Pemilu terburuk
A
A
A
SEBAGAI negara demokrasi sejak awal sejarah berdiri, Indonesia telah berulang kali menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu).
Berdasarkan realitas yang ada dalam setiap pemilu tersebut, tidak sedikit ilmuwan maupun praktisi politik yang mengatakan bahwa pemilu pertama yang diselenggarakan pada 1955 merupakan pemilu terbaik. Dalam pemilu itu tidak ada praktik menyogok pemilih, partisipasi politik rakyat tinggi, dan tidak ada bentrokan antarkonstituen partai kontestan pemilu.
Walaupun saat itu adalah fase ideologis yang di dalamnya terdapat berbagai benturan pemikiran ideologis yang sangat keras antara satu tokoh partai dengan tokoh partai yang lain, tidak ada setetes pun darah tercecer.
Pemilu tetap terselenggara secara damai. Sangat jauh berbeda dengan Pemilu 2014. Pemilu yang diselenggarakan dengan berbagai bekal pengalaman dari pemilupemilu sebelumnya itu, dengan persiapan yang telah dilakukan secara lebih matang, seharusnya menjadi pemilu terbaik.
Namun, kenyataan berbicara sebaliknya. Pemilu 2014 menjadi pemilu terburuk sepanjang sejarah republik ini berdiri. Pelanggaran terjadi secara masif dan dilakukan oleh seluruh komponen atau pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu, baik rakyat pemilih, caleg, partai politik maupun penyelenggara pemilu.
Memang tidak seluruhnya sehingga tidak bisa digeneralisasi, tetapi dalam tiap komponen tersebut, kuantitas pelanggarannya melampaui batas toleransi. Namun, itu terjadi dengan seolah-olah semuanya berjalan normal-normal atau baik-baik saja. Walaupun semuanya tahu terjadi pelanggaran itu, nyaris semuanya berpura- pura tidak tahu. Dan jika ada satu dua pihak yang berusaha untuk mengungkapkannya, seolah dianggap angin lalu saja.
Dalam Pemilu 2014, mayoritas pemilih menjadi sangat pragmatis dan bahkan sadis. Kedaulatan tiap individu dalam politik membuat setiap orang yang memenuhi syarat bisa memiliki satu suara (one person, one vote), apa pun status, gelar, dan kemampuannya.
Bahkan orang setengah gila pun bisa memiliki satu suara. Sebab, dalam demokrasi liberal, yang dihitung adalah jumlah kepala, bukan isi kepala. Jargon mayoritas pemilih yang pragmatis itu bisa disimplifikasi menjadi one envelope, one vote, satu amplop (baca: berisi uang), satu suara.
Sebagian besar caleg pun berpikir sangat pragmatis. Mereka ingin mendapatkan kepercayaan besar, tetapi hanya melakukan cara-cara instan. Apa pun yang diinginkan masyarakat, asalkan mampu, mereka berikan walaupun sesungguhnya sangat terpaksa.
Bahkan tidak sedikit caleg yang memiliki kemampuan itu karena dipaksakan dengan cara berutang, dengan harapan jika terpilih nanti mereka akan mendapatkan kembalian dari gaji yang diterima setiap bulan, bahkan tidak sedikit pula yang tentu saja sudah sangat tahu bahwa kembalian itu tidak mungkin bisa didapatkan kecuali dengan cara korupsi dan dengan itulah mereka bisa membayar utangutang.
Itulah yang menyebabkan Pemilu 2014 sangat sarat dengan praktik politik uang. Hanya sedikit saja caleg yang tidak melakukan praktik politik uang karena benar-benar berpikir idealis tidak mau melakukan tindakan ilegal itu dengan alasan telah diharamkan undangundang yang salah satu sumber nilainya adalah agama yang mereka yakini.
Sebagian caleg yang tidak melakukan praktik politik uang bukan karena mereka tidak berniat melakukannya, tetapi hanya karena memang tidak memiliki kemampuan finansial untuk melakukannya. Jika mereka memiliki kemampuan, mereka akan melakukan hal yang sama.
Tindakan instan para caleg tersebut menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki wawasan dan pemahaman yang benar tentang politik yang mekanisme kerjanya berbeda dengan kerja-kerja sosial seperti memberikan sumbangan makanan, pakaian, dan material untuk pembangunan.
Dengan wawasan dan pemahaman yang benar tentang politik, mestinya para caleg melakukan kerja politik, bukan sekadar kerja sosial. Kerja politik merupakan kerja yang berkaitan dengan kebijakankebijakan politik, yang dengan kebijakan-kebijakan itu struktur- struktur negara bisa digerakkan untuk memberikan yang terbaik kepada negara, terutama warganya. Namun, pada saat yang seharusnya para caleg melakukan kerja politik, nyaris semuanya justru melakukan ”kerja sosial”.
Mereka tiba-tiba mengalami transformasi menjadi tak ubahnya Sinterklas. Namun, setelah tidak terpilih dalam pemilu, mereka secara tibatiba mengalami transformasi kembali ke watak asal. Partai politik juga secara institusi tidak menjalankan fungsi-fungsi fundamentalnya, terutama rekrutmen politik dan pendidikan politik. Dalam konteks rekrutmen politik, hampir seluruh partai politik berpikir pragmatis, yang penting bisa menang dalam pemilu, dengan segala cara.
Karena itu, terjadilah pola rekrutmen politik dengan menjadikan orangorang yang memiliki popularitas dan elektabilitas tinggi sebagai kandidat yang dinominasikan dalam pemilu. Padahal, mereka tidak memiliki kualifikasi yang berkaitan dengan tugas dan fungsi sebagai pejabat jika nantinya benar-benar terpilih. Itu pun tidak diiringi dengan kesadaran untuk memberikan pendidikan politik kepada figur- figur yang tentang definisi politik pun sangat bisa jadi mereka tidak paham.
Pragmatisme ini sesungguhnya merupakan langkah bunuh diri partai karena dengan memiliki pejabat politik yang tidak profesional, apalagi ditambah dengan melakukan tindakan korupsi, partai politik akan terkena imbas citra negatif.
Partai politik juga masih tampak menggunakan caracara kampanye yang tidak cerdas, hanya menjalankan pola dan kebiasaan lama dengan mengumpulkan banyak orang di tempat-tempat yang luas. Padahal sudah terbukti bahwa model kampanye itu sudah tidak sesuai dengan perkembangan dinamika zaman. Terlebih lagi tidak memberikan pendidikan politik yang sesungguhnya sangat diperlukan.
Yang juga sangat memprihatinkan, dalam banyak kasus, penyelenggara pemilu bekerja secara tidak profesional. Dalam konteks KPU, sudah banyak anggota KPUD yang dipecat karena melakukan pelanggaran berat. Dan dalam masa penghitungan suara setelah Pemilu 2014, di beberapa daerah telah terjadi manipulasi yang menyebabkan perubahan caleg terpilih.
Yang paling banyak terlibat dalam manipulasi tersebut adalah penyelenggara pemilu di level lebih bawahnya lagi, yakni terutama PPK (panitia pemilihan kecamatan). Memang manipulasi antarpartai saat ini sudah bisa diminimalisasi. Namun, kecurangan antar caleg dalam satu partai masih sangat banyak terjadi. Dalam konteks pengawas pemilu, bisa dikatakan bahwa lembaga pengawas pemilu nyaris tidak berfungsi sama sekali. Seharusnya pengawas pemilu bisa membuat pemilu terbebas dari segala jenis pelanggaran.
Faktanya, praktik politik uang terjadi tidak lagi secara sembunyi- sembunyi, tetapi sudah sangat terang-terangan. Bukan lagi dalam bentuk ”serangan fajar”, tetapi sampai ”serangan duha” dan bahkan serangan setelah ”salat zuhur” terhadap mereka yang sampai siang hari tampak belum menggunakan hal pilih. Namun, pengawas pemilu tidak melakukan tindakan signifikan untuk mencegah praktik politik uang. Bahkan karena semakin masif terjadi, kemudian cenderung membiarkan.
Yang lebih memprihatinkan lagi, jika terjadi pelanggaran yang diketahui, misalnya karena pelakunya sendiri yang mengaku melakukan praktik politik uang, tidak ada tindakan tegas penegak hukum.
Sebagai contoh sederhana, setelah penyelenggaraan pemilu, tidak sedikit caleg yang tidak terpilih kemudian berlaku emosional yang kemudian menyebabkan kedoknya sebagai pelaku praktik politik uang terbongkar karena meminta kembali uang yang telah mereka berikan. Bahkan kemudian mereka berselisih di kantor kepolisian. Namun, tampaknya masalah itu diselesaikan secara adat.
Penegakan hukum untuk memberikan efek jera tidak dilakukan. Lengkaplah sudah pemilu terselenggara dengan sangat buruk dan tanpa efek pembelajaran yang berharga untuk penyelenggaraannya yang lebih baik di masa depan. Dan jika ini terus dibiarkan, bisa jadi pemilu di masa depan akan lebih buruk. Wallahu a’lam bi al-shawab.
DR MOHAMMAD NASIH, MSI
Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ Guru di Rumah Perkaderan Monash Institute Semarang
Berdasarkan realitas yang ada dalam setiap pemilu tersebut, tidak sedikit ilmuwan maupun praktisi politik yang mengatakan bahwa pemilu pertama yang diselenggarakan pada 1955 merupakan pemilu terbaik. Dalam pemilu itu tidak ada praktik menyogok pemilih, partisipasi politik rakyat tinggi, dan tidak ada bentrokan antarkonstituen partai kontestan pemilu.
Walaupun saat itu adalah fase ideologis yang di dalamnya terdapat berbagai benturan pemikiran ideologis yang sangat keras antara satu tokoh partai dengan tokoh partai yang lain, tidak ada setetes pun darah tercecer.
Pemilu tetap terselenggara secara damai. Sangat jauh berbeda dengan Pemilu 2014. Pemilu yang diselenggarakan dengan berbagai bekal pengalaman dari pemilupemilu sebelumnya itu, dengan persiapan yang telah dilakukan secara lebih matang, seharusnya menjadi pemilu terbaik.
Namun, kenyataan berbicara sebaliknya. Pemilu 2014 menjadi pemilu terburuk sepanjang sejarah republik ini berdiri. Pelanggaran terjadi secara masif dan dilakukan oleh seluruh komponen atau pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu, baik rakyat pemilih, caleg, partai politik maupun penyelenggara pemilu.
Memang tidak seluruhnya sehingga tidak bisa digeneralisasi, tetapi dalam tiap komponen tersebut, kuantitas pelanggarannya melampaui batas toleransi. Namun, itu terjadi dengan seolah-olah semuanya berjalan normal-normal atau baik-baik saja. Walaupun semuanya tahu terjadi pelanggaran itu, nyaris semuanya berpura- pura tidak tahu. Dan jika ada satu dua pihak yang berusaha untuk mengungkapkannya, seolah dianggap angin lalu saja.
Dalam Pemilu 2014, mayoritas pemilih menjadi sangat pragmatis dan bahkan sadis. Kedaulatan tiap individu dalam politik membuat setiap orang yang memenuhi syarat bisa memiliki satu suara (one person, one vote), apa pun status, gelar, dan kemampuannya.
Bahkan orang setengah gila pun bisa memiliki satu suara. Sebab, dalam demokrasi liberal, yang dihitung adalah jumlah kepala, bukan isi kepala. Jargon mayoritas pemilih yang pragmatis itu bisa disimplifikasi menjadi one envelope, one vote, satu amplop (baca: berisi uang), satu suara.
Sebagian besar caleg pun berpikir sangat pragmatis. Mereka ingin mendapatkan kepercayaan besar, tetapi hanya melakukan cara-cara instan. Apa pun yang diinginkan masyarakat, asalkan mampu, mereka berikan walaupun sesungguhnya sangat terpaksa.
Bahkan tidak sedikit caleg yang memiliki kemampuan itu karena dipaksakan dengan cara berutang, dengan harapan jika terpilih nanti mereka akan mendapatkan kembalian dari gaji yang diterima setiap bulan, bahkan tidak sedikit pula yang tentu saja sudah sangat tahu bahwa kembalian itu tidak mungkin bisa didapatkan kecuali dengan cara korupsi dan dengan itulah mereka bisa membayar utangutang.
Itulah yang menyebabkan Pemilu 2014 sangat sarat dengan praktik politik uang. Hanya sedikit saja caleg yang tidak melakukan praktik politik uang karena benar-benar berpikir idealis tidak mau melakukan tindakan ilegal itu dengan alasan telah diharamkan undangundang yang salah satu sumber nilainya adalah agama yang mereka yakini.
Sebagian caleg yang tidak melakukan praktik politik uang bukan karena mereka tidak berniat melakukannya, tetapi hanya karena memang tidak memiliki kemampuan finansial untuk melakukannya. Jika mereka memiliki kemampuan, mereka akan melakukan hal yang sama.
Tindakan instan para caleg tersebut menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki wawasan dan pemahaman yang benar tentang politik yang mekanisme kerjanya berbeda dengan kerja-kerja sosial seperti memberikan sumbangan makanan, pakaian, dan material untuk pembangunan.
Dengan wawasan dan pemahaman yang benar tentang politik, mestinya para caleg melakukan kerja politik, bukan sekadar kerja sosial. Kerja politik merupakan kerja yang berkaitan dengan kebijakankebijakan politik, yang dengan kebijakan-kebijakan itu struktur- struktur negara bisa digerakkan untuk memberikan yang terbaik kepada negara, terutama warganya. Namun, pada saat yang seharusnya para caleg melakukan kerja politik, nyaris semuanya justru melakukan ”kerja sosial”.
Mereka tiba-tiba mengalami transformasi menjadi tak ubahnya Sinterklas. Namun, setelah tidak terpilih dalam pemilu, mereka secara tibatiba mengalami transformasi kembali ke watak asal. Partai politik juga secara institusi tidak menjalankan fungsi-fungsi fundamentalnya, terutama rekrutmen politik dan pendidikan politik. Dalam konteks rekrutmen politik, hampir seluruh partai politik berpikir pragmatis, yang penting bisa menang dalam pemilu, dengan segala cara.
Karena itu, terjadilah pola rekrutmen politik dengan menjadikan orangorang yang memiliki popularitas dan elektabilitas tinggi sebagai kandidat yang dinominasikan dalam pemilu. Padahal, mereka tidak memiliki kualifikasi yang berkaitan dengan tugas dan fungsi sebagai pejabat jika nantinya benar-benar terpilih. Itu pun tidak diiringi dengan kesadaran untuk memberikan pendidikan politik kepada figur- figur yang tentang definisi politik pun sangat bisa jadi mereka tidak paham.
Pragmatisme ini sesungguhnya merupakan langkah bunuh diri partai karena dengan memiliki pejabat politik yang tidak profesional, apalagi ditambah dengan melakukan tindakan korupsi, partai politik akan terkena imbas citra negatif.
Partai politik juga masih tampak menggunakan caracara kampanye yang tidak cerdas, hanya menjalankan pola dan kebiasaan lama dengan mengumpulkan banyak orang di tempat-tempat yang luas. Padahal sudah terbukti bahwa model kampanye itu sudah tidak sesuai dengan perkembangan dinamika zaman. Terlebih lagi tidak memberikan pendidikan politik yang sesungguhnya sangat diperlukan.
Yang juga sangat memprihatinkan, dalam banyak kasus, penyelenggara pemilu bekerja secara tidak profesional. Dalam konteks KPU, sudah banyak anggota KPUD yang dipecat karena melakukan pelanggaran berat. Dan dalam masa penghitungan suara setelah Pemilu 2014, di beberapa daerah telah terjadi manipulasi yang menyebabkan perubahan caleg terpilih.
Yang paling banyak terlibat dalam manipulasi tersebut adalah penyelenggara pemilu di level lebih bawahnya lagi, yakni terutama PPK (panitia pemilihan kecamatan). Memang manipulasi antarpartai saat ini sudah bisa diminimalisasi. Namun, kecurangan antar caleg dalam satu partai masih sangat banyak terjadi. Dalam konteks pengawas pemilu, bisa dikatakan bahwa lembaga pengawas pemilu nyaris tidak berfungsi sama sekali. Seharusnya pengawas pemilu bisa membuat pemilu terbebas dari segala jenis pelanggaran.
Faktanya, praktik politik uang terjadi tidak lagi secara sembunyi- sembunyi, tetapi sudah sangat terang-terangan. Bukan lagi dalam bentuk ”serangan fajar”, tetapi sampai ”serangan duha” dan bahkan serangan setelah ”salat zuhur” terhadap mereka yang sampai siang hari tampak belum menggunakan hal pilih. Namun, pengawas pemilu tidak melakukan tindakan signifikan untuk mencegah praktik politik uang. Bahkan karena semakin masif terjadi, kemudian cenderung membiarkan.
Yang lebih memprihatinkan lagi, jika terjadi pelanggaran yang diketahui, misalnya karena pelakunya sendiri yang mengaku melakukan praktik politik uang, tidak ada tindakan tegas penegak hukum.
Sebagai contoh sederhana, setelah penyelenggaraan pemilu, tidak sedikit caleg yang tidak terpilih kemudian berlaku emosional yang kemudian menyebabkan kedoknya sebagai pelaku praktik politik uang terbongkar karena meminta kembali uang yang telah mereka berikan. Bahkan kemudian mereka berselisih di kantor kepolisian. Namun, tampaknya masalah itu diselesaikan secara adat.
Penegakan hukum untuk memberikan efek jera tidak dilakukan. Lengkaplah sudah pemilu terselenggara dengan sangat buruk dan tanpa efek pembelajaran yang berharga untuk penyelenggaraannya yang lebih baik di masa depan. Dan jika ini terus dibiarkan, bisa jadi pemilu di masa depan akan lebih buruk. Wallahu a’lam bi al-shawab.
DR MOHAMMAD NASIH, MSI
Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ Guru di Rumah Perkaderan Monash Institute Semarang
(nfl)