Warisan Utang 2014
A
A
A
SETIDAKNYA kita boleh sedikit lega bahwa dua pasangan capres 2014, Prabowo- Hatta dan Jokowi-JK memiliki keprihatinan mendalam terkait terus membengkaknya utang pemerintah negeri ini.
Dalam visi-misi, kedua pasangan tersebut, secara tegas akan menekan rasio utang terhadap PDB, dengan cara mengurangi pinjaman luar negeri baru, baik multilateral maupun bilateral. (Koran SINDO , 22/5/2014) Sebenarnya, keprihatinan tersebut, sudah cukup lama disuarakan secara internasional.
Nancy Birdsall, president Center for Global Development, misalnya dalam bukunya ”Delievering on Debt Relief: From IMF Gold to a New Aid Architecture ” (2006) telah lama bersuara keras terkait kebijakan Dana Moneter Internasional (IMF) dalam menangani ketimpangan global, termasuk dalam hal ”jebakan utang” negara-negara berkembang.
Dalam Konsensus Washington, IMF dan Bank Dunia gencar mempromosikan pengurangan peran pemerintah, mendorong liberalisasi pasar, penghapusan subsidi, dan penjualan badan usaha milik negara, yang menurut banyak pihak telah turut menjerumuskan perekonomian global ke dalam ketimpangan, yang berujung pada krisis yang sulit diatasi.
Bretton Woods
Dengan segala kontroversinya, Bank Dunia IMF masih merupakan lembaga keuangan dunia terpenting. Keduanya, didirikan atas rekomendasi konferensi PBB di Bretton Woods, AS, Juli 1944, sebagai bagian dari upaya penataan dan pembangunan kembali perekonomian dunia, yang dilanda krisis usai Perang Dunia II.
IMF diharapkan berfungsi menstabilkan perekonomian dunia serta memberikan kredit jangka pendek, sedangkan Bank Dunia berfungsi memberikan kredit murah berjangka panjang dan bertanggung jawab atas penyesuaian struktural. Juli nanti, Bank Dunia dan IMF genap berusia 70 tahun.
Bagi banyak pihak, 70 tahun lembaga Bretton Woods ini, dianggap pas untuk mempercepat proses reformasi sistem pengambilan keputusan. Tuntutan lain yang juga gencar dikampanyekan sejak lebih dari satu dekade terakhir, adalah pengurangan atau penghapusan utang luar negeri negara-negara berkembang. Sebuah postcard yang beredar luas di Eropa dan AS, bertuliskan ”2014 is the 70th Birthday of the World Bank and IMF.... but....It’s No Time for a Party! Its Time to Drop the Debt! ”.
Saat ini, misalnya, setiap tahun negara-negara miskin Afrika harus membayar USD20-25 miliar untuk cicilan utangnya kepada Bank Dunia, IMF dan negara-negara industri. Sebuah jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan utang baru dan bantuan pembangunan yang diperoleh mereka.
Utang Membunuh
Kritik pun membahana. ”Utang membunuh”, teriak aktivis LSM di Utara dan Selatan berkaitan dengan penghematan anggaran kesehatan dan pendidikan demi membayar utang. Tahun 1999, IMF dan Bank Dunia akhirnya bersedia memberikan pemotongan utang kepada 41 negara miskin pengutang berat setelah melalui program penyesuaian selama tiga tahun. Meskipun demikian, bagi kebanyakan negara tersebut, pemotongan sebagian utang belumlah cukup untuk memulai kembali pembangunan ekonominya.
Sebenarnya, sejak akhir 90- an, kritik santer telah dilontarkan oleh ”orang dalam” dan politisi konservatif, bahwa selama 50 tahun keberadaannya yang telah menghabiskan dana sebesar USD470 miliar, Bank Dunia dan IMF belum memperlihatkan hasil nyata yang setimpal. Kini, meskipun telah melakukan perubahan struktur organisasinya, kritik terhadap Bank Dunia dan IMF belum juga mereda.
Dominasi negara-negara industri, terutama AS (Bank Dunia), dan IMF (Eropa dan AS) sangat terasa.
Kebutuhan beragam negara-negara anggotanya, terutama negara miskin, jarang terpenuhi. Sering kali, ”solusi” yang diajukan adalah ”one size fits all”. Indonesia pernah menjadi korban.
Karena selalu menjadi ”good boy”, Indonesia harus membayar mahal akibat mengikuti resep yang salah. Dampaknya, fatal seperti ditunjukkan data-data berikut. Sejak krisis hingga akhir 2002, dalam bidang pendidikan, terjadi penurunan murid sekolah sebesar 25%, sementara tingkat kemiskinan meningkat tajam dari 11% menjadi 40-60%.
Atas anjuran IMF, pemerintah Indonesia memberikan suntikan dana segar triliunan rupiah kepada bank-bank bermasalah, tanpa menyelesaikan masalah. (INFID, 2003) Saat ini, utang luar negeri (pemerintah dan swasta) Indonesia berjumlah Rp3.107,4 triliun(!) atau 30,02% PDB, naik drastis dibandingkan Rp1.654,19 triliun atau 26% PDB, sepuluh tahun lalu.
Untuk tahun ini, hingga akhir Februari, pemerintah telah membayarkan utang pokok dan bunganya sebesar Rp39,574 triliun, sementara pada Januari tercatat pembayaran pokok dan bunga sebesar Rp25,880 triliun.
Dengan demikian, total utang beserta bunga yang telah dibayarkan mencapai Rp65,454 triliun atau 17,74 persen dari target APBN 2014 sebesar Rp368,981 triliun. (Okezone, 15/4/2014) Bank Dunia menempatkan Indonesia di urutan ke enam sebagai negara pengutang terbesar di dunia.
Berturut-turut di urutan teratas ialah China, Brasil, India, Meksiko, dan Turki. Bagi Indonesia, yang belum sepenuhnya beranjak keluar dari krisis, dibutuhkan perbaikan jaringan keamanan sosial serta penghapusan (sebagian) utang luar negeri.
Perekonomian kita dipastikan tidak mungkin menggeliat tumbuh dengan sehat, selama paling tidak, sebagian utang luar negerinya, belum dihapus. Untuk membayar utang, sebagian besar devisa kita kembali mengalir ke negara-negara industri.
Namun perkembangan terakhir, bisa menjadi angin segar bagi Indonesia. IMF dan Bank Dunia dikabarkan semakin mendukung analisis ekonom Keynesian dan opini ekonom peraih Hadiah Nobel Ekonomi, Joseph Stiglitz, bahwa ketimpangan membuat pertumbuhan rawan, menciptakan kondisi yang tidak menentu, dan berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Dalam riset terbarunya, IMF dan Bank Dunia disinyalir yakin bahwa ”pemerataan tidak akan mengganggu pertumbuhan ekonomi,” demikian Max Lawson, kepala Kebijakan dan Advokasi di Oxfam GB, organisasi kemanusiaan yang hadir pada pertemuan IMF-Bank Dunia tahun ini.
Dalam upaya mengurangi dampak ”utang membunuh”, Gerakan Jubilee-2000 berhasil memobilisasi dukungan internasional yang cukup luas bagi penghapusan utang luar negeri negara-negara termiskin.
Indonesia, memang belum dimasukkan ke dalam kategori ini. Padahal, dalam sebuah seminar ekonomi regional di Bangkok oleh Asisten Direktur IMF untuk Asia-Pasifik Charles Adam telah mengakui kesalahan yang dibuat IMF dalam menangani krisis di Indonesia. (Tempo.co, 13/11/2003) Karena itu, meskipun kita telah melunasi utang kepada IMF, adalah belum terlambat dan sangat patut apabila bangsa ini menuntut ”ganti rugi” dalam bentuk hibah.
Anggap saja sebagai bentuk konversi penghapusan sebagian utang kita atas kesalahan IMF. Pemenang pilpres kali ini, mungkin bisamempertimbangkan usulan ini. Semoga!
