Fenomena demokrasi jual beli

Jum'at, 09 Mei 2014 - 19:39 WIB
Fenomena demokrasi jual beli
Fenomena demokrasi jual beli
A A A
Sindonews.com - Semakin tingginya biaya untuk mencalonkan diri menjadi anggota legislatif, memicu timbulnya politik transaksional. Pernyataan ini dikatakan Direktur Eksekutif Matriks Indonesia, Agus Sudibyo.

Menurutnya, dalam kondisi seperti itu, hubungan antara pemilih dan yang dipilih, seperti hubungan penjual dan pembeli. Sehingga, penyaluran suara dalam pemilihan umum (pemilu), disebut sebagai relasi right to buy and right to sell.

Ia khawatir, jika para anggota DPR yang terpilih merasa bahwa dia berhasil menjadi anggota legislatif karena membeli. Maka ketika menjabat dia tidak akan merasa memiliki hubungan dengan konstituennya.

“Dengan logika tadi, maka yang terjadi kemudian di DPR adalah jual beli pasal perundang-undangan, jual beli pasal-pasal kebijakan,” kata Agus di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (9/5/2014).

Agus menambahkan, jika Pemilu 2014 ini semakin materialistis, otomatis penyelenggaraan kekuasaan selama lima tahun ke depan juga akan semakin transaksional. Proses perumusan kebijakan dan pelaksanaannya akan dideterminasi oleh logika jual beli.

“Lima tahun terakhir kita sudah sering mendengar isu jual beli pasal perundang-undangan. Yang saya khawatir hal tersebut akan semakin parah dalam lima tahun ke depan,” tukasnya.

Agus kemudian mengajak masyarakat Indonesia yang 9 April kemarin menerima uang dari para calon legislatif di level manapun, merenungkan kosekuensi di atas.

“Olok-olok kita di dunia internasional adalah democrazy for sale. Artinya bagaimana demokrasi itu diperjual belikan dengan murah, baik dalam konteks coblosan atau setelahnya nanti saat DPR dan DPD merumuskan kebijakan-kebijakan,” tutup Agus.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6104 seconds (0.1#10.140)