Koalisi pilpres

Senin, 05 Mei 2014 - 14:37 WIB
Koalisi pilpres
Koalisi pilpres
A A A
SEJAK pemungutan suara dalam pemilihan umum (pemilu) legislatif 9 April 2014 selesai dilaksanakan dan beberapa jam kemudian hasil hitung cepat diumumkan oleh berbagai lembaga survei, berita nasional menyuguhkan berbagai langkah yang dilakukan oleh elite partai politik untuk membangun koalisi menuju Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang akan datang.

Berbagai prediksi pun disampaikan oleh para pengamat tentang poros koalisi yang akan berkompetisi disertai analisis potensi kemenangan masing-masing kandidat. Riuh rendahnya koalisi dalam perpolitikan nasional saat ini setidaknya didorong oleh dua hal. Pertama, adanya ketentuan presidential threshold yaitu ambang batas yang harus dipenuhi oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional.

Kedua, hasil hitung cepat pemilu legislatif, yang telah dipercaya tidak akan berbeda jauh dengan hasil penghitungan pemilu legislatif yang akan ditetapkan KPU, menunjukkan tidak ada satu pun partai politik yang memperoleh 25 persen suara sah nasional. Walaupun perolehan suara belum dikonversi menjadi kursi DPR, dengan tidak adanya partai politik yang memperoleh setidaknya 25 persen suara sah nasional dapat dipastikan tidak ada pula partai politik yang akan memperoleh 20 persen kursi DPR.

Hasil itu membawa konsekuensi tidak ada satu pun partai politik yang dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa tambahan suara dari partai politik lain. Tambahan suara hanya dapat diperoleh dengan membangun koalisi dengan partai politik lain. Koalisi sesungguhnya bukan hal baru di Indonesia. Pada masa Orde Lama, sebelum masa demokrasi terpimpin, pemerintahan yang terbentuk selalu merupakan pemerintahan koalisi.

Hal ini sangat wajar karena pada masa itu sistem pemerintahan yang digunakan adalah sistem parlementer. Namun, sepanjang masa reformasi yang menggunakan sistem presidensial, koalisi juga selalu terbangun, baik pada pemerintahan Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, maupun Susilo Bambang Yudhoyono. Sayangnya, koalisi di era reformasi dinilai banyak pihak tidak didasarkan pada pertimbangan platform apalagi ideologi.

Dari perspektif konstitusi, UUD 1945 menentukan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu. Ketentuan itu sama sekali tidak mengamanatkan adanya presidential threshold dan keharusan adanya koalisi partai politik sebagai konsekuensinya. Presidential threshold adalah kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang, dan koalisi adalah kenyataan politik yang pasti dan telah terjadi.

Apalagi dengan model pemisahan pemilu legislatif dan pemilu presiden, yang membuat partai politik mempertimbangkan hasil pemilu legislatif untuk mengukur kekuatan sendiri maupun kekuatan partai politik lain saat hendak berkompetisi dalam pemilu presiden. Sebagai suatu realitas politik, koalisi dapat digunakan untuk mencapai dua hal. Pertama, memperkuat pemerintahan.

Kedua, menyederhanakan partai politik. Konstitusi kita memang menganut sistem pemerintahan presidensial yang telah diperkuat melalui proses perubahan UUD 1945. Memang benar bahwa salah satu ciri utama sistem presidensial adalah fixed term, masa jabatan presiden telah ditentukan dan tidak dapat dijatuhkan kecuali dengan alasan dan mekanisme yang telah ditentukan.

Namun hal itu tidak berarti bahwa presiden tidak membutuhkan dukungan parlemen untuk dapat menjalankan pemerintahan. Sistem presidensial adalah sistem yang menganut pemisahan kekuasaan dengan mekanisme checks and balances antarcabang kekuasaan. Dengan kata lain, kekuasaan yang dimiliki oleh Presiden diimbangi dan dibatasi oleh kekuasaan parlemen.

Banyak kebijakan presiden yang harus mendapat persetujuan parlemen, baik bersifat sektoral maupun yang dituangkan dalam APBN. Karena itu, presiden harus memiliki dukungan yang cukup di parlemen agar dapat memengaruhi pengambilan keputusan secara berimbang. Jika tidak demikian, walaupun tidak dapat dijatuhkan, presiden akan tersandera oleh parlemen atau bahkan akan tercipta politically legislative heavy yang lebih banyak mengarah pada sistem parlementer.

Di sisi lain, dukungan kekuatan presiden di parlemen juga tidak boleh terlalu besar agar tidak menciptakan otoritarianisme seperti pada masa orde baru. Hanya dengan kekuatan yang relatif berimbang, mekanisme checks and balances dapat dijaga keberlangsungannya. Koalisi juga dapat menjadi jalan untuk mewujudkan sistem multipartai sederhana, setidaknya dari sisi jumlah partai politik yang eksis dalam politik.

Sistem multipartai sederhana menjadi pilihan sistem kepartaian didasarkan pada dua hal. Pertama, sistem pemerintahan apa pun, apalagi sistem presidensial, akan terganggu jika terlalu banyak kekuatan politik yang bermain, lebih-lebih jika tidak ada dua kekuatan politik utama. Akibatnya, pengambilan keputusan akan sulit dan lambat yang sering kali untuk mempercepat dan memperlancar lalu digunakan kepentingan politik praktis.

Kedua, di sisi lain kita menyadari keragaman masyarakat Indonesia, termasuk dari sisi aliran politik sehingga tidak memungkinkan hanya terdapat dua partai politik saja. Realitas politik yang beragam dan perlunya dukungan bagi presiden di parlemen menjadikan koalisi memang senantiasa dibutuhkan dan akan terjadi. Bahkan kalaupun ketentuan presidential threshold dihapuskan, koalisi masih tetap ada dan dibutuhkan dalam membentuk pemerintahan.

Untuk mencapai tujuan koalisi, yaitu menciptakan pemerintahan yang kuat dan menjadi jalan penyederhanaan sistem kepartaian, tentu yang dibutuhkan adalah koalisi jangka panjang. Koalisi model ini adalah koalisi yang tidak sekadar didasarkan pada kepentingan pragmatis, namun harus memiliki dasar pijakan ideologi dan platform yang sama. Tentu saja untuk mengetahui dan memahami persinggungan ideologi dan platform tidak akan selesai di level diskusi atau “pertemuan” antar elite partai politik.

Kerja sama ideologis dan kesamaan platform harus dilihat secara nyata dalam merumuskan dan menjalankan program pemerintahan bersama. Hal ini sekaligus untuk melihat apakah dalam tataran praktis masing-masing ideologi dan platform partai politik juga mengalami perjumpaan. Karena itu, koalisi dalam Pemilu Presiden 2014 hendaknya didasarkan pada pertimbangan jangka panjang yang dikaitkan dengan koalisi di tahun 2019 mendatang.

Diharapkan saat itu partai politik sudah dapat melihat dan mengevaluasi kesesuaian ideologi dan platform hingga tataran implementasi. Apalagi pada 2019 mendatang, pemilu legislatif dan pemilu presiden akan dijalankan secara serentak sehingga pertimbangan koalisi tidak lagi hasil pemilu legislatif, tetapi pengalaman perjalanan lima tahun sebelumnya.

Koalisi akan terjadi secara alamiah, bahkan kalaupun ketentuan presidential threshold ditiadakan untuk Pemilu 2019.

JANEDJRI M. GAFFAR
Doktor Ilmu Hukum, Alumnus PDIH, Universitas Diponegoro, Semarang
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6924 seconds (0.1#10.140)