri sebagai dampak dari ketidakkonsistenan pemerintah dalam mengelola pergulaan nasional. Di satu sisi, pemerintah selalu mengumandangkan untuk memberdayakan petani tebu dan industri gula nasional, namun di sisi lain kebijakan impor gula tetap terus digulirkan.
Produsen gula lokal tak bisa menutupi kekhawatirannya dengan serbuan gula rafinasi yang kini beredar di pasar ritel tanpa pengawasan. Akibatnya, harga gula nasional tidak bisa memberi dampak positif terhadap kesejahteraan petani dan industri gula nasional, karena tidak bisa bersaing dari harga gula rafinasi yang jauh lebih murah.
Sementara itu, Perum Bulog yang ditugaskan pemerintah mengimpor gula atas nama mengamankan cadangan gula nasional (buffer stock ) di dalam negeri, telah merealisasikan impor gula kristal putih (GKP) untuk konsumsi rumah tangga sebanyak 27.000 ton dari Thailand atau sekitar 8,2% dari izin impor yang dikantongi Bulog sebanyak 350.000 ton sepanjang tahun ini.
Sebelumnya, berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan (Kemendag), Bulog juga sudah menyerap sebanyak 22.000 ton gula lokal, yang dipasok dari PT RNIāsalah satu badan usaha milik negara yang bergerak dalam bidang industri gula sebanyak 12.000 ton dan sebesar 10.000 berasal PTPN XI.
Sementara data soal importasi gula rafinasi belum tersedia, namun pemerintah memastikan volume impor tahun ini bakal lebih rendah atau sekitar 2,9 juta ton, bandingkan dengan volume impor tahun lalu yang mencapai 3,05 juta ton. Kondisi Indonesia yang kini tercatat sebagai salah satu importir gula memang sungguh ironis, karena jauh sebelumnya Indonesia dikenal sebagai negara pengekspor gula.
Kabarnya, Indonesia tercatat mengimpor gula rafinasi rata-rata sebesar 2,5 juta ton per tahun sehingga mengantarkan negeri ini menduduki level ke-3 terbesar di dunia untuk urusan impor gula rafinasi. Mengapa importasi gula rafinasi begitu besar? Salah satu penyebabnya karena kemampuan industri gula nasional memenuhi kebutuhan gula untuk konsumsi industri terbatas. Industri gula yang ada pada umumnya sudah ketinggalan teknologi.
Dari 62 pabrik yang beroperasi, saat ini rata-rata sudah berumur puluhan tahun bahkan ratusan tahun yang merupakan peninggalan Belanda. Tercatat 52 di antaranya adalah milik negara dan selebihnya dioperasikan pihak swasta. Adapun rencana merevitalisasi 15 pabrik, yang terealisasi hanya sekitar empat unit hingga tahun ini. Persoalan pergulaan nasional makin kompleks ketika pemerintah menetapkan harga pokok penjualan (HPP) gula kristal putih sebesar Rp8.250 per kilogram sepanjang tahun ini.
Penetapan HPP tersebut jauh lebih rendah dibandingkan usulan dari Dewan Gula Indonesia (DGI) sebesar Rp9.500 per kg. Perhitungan HPP versi DGI memang lebih tinggi dari versi resmi yang berlaku sekarang karena mempertimbangkan biaya pokok produksi sebesar Rp8.740 per kg berdasarkan kajian dari kalangan akademisi, kemudian ditambah 10% sehingga HPP yang diusulkan sebesar Rp9.500 per kg.
Namun, pemerintah dalam hal ini Kemendag beralasan bahwa penetapan HPP yang lebih rendah dari usulan DGI untuk menghindari terjadinya perembesan gula rafinasi yang masuk pasar tradisional, serta mencegah terjadinya penyelundupan dari luar negeri.
Akan tetapi, antisipasi yang ditempuh pemerintah tersebut masih tetap jebol karena fakta lapangan ditemukan gula rafinasi tetap menembus pasar tradisional dengan harga yang lebih murah.
(hyk)