Apa jadinya jika pemilih gadaikan amanat?

Senin, 12 Mei 2014 - 05:45 WIB
Apa jadinya jika pemilih gadaikan amanat?
Apa jadinya jika pemilih gadaikan amanat?
A A A
Pelaksanaan pemilu legislatif (pileg) lalu menyisakan banyak catatan miris. Sejumlah dugaan penyimpangan, kecurangan, dan permainan busuk terjadi di banyak daerah.

Satu praktik massal yang terjadi menjelang pemilu adalah transaksi uang untuk membayar suara pemilih. Praktik itu dikenal populer dengan sebutan money politics.

Praktik money politics ini menggambarkan kualitas pemilu sangat buruk. Sulit dibayangkan, bagaimana memaknai kepercayaan atau trust yang seharusnya menjadi benang merah antara pemilih dan yang dipilih. Faktanya sebagian besar pemilih menggadaikan amanatnya, martabatnya, dan hak politiknya dengan selembar-dua uang kertas.

Sama halnya, bagaimana mengukur elektabilitas seseorang atau tingkat kepercayaan seseorang oleh pemilih, jika kemudian pilihan orang terhadapnya lahir dari mobilisasi dukungan dengan membeli suara pemilih.

Satu hal yang harus dikatakan bahwa terkait trust, caleg terpilih tentu sangat rendah jika kemudian dia memperolehnya dengan membayar suara orang. Daya pengikat hubungan antara wakil dan yang diwakili begitu ringkih, karena bukan rasa percaya kepada pribadi yang dipilih yang mendorong keputusan seseorang, tetapi dorogan instan karena dipaksa memilih setelah menerima uang sebagai pengikatnya.

Bekal kepercayaan yang rapuh dan semu dalam proses pemilu itu kemudian menghantarkan seseorang sebagai anggota parlemen. Apa yang bisa diharapkan dari seorang yang menang dengan memperdaya pemilih menggunakan uang?

Yang pasti dia tak akan peduli rakyat, karena baginya rakyat sudah dibayar untuk memilihnya. Tanggung jawab moral untuk mewakili rakyat rusak karena perekat relasi wakil rakyat dan rakyat sifatnya sangat pragmatis dan instan.

Tak heran jika kemudian wakil rakyat seolah-olah terpisah dari rakyat mereka. Rakyat juga merasa jauh dengan wakil rakyat karena merasa bahwa ketika memilihnya, dia tak pernah sungguh percaya pada orangnya kecuali karena dia sudah menerima uang untuk membeli suaranya.

Parlemen pun akan diisi oleh orang-orang dengan akar politik yang rapuh. Parlemen menjadi tempat dimana kepentingan pribadi dan partai yang kemudian menjadi isu utama yang dibicarakan. Bagaimana memperbanyak keuntungan bagi diri sendiri dan partai, karena praktis partailah yang punya kuasa berjalan bagi kelangsungan seorang wakil rakyat.

Sementara rakyat akan terus berada di luar lingkaran. Menjadi penonton dan saksi untuk rangkaian praktik tak etis dan korup yang masih akan terjadi.

Lalu siapa yang salah? Semua elemen memberikan sumbangan bagi praktik busuk transaksi politik dalam pileg lalu. Pertama, partai politik. Lagi-lagi partai menjadi institusi yang menari-nari di atas persaingan ketat para caleg.

Dia tidak peduli dengan praktik curang yang dilakukan calegnya untuk meraih tiket menuju parlemen. Bagi partai, menang dan menang adalah kunci. Asal bisa meraih suara, maka dia akan mendiamkan praktik apapun yang dilakukan calegnya untuk menang.

Jika kembali ke belakang, ketakseriusan partai sudah mulai dari awal proses perekrutan. Model perekrutan asal-asalan parpol terhadap caleg merupakan pintu masuk bagi praktik kotor yang dilakukan caleg pada saat pemilu.

Kosongnya muatan ideologis membuat para caleg berpikir hanya kemenangan kemudian yang akan dikejarnya. Apapun dilakukan untuk bisa meraih kemenangan tersebut. Dan kebetulan uang merupakan satu alat yang bisa memperdaya pemilih seketika, maka itupun menjadi cara ampuh untuk meraih kemenangan.

Kedua, penyelenggara pemilu. Masifnya pelanggaran dan tansaksi money politics saat pemilu tak lepas dari lemahnya kontrol penyelenggara pemilu khususnya bidang pengawasan (Bawaslu dan Panwas). Kapasitas penyelenggara ini sebegitu rendahnya sehingga rasa takut untuk melakukan kesalahan hilang dari benak para caleg.

Ketiga, pemilih sendiri juga bagian yang harus dikritisi dalam lingkaran setan praktik money politics ini. Pemilih yang menerima uang dari caleg memberikan amunisi bagi politisi untuk merawat baik perilaku korupsi.

Padahal korupsi merupakan musuh bersama dan banyak orang geram dengan pelakunya. Tetapi rupanya pemilih sendiri permisif dengan pelaku yang sedang menjerumuskannya dalam tindakan korup/suap sebagaimana kerap dilakukan politikus selama ini.

Selain money politis, banyak kecurangan lain yang terjadi pada pemilu lalu. Beberapa di antaranya adalah penggelembungan suara dan perampokan suara. Penggelembungan suara untuk caleg tertentu disinyalir banyak terjadi selama proses penghitungan suara. Permainan tersebut dilakukan antar caleg separtai dan ada juga antar caleg dengan partainya sendiri.

Hal ini terjadi dengan bantuan penyelenggara yang memanipulasi data asli dengan dokumen serupa yang palsu. Sayangnya dalam proses rekapitulasi di KPU, kesahihan data ini tak menjadi satu indikator dalam memutuskan suara sah atau tidak sah.

Di samping dua masalah di atas, masalah lain yang harus dikoreksi serius dalam persiapan pilpres adalah masalah daftar pemilih tetap (DPT). Masalah ini masih menjadi isu yang rutin didiskusikan tanpa upaya serius KPU untuk mencarikan solusi tuntas.

Untuk pilpres, saya kira KPU harus lebih serius menggarap DPT ini agar tak mudah dimanipulasi pada proses pemungutan dan perhitungan suara.

Beberapa kekurangan di atas, harus diantisipasi KPU dan Bawaslu dari awal. Bagaimana kemudian menghadang masifnya praktik-praktik busuk itu agar tidak terulang pada saat pilpres nanti.

Di samping itu, membuka ruang diskursus di kanal-kanal media untuk memberikan kesadaran kepada pemilih merupakan tugas lain yang harus dilakukan serius. Bagaimana mengembalikan nurani pemilih agar bertanggung jawab menggunakan hak pilihnya, merupakan tugas maha penting agar bangsa ini tak rusak pada semua lapisan masyarakatnya.

Lucius Karus

Peneliti Senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi)
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5631 seconds (0.1#10.140)