Kampanye Hitam
A
A
A
MENJELANG pemilihan presiden 9 Juli 2014, intensitas kabar burung yang bertujuan mendiskreditkan dan menjatuhkan nama baik pasangan capres-cawapres semakin tinggi; karena kabar burung sudah pasti tidak bisa dipertanggungjawabkan akurasinya.
Kita yang menjadi sasaran kampanye hitam ini pun kesulitan menelusuri jejak, siapakah yang berada di balik tindakan tidak bermoral itu. Yang jelas, dua pasangan capres-cawapres yang kini tengah gencar menyiapkan diri dan konsolidasi menyambut pilpres yang menjadi sasaran tembak. Baik pasangan Jokowi-Jusuf Kalla maupun pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Level kampanye hitam ini pun beragam.
Ada yang sekadar guyonan politik melalui kartun, rekayasa foto, atau kalimat-kalimat sindiran yang tersebar di dunia maya maupun di dunia nyata baik berupa spanduk, selebaran, poster yang dipampang di ruang publik atau di tempat-tempat umum. Isi kampanye hitam pun beragam mulai soal rekam jejak masa lalu capres-cawapres, soal fisik, masalah pribadi yang tidak ada kaitannya dengan pilpres, hingga informasi berbau SARA yang menyesatkan publik.
Yang namanya kampanye hitam sudah jelas isinya tidak benar. Namun jika informasi sesat itu disampaikan secara masif dan terusmenerus dalam jangka waktu tertentu di berbagai media platform, opini negatif terhadap objek yang dituju bisa dianggap menjadi kebenaran.
Bukan hanya masyarakat yang memiliki akses terhadap media sosial, orang-orang di pelosok desa pun akan dikepung kampanye hitam yang disebarkan melalui broadcast SMS ke telepon seluler mereka. Kampanye ini pun saling bersautan. Satu capres dicerca, muncul sanggahan dan serangan ke capres lainnya. Jadi, mana info yang benar dan yang salah semua tidak jelas.
Publik harus kritis dan tidak perlu menganggap informasi yang tidak jelas sumbernya itu sebagai fakta, meski hal itu tidak mudah dilakukan karena intensitas kampanye hitam sangat tinggi untuk penggiringan opini negatif terhadap pasangan capres-cawapres tertentu. Dalam hal ini, baik pasangan Jokowi-JK maupun Prabowo-Hatta sama-sama menjadi korban kesadisan ”perang aib” yang tidak sulit dihentikan ini. Kampanye hitam adalah pelanggaran hukum, etika, dan moral.
Karena termasuk tindakan pidana yang merugikan orang lain, pelakunya harus ditangkap dan diadili. Tapi faktanya, penegak hukum kesulitan melacak pelaku dan mendapatkan bukti-buktinya. Kalaupun ada, jumlahnya sangat sedikit dan hukumannya ringan.
Ini berarti dari aspek hukum, sulit mengharapkan terjadinya efek jera bagi pelaku penyebar kampanye hitam. Dari tahun ke tahun, dari pemilu ke pemilu, kampanye hitam terus muncul sehingga penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) perlu lebih tegas dan ketat lagi dalam mengawasi kampanye hitam.
Jika perlu, libatkan satuan khusus kepolisian yang terlatih melacak kejahatan semacam ini. Pasangan capres-cawapres yang sering menjadi korban kampanye hitam harus menyusun langkah strategis untuk menangkalnya melalui tim kampanye ataupun tim advokasi yang dibentuk. Tim kampanye capres juga harus mempertegas sikap dengan tidak ikut larut dalam permainan kampanye hitam.
Kampanye hitam harus dilawan bersama-sama baik oleh capres, timnya, penyelenggara pemilu, media massa, maupun masyarakat. Publik tidak perlu ikut menyebarluaskan informasi-informasi yang menyesatkan itu.
Demikian pula pasangan capres-cawapres, tidak perlu reaktif dan terpancing dengan provokasi kampanye hitam. Tetap fokuslah pada penguatan visi-misi dan gagasan yang akan ditawarkan dalam kampanye nanti. Serahkan kepada tim hukum untuk melaporkan tindakan kampanye hitam kepada penyelenggara pemilu maupun penegak hukum. Kita berharap masyarakat sudah mampu memilih dan memilah mana informasi yang sehat dan mana yang menyesatkan.
Tim sukses masing-masing capres juga harus memiliki mekanisme yang sistematis agar masyarakat bisa mengklarifikasi semua informasi kategori black campaign yang beredar luas dengan cepat dan mudah, sehingga tidak menimbulkan tanda tanya dan dianggap jadi kebenaran karena tidak ada sanggahan.
Kita yang menjadi sasaran kampanye hitam ini pun kesulitan menelusuri jejak, siapakah yang berada di balik tindakan tidak bermoral itu. Yang jelas, dua pasangan capres-cawapres yang kini tengah gencar menyiapkan diri dan konsolidasi menyambut pilpres yang menjadi sasaran tembak. Baik pasangan Jokowi-Jusuf Kalla maupun pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Level kampanye hitam ini pun beragam.
Ada yang sekadar guyonan politik melalui kartun, rekayasa foto, atau kalimat-kalimat sindiran yang tersebar di dunia maya maupun di dunia nyata baik berupa spanduk, selebaran, poster yang dipampang di ruang publik atau di tempat-tempat umum. Isi kampanye hitam pun beragam mulai soal rekam jejak masa lalu capres-cawapres, soal fisik, masalah pribadi yang tidak ada kaitannya dengan pilpres, hingga informasi berbau SARA yang menyesatkan publik.
Yang namanya kampanye hitam sudah jelas isinya tidak benar. Namun jika informasi sesat itu disampaikan secara masif dan terusmenerus dalam jangka waktu tertentu di berbagai media platform, opini negatif terhadap objek yang dituju bisa dianggap menjadi kebenaran.
Bukan hanya masyarakat yang memiliki akses terhadap media sosial, orang-orang di pelosok desa pun akan dikepung kampanye hitam yang disebarkan melalui broadcast SMS ke telepon seluler mereka. Kampanye ini pun saling bersautan. Satu capres dicerca, muncul sanggahan dan serangan ke capres lainnya. Jadi, mana info yang benar dan yang salah semua tidak jelas.
Publik harus kritis dan tidak perlu menganggap informasi yang tidak jelas sumbernya itu sebagai fakta, meski hal itu tidak mudah dilakukan karena intensitas kampanye hitam sangat tinggi untuk penggiringan opini negatif terhadap pasangan capres-cawapres tertentu. Dalam hal ini, baik pasangan Jokowi-JK maupun Prabowo-Hatta sama-sama menjadi korban kesadisan ”perang aib” yang tidak sulit dihentikan ini. Kampanye hitam adalah pelanggaran hukum, etika, dan moral.
Karena termasuk tindakan pidana yang merugikan orang lain, pelakunya harus ditangkap dan diadili. Tapi faktanya, penegak hukum kesulitan melacak pelaku dan mendapatkan bukti-buktinya. Kalaupun ada, jumlahnya sangat sedikit dan hukumannya ringan.
Ini berarti dari aspek hukum, sulit mengharapkan terjadinya efek jera bagi pelaku penyebar kampanye hitam. Dari tahun ke tahun, dari pemilu ke pemilu, kampanye hitam terus muncul sehingga penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) perlu lebih tegas dan ketat lagi dalam mengawasi kampanye hitam.
Jika perlu, libatkan satuan khusus kepolisian yang terlatih melacak kejahatan semacam ini. Pasangan capres-cawapres yang sering menjadi korban kampanye hitam harus menyusun langkah strategis untuk menangkalnya melalui tim kampanye ataupun tim advokasi yang dibentuk. Tim kampanye capres juga harus mempertegas sikap dengan tidak ikut larut dalam permainan kampanye hitam.
Kampanye hitam harus dilawan bersama-sama baik oleh capres, timnya, penyelenggara pemilu, media massa, maupun masyarakat. Publik tidak perlu ikut menyebarluaskan informasi-informasi yang menyesatkan itu.
Demikian pula pasangan capres-cawapres, tidak perlu reaktif dan terpancing dengan provokasi kampanye hitam. Tetap fokuslah pada penguatan visi-misi dan gagasan yang akan ditawarkan dalam kampanye nanti. Serahkan kepada tim hukum untuk melaporkan tindakan kampanye hitam kepada penyelenggara pemilu maupun penegak hukum. Kita berharap masyarakat sudah mampu memilih dan memilah mana informasi yang sehat dan mana yang menyesatkan.
Tim sukses masing-masing capres juga harus memiliki mekanisme yang sistematis agar masyarakat bisa mengklarifikasi semua informasi kategori black campaign yang beredar luas dengan cepat dan mudah, sehingga tidak menimbulkan tanda tanya dan dianggap jadi kebenaran karena tidak ada sanggahan.
(nfl)