IVAN A HADAR
Direktur Eksekutif Indonesian Institute for Democracy Education; Ketua Badan Pengurus Indonesia for Global Justice (IGJ)
Dalam visi-misi, kedua pasangan tersebut, secara tegas akan menekan rasio utang terhadap PDB, dengan cara mengurangi pinjaman luar negeri baru, baik multilateral maupun bilateral. (Koran SINDO , 22/5/2014) Sebenarnya, keprihatinan tersebut, sudah cukup lama disuarakan secara internasional.
Nancy Birdsall, president Center for Global Development, misalnya dalam bukunya ”Delievering on Debt Relief: From IMF Gold to a New Aid Architecture ” (2006) telah lama bersuara keras terkait kebijakan Dana Moneter Internasional (IMF) dalam menangani ketimpangan global, termasuk dalam hal ”jebakan utang” negara-negara berkembang.
Dalam Konsensus Washington, IMF dan Bank Dunia gencar mempromosikan pengurangan peran pemerintah, mendorong liberalisasi pasar, penghapusan subsidi, dan penjualan badan usaha milik negara, yang menurut banyak pihak telah turut menjerumuskan perekonomian global ke dalam ketimpangan, yang berujung pada krisis yang sulit diatasi.
Bretton Woods
Dengan segala kontroversinya, Bank Dunia IMF masih merupakan lembaga keuangan dunia terpenting. Keduanya, didirikan atas rekomendasi konferensi PBB di Bretton Woods, AS, Juli 1944, sebagai bagian dari upaya penataan dan pembangunan kembali perekonomian dunia, yang dilanda krisis usai Perang Dunia II.
IMF diharapkan berfungsi menstabilkan perekonomian dunia serta memberikan kredit jangka pendek, sedangkan Bank Dunia berfungsi memberikan kredit murah berjangka panjang dan bertanggung jawab atas penyesuaian struktural. Juli nanti, Bank Dunia dan IMF genap berusia 70 tahun.
Bagi banyak pihak, 70 tahun lembaga Bretton Woods ini, dianggap pas untuk mempercepat proses reformasi sistem pengambilan keputusan. Tuntutan lain yang juga gencar dikampanyekan sejak lebih dari satu dekade terakhir, adalah pengurangan atau penghapusan utang luar negeri negara-negara berkembang. Sebuah postcard yang beredar luas di Eropa dan AS, bertuliskan ”2014 is the 70th Birthday of the World Bank and IMF.... but....It’s No Time for a Party! Its Time to Drop the Debt! ”.
Saat ini, misalnya, setiap tahun negara-negara miskin Afrika harus membayar USD20-25 miliar untuk cicilan utangnya kepada Bank Dunia, IMF dan negara-negara industri. Sebuah jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan utang baru dan bantuan pembangunan yang diperoleh mereka.
Utang Membunuh
Kritik pun membahana. ”Utang membunuh”, teriak aktivis LSM di Utara dan Selatan berkaitan dengan penghematan anggaran kesehatan dan pendidikan demi membayar utang. Tahun 1999, IMF dan Bank Dunia akhirnya bersedia memberikan pemotongan utang kepada 41 negara miskin pengutang berat setelah melalui program penyesuaian selama tiga tahun. Meskipun demikian, bagi kebanyakan negara tersebut, pemotongan sebagian utang belumlah cukup untuk memulai kembali pembangunan ekonominya.
Sebenarnya, sejak akhir 90- an, kritik santer telah dilontarkan oleh ”orang dalam” dan politisi konservatif, bahwa selama 50 tahun keberadaannya yang telah menghabiskan dana sebesar USD470 miliar, Bank Dunia dan IMF belum memperlihatkan hasil nyata yang setimpal. Kini, meskipun telah melakukan perubahan struktur organisasinya, kritik terhadap Bank Dunia dan IMF belum juga mereda.
Dominasi negara-negara industri, terutama AS (Bank Dunia), dan IMF (Eropa dan AS) sangat terasa.
Kebutuhan beragam negara-negara anggotanya, terutama negara miskin, jarang terpenuhi. Sering kali, ”solusi” yang diajukan adalah ”one size fits all”. Indonesia pernah menjadi korban.
Karena selalu menjadi ”good boy”, Indonesia harus membayar mahal akibat mengikuti resep yang salah. Dampaknya, fatal seperti ditunjukkan data-data berikut. Sejak krisis hingga akhir 2002, dalam bidang pendidikan, terjadi penurunan murid sekolah sebesar 25%, sementara tingkat kemiskinan meningkat tajam dari 11% menjadi 40-60%.
Atas anjuran IMF, pemerintah Indonesia memberikan suntikan dana segar triliunan rupiah kepada bank-bank bermasalah, tanpa menyelesaikan masalah. (INFID, 2003) Saat ini, utang luar negeri (pemerintah dan swasta) Indonesia berjumlah Rp3.107,4 triliun(!) atau 30,02% PDB, naik drastis dibandingkan Rp1.654,19 triliun atau 26% PDB, sepuluh tahun lalu.
Untuk tahun ini, hingga akhir Februari, pemerintah telah membayarkan utang pokok dan bunganya sebesar Rp39,574 triliun, sementara pada Januari tercatat pembayaran pokok dan bunga sebesar Rp25,880 triliun.
Dengan demikian, total utang beserta bunga yang telah dibayarkan mencapai Rp65,454 triliun atau 17,74 persen dari target APBN 2014 sebesar Rp368,981 triliun. (Okezone, 15/4/2014) Bank Dunia menempatkan Indonesia di urutan ke enam sebagai negara pengutang terbesar di dunia.
Berturut-turut di urutan teratas ialah China, Brasil, India, Meksiko, dan Turki. Bagi Indonesia, yang belum sepenuhnya beranjak keluar dari krisis, dibutuhkan perbaikan jaringan keamanan sosial serta penghapusan (sebagian) utang luar negeri.
Perekonomian kita dipastikan tidak mungkin menggeliat tumbuh dengan sehat, selama paling tidak, sebagian utang luar negerinya, belum dihapus. Untuk membayar utang, sebagian besar devisa kita kembali mengalir ke negara-negara industri.
Namun perkembangan terakhir, bisa menjadi angin segar bagi Indonesia. IMF dan Bank Dunia dikabarkan semakin mendukung analisis ekonom Keynesian dan opini ekonom peraih Hadiah Nobel Ekonomi, Joseph Stiglitz, bahwa ketimpangan membuat pertumbuhan rawan, menciptakan kondisi yang tidak menentu, dan berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Dalam riset terbarunya, IMF dan Bank Dunia disinyalir yakin bahwa ”pemerataan tidak akan mengganggu pertumbuhan ekonomi,” demikian Max Lawson, kepala Kebijakan dan Advokasi di Oxfam GB, organisasi kemanusiaan yang hadir pada pertemuan IMF-Bank Dunia tahun ini.
Dalam upaya mengurangi dampak ”utang membunuh”, Gerakan Jubilee-2000 berhasil memobilisasi dukungan internasional yang cukup luas bagi penghapusan utang luar negeri negara-negara termiskin.
Indonesia, memang belum dimasukkan ke dalam kategori ini. Padahal, dalam sebuah seminar ekonomi regional di Bangkok oleh Asisten Direktur IMF untuk Asia-Pasifik Charles Adam telah mengakui kesalahan yang dibuat IMF dalam menangani krisis di Indonesia. (Tempo.co, 13/11/2003) Karena itu, meskipun kita telah melunasi utang kepada IMF, adalah belum terlambat dan sangat patut apabila bangsa ini menuntut ”ganti rugi” dalam bentuk hibah.
Anggap saja sebagai bentuk konversi penghapusan sebagian utang kita atas kesalahan IMF. Pemenang pilpres kali ini, mungkin bisamempertimbangkan usulan ini. Semoga!
IVAN A HADAR
Direktur Eksekutif Indonesian Institute for Democracy Education; Ketua Badan Pengurus Indonesia for Global Justice (IGJ)
(nfl)