Korupsi dan laju pembangunan

Sabtu, 03 Mei 2014 - 14:28 WIB
Korupsi dan laju pembangunan
Korupsi dan laju pembangunan
A A A
PRAKTIK pungutan liar (pungli) dengan berbagai bentuk masih masif di jalan raya. Ganjar Pranowo, gubernur Jawa Tengah, sangat marah melihat kenyataan korupsi di jalan raya masih berlangsung di daerahnya.

Model korupsi jalan raya adalah korupsi kelas teri. Berdampak pada beban biaya ekonomi ‘high cost economy”, dan mengurangi umur ekonomis jalan raya. Kejadian korupsi ini tetap berlangsung kendati akhirakhir ini KPK sudah sangat intensif menangkap para politisi dan para birokrat koruptor. Kemudian majelis hakim telah menjatuhkan hukuman yang jauh lebih berat dibandingkan dengan kejadian korupsi besar pada lima tahun sebelumnya.

Model korupsi ”ikan teri”

Fenomena ini ditayangkan oleh televisi saat Ganjar Pranowo berkunjung secara mendadak ke jembatan timbang di Jawa Tengah. Saat itu terlihat para sopir truk yang melewati timbangan truk membawa uang yang dimasukkan ke dalam amplop.

Kemudian mereka meninggalkan uang tersebut ke petugas penjaga timbangan. Korupsi kecil-kecilan skala ikan teri berdampak besar. Fenomena sopir sebagai penyuap dan petugas sebagai penerima suap mungkin saja terjadi di hampir kebanyakan jembatan timbang.

Uang resmi berupa retribusi yang dibayar oleh setiap truk yang melewati suatu jalan tertentu ditetapkan oleh peraturan daerah setempat. Penerimaan itu merupakan pemasukan pemerintah daerah secara resmi.

Setiap truk yang melewati jalan raya, dengan ukuran bobot beban yang dibawanya akan dikenai sejumlah tarif. Persoalannya, banyak di antara truk yang melewati jembatan timbang tidak melakukan penimbangan. Pada kasus ini sopir truk lebih mudah menyerahkan uang kepada petugas dengan jumlah yang biasa sudah lazim disetujui oleh petugas yang bertugas.

Praktik ini sudah bertahun-tahun dan jarang pemimpin daerah yang menggubris. Atau mereka purapura tidak tahu. Cara lainnya, truk melewati jembatan timbang dan ketika mereka membawa berat bobot truk lebih dari yang sudah ditetapkan, maka mereka biasa menutupinya dengan uang agar tidak terkena denda tambahan. Kasus terakhir ini juga terjadi. Bagi supir truk, hal ini biasanya sudah disiapkan sebagai unit costs tambahan untuk membawa barang-barang dari tempat asal ke tempat tujuan.

Biasanya kelebihan angkutan akan menyebabkan tambahan keuntungan bagi pengusaha truk agar mereka masih tetap untuk mengembangkan bisnis angkutan. Namun, persoalannya tidak sesederhana itu saja. Selain kasus di jembatan timbang, biasa sopir truk juga akan melalui berbagai kelompok yang sangat membebankan biaya produksi.

Studi yang dilakukan oleh mahasiswa kami menemukan bahwa sopir juga mendapatkan beban tambahan dari setiap praktik razia yang dilakukan oleh aparat di jalanan. Setiap kedok ”razia” di jalanan juga membawa implikasi, biasanya pemeriksaan kendaraan tidak dilakukan.

Sopir truk cukup membawa tas kecil dan di dalam tas berisi uang yang langsung diserahkan kepada petugas razia yang ada. Ini sudah lazim dilakukan dan membebani juga tambahan sopir truk. Selain dari petugas razia jalan raya, para sopir juga dibebani oleh setoran yang mesti diserahkan kepada preman yang mangkal pada titik-titik tertentu.

Menurut penelitian mahasiswa kami, besaran beban yang diberikan kepada preman secara relatif sama dengan beban yang juga diberikan kepada petugas yang melakukan razia sepanjang hari. Angkanya Fantastis. Jika membawa truk kosong dari Medan ke Padang memerlukan biaya Rp2 juta. Sebaliknya jika membawa barang, sopir telah menganggarkan sekitar Rp4 juta rupiah untuk jarak yang sama.

Konsekuensi

Konsekuensi dari terbiasanya praktik pungli di jalan raya ini adalah beban jalan raya selalu lebih dari ambang batas beban yang bisa ditanggungnya— sesuai kualitas pembuatan jalan. Alhasil, umur ekonomis jalan menjadi lebih pendek dari teknis yang ditetapkan.

Pada 2014 ini saja, misalnya untuk pengaspalan kembali jalan yang rusak di jalan raya pantai utara Jawa direncanakan sepanjang 1.200 km, anggaran Kementerian PU adalah Rp1,2 triliun. Program tahunan ini biasanya dilakukan sekitar tiga bulan menjelang Lebaran. Dan Kementerian PU lebih memilih program penyusutan jalan ketimbang membangun ruas jalan atau pelebaran jalan baru di luar Jawa.

Pantas Wakil Presiden Boediono mengemukakan Indonesia adalah sebuah negara ”darurat infrastruktur”, mengingat sepanjang dua dekade terakhir pembangunan infrastruktur di Indonesia boleh dibilang tidak signifikan.

Padahal, kebutuhan infrastruktur yang tidak saja diperlukan di daerah Jawa, namun juga pembangunan ruas jalan baru atau pelebaran di sepanjang ruas Sumatra, Trans Kalimantan, Sulawesi, Irian, dan berbagai pulau yang juga belum memiliki infrastruktur memadai. Aksi Ganjar Pranowo telah menyadarkan kita akan aib bangsa, yaitu praktik korupsi kecil-kecilan memang sangat banyak terjadi.

Sekali-sekali, selain dari jembatan timbang, baiknya blusukan dengan memeriksa meja para pegawai rendahan. Di sana akan diketahui bahwa praktik korupsi tidak saja muncul pada top management, tapi juga pada middle, dan lower management. Fenomena sopir truk yang membuka aib itu. Biasanya setelah hasil blusukan demikian, sanksi berikutnya tidak terjadi.

Alias persoalan yang sama dibiarkan atau para aparat dipindahkan. Hanya dengan cara yang tegas yang bisa menuntaskan persoalan: kepada sopir truk sebaiknya SIM mereka dicabut jika melanggar. Petugas jembatan timbangan sebaiknya dipensiunkan lebih cepat, daripada memelihara dan melanggengkan praktik korupsi. Selamat mencoba.

ELFINDRI
Profesor Ekonomi SDM dan Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi, Universitas Andalas (Unand), Padang

(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0571 seconds (0.1#10.140)