Tiga tantangan pendidikan nasional
A
A
A
PENDIDIKAN nasional pasca pemilu presiden dihadapkan pada tiga tantangan sekaligus. Pertama, tantangan dalam menghadapi bonus demografi.
Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2035 diproyeksikan mencapai 305,6 juta jiwa. Meningkatnya jumlah penduduk Indonesia tentu saja akan disertai dengan meningkatnya penduduk berusia produktif (usia 15 tahun sampai 65 tahun).
Inilah yang akan kita hadapi dalam periode bonus demografi, yaitu rasio ketergantungan terhadap penduduk tak produktif. Alhasil, penduduk Indonesia yang produktif diperkirakan akan lebih banyak daripada penduduk yang tak produktif. Fenomena ini harus didukung kebijakan ekonomi, pendidikan, sosial, dan kesehatan dalam merespons bonus demografis tersebut.
Kebijakan pendidikan adalah kunci utama dalam pembangunan nasional yang memiliki efek jangka panjang berkelanjutan. Kedua, tantangan merespons perubahan di tingkat regional atas rencana pemberlakuan Masyarakat ASEAN 2015.
Sebagai kebijakan politik internasional, Komunitas ASEAN 2015 menjadi isu penting dalam menghadapi persaingan di tingkat regional. Kita akan menghadapi kompetisi era regional yang menunjukkan performa kompetisi, kualifikasi, dan keterampilan. Inilah pembuktian bahwa Indonesia bisa bersaing dengan negara-negara serumpun dari Asia Tenggara.
Masyarakat ASEAN 2015 juga memberikan gambaran bagaimana persaingan pendidikan berlangsung secara dinamis. Mulai dari pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah hingga pendidikan tinggi.
Menjadi keniscayaan ketika kualitas pendi-dikan Indonesia akan dihadapkan dengan kompetisi regional yang sangat ketat. Tantangan ketiga adalah kualitas guru yang menjadi kunci sekaligus elan vital pendidikan nasional. Pendidikan di mana pun berada kuncinya terletak pada kualitas guru.
Kurikulum canggih tanpa didukung guru-guru yang canggih sama dengan mimpi di siang bolong. Masa depan pendidikan Indonesia berada pada kualitas guru yang mumpuni. Guru adalah penerang masa depan pendidikan. Presiden dan kabinetnya yang dihasilkan dari pesta demokrasi 2014 akan menghadapi tiga tantangan besar tersebut.
Dua periode kepemimpinan Presiden SBY memang sudah melakukan berbagai kebijakan dalam pendidikan seperti penyediaan beasiswa Bidik Misi, beasiswa dalam negeri, beasiswa luar negeri, sertifikasi guru, sertifikasi dosen, ujian kompetensi guru (UKG), Kurikulum 2013 maupun kebijakankebijakan lain. Memang mesti juga diakui bahwa urusan pendidikan tak selamanya maksimal di tangan pemerintah.
Pemerintah memang memiliki tangan dan kaki yang terbatas dalam memperkuat kualitas maupun kuantitas pendidikan nasional. Misalnya, