Pasangan Prabowo-Ical berpotensi antiklimaks
A
A
A
Sindonews.com - Ketua Dewan Pembina sekaligus calon presiden (capres) Partai Gerindra Prabowo Subianto semakin akrab dengan Ketua Umum yang juga capres Partai Golkar Aburizal Bakrie (Ical).
Bahkan, Ical mengaku kalau dirinya dan Prabowo sama-sama siap apabila kedua partai berkoalisi dan salah satunya harus mengalah menjadi calon wakil presiden (cawapres).
Mengomentari kemungkinan pasangan ini di Pemilu Presiden (Pilpres) 2014, Pengamat Politik dari Charta Politik Yunarto Wijaya menilai tidak menutup kemungkinan pasangan ini berujung antiklimaks.
"Memang pasangan Prabowo-Ical berpotensi menjadi antiklimaks, apabila tidak bisa menanggulangi beberapa persepsi negatif yang muncul," ujar Yunarto saat dihubungi wartawan, Selasa (6/5/2014).
Kata dia, baik Prabowo maupun Ical merupakan tokoh di era Orde Baru, apabila mereka memaksakan maka dikhawatirkan justru memberi keuntungan bagi capres dari PDIP Joko Widodo.
"Diantaranya adalah representasi masa lalu dan kombinasi pasangan tua yang secara tidak langsung akan menempatkan posisi Jokowi sebagai tokoh alternatif dan antikemapanan," terangnya.
Kendati demikian, pasangan ini memiliki keunggulan dalam memobilisasi pemilih. Mengingat, keduanya memiliki mesin politik yang cukup besar dan merata, disertai kemampuan finansial.
"Dan harus diakui demokrasi kita belum sepenuhnya dilandasi pada aspek partisipasi semata, akan tetapi juga aspek mobilisasi yang akan ditentukan oleh seberapa kuat partai dan timses memiliki kesiapan untuk bisa bertarung di lapangan."
"Dengan berkaca pada hasil pileg, saya bisa mengatakan kalau Golkar dan Gerindra lebih memiliki persiapan yang matang dibandingkan dengan PDIP yang masih terlalu sibuk dengan urusan internalnya sendiri," lanjutnya.
Lanjut dia, Prabowo-Ical juga masih bisa menggunguli Jokowi andai capres PDIP itu tidak melakukan perubahan strategi kampanye di Pilpres 2014.
"Jadi kalau PDIP dan Jokowi tidak bisa kemudian mengubah pola kampanye seperti apa yang terjadi di pileg, bukan tidak mungkin arah angin malah akan berbelok kepada pasangan ini," ujarnya.
Sementara itu, Pengamat Politik dari Universitas Indonesia (UI) Ari Junaedi mengatakan, apabila Prabowo akhirnya menggandeng Ical maka bisa dinilai sebagai cara memaksakan kehendak untuk memenuhi presidential threshold (PT).
"Yang penting gabungan suara sudah aman untuk pentiketan capres-cawapres. Namun ada satu hal dilupakan, nilai jual pasangan Prabowo-Ical menjadi tidak seksi bagi pemilih. Kalau satu tambah satu dalam politik bisa berarti lima, nah dalam penjumlahan Prabowo dengan Ical bisa terjadi satu tambah satu menjadi satu atau malah minus."
"Ini karena dua kutub negatif disatukan. Lain halnya misalnya, Prabowo dipasangkan dengan nama kader Golkar selain nama Ical. Bisa saja nama pasangan Prabowo makin menguatkan elektabilitas Prabowo yang semakin naik," kata dia.
Lanjut Ari, keputusan rapat silaturahmi ormas dan sayap Partai Golkar yang menyebut enam nama berpotensi di luar Ical seperti Jusuf Kalla, Akbar Tanjung, Luhut Panjaitan, Ginandjar Kartasasmita, Agung Laksono dan Priyo Budi Santoso dinilainya positif.
Tak hanya itu, lanjut dia, keberatan dari tokoh senior Golkar seperti Suhardiman dan Akbar Tanjung atas pencapresan Ical dinilainya cukup karena nama Ical sulit untuk dijajakan.
"Saya jadi tidak heran, jika Ical mau turun pangkat menjadi cawapres karena peluang bagi dirinya untuk maju sebagai capres atau berkoalisi dengan parpol lain memang semakin sulit," tuturnya.
Bahkan, Ical mengaku kalau dirinya dan Prabowo sama-sama siap apabila kedua partai berkoalisi dan salah satunya harus mengalah menjadi calon wakil presiden (cawapres).
Mengomentari kemungkinan pasangan ini di Pemilu Presiden (Pilpres) 2014, Pengamat Politik dari Charta Politik Yunarto Wijaya menilai tidak menutup kemungkinan pasangan ini berujung antiklimaks.
"Memang pasangan Prabowo-Ical berpotensi menjadi antiklimaks, apabila tidak bisa menanggulangi beberapa persepsi negatif yang muncul," ujar Yunarto saat dihubungi wartawan, Selasa (6/5/2014).
Kata dia, baik Prabowo maupun Ical merupakan tokoh di era Orde Baru, apabila mereka memaksakan maka dikhawatirkan justru memberi keuntungan bagi capres dari PDIP Joko Widodo.
"Diantaranya adalah representasi masa lalu dan kombinasi pasangan tua yang secara tidak langsung akan menempatkan posisi Jokowi sebagai tokoh alternatif dan antikemapanan," terangnya.
Kendati demikian, pasangan ini memiliki keunggulan dalam memobilisasi pemilih. Mengingat, keduanya memiliki mesin politik yang cukup besar dan merata, disertai kemampuan finansial.
"Dan harus diakui demokrasi kita belum sepenuhnya dilandasi pada aspek partisipasi semata, akan tetapi juga aspek mobilisasi yang akan ditentukan oleh seberapa kuat partai dan timses memiliki kesiapan untuk bisa bertarung di lapangan."
"Dengan berkaca pada hasil pileg, saya bisa mengatakan kalau Golkar dan Gerindra lebih memiliki persiapan yang matang dibandingkan dengan PDIP yang masih terlalu sibuk dengan urusan internalnya sendiri," lanjutnya.
Lanjut dia, Prabowo-Ical juga masih bisa menggunguli Jokowi andai capres PDIP itu tidak melakukan perubahan strategi kampanye di Pilpres 2014.
"Jadi kalau PDIP dan Jokowi tidak bisa kemudian mengubah pola kampanye seperti apa yang terjadi di pileg, bukan tidak mungkin arah angin malah akan berbelok kepada pasangan ini," ujarnya.
Sementara itu, Pengamat Politik dari Universitas Indonesia (UI) Ari Junaedi mengatakan, apabila Prabowo akhirnya menggandeng Ical maka bisa dinilai sebagai cara memaksakan kehendak untuk memenuhi presidential threshold (PT).
"Yang penting gabungan suara sudah aman untuk pentiketan capres-cawapres. Namun ada satu hal dilupakan, nilai jual pasangan Prabowo-Ical menjadi tidak seksi bagi pemilih. Kalau satu tambah satu dalam politik bisa berarti lima, nah dalam penjumlahan Prabowo dengan Ical bisa terjadi satu tambah satu menjadi satu atau malah minus."
"Ini karena dua kutub negatif disatukan. Lain halnya misalnya, Prabowo dipasangkan dengan nama kader Golkar selain nama Ical. Bisa saja nama pasangan Prabowo makin menguatkan elektabilitas Prabowo yang semakin naik," kata dia.
Lanjut Ari, keputusan rapat silaturahmi ormas dan sayap Partai Golkar yang menyebut enam nama berpotensi di luar Ical seperti Jusuf Kalla, Akbar Tanjung, Luhut Panjaitan, Ginandjar Kartasasmita, Agung Laksono dan Priyo Budi Santoso dinilainya positif.
Tak hanya itu, lanjut dia, keberatan dari tokoh senior Golkar seperti Suhardiman dan Akbar Tanjung atas pencapresan Ical dinilainya cukup karena nama Ical sulit untuk dijajakan.
"Saya jadi tidak heran, jika Ical mau turun pangkat menjadi cawapres karena peluang bagi dirinya untuk maju sebagai capres atau berkoalisi dengan parpol lain memang semakin sulit," tuturnya.
(kri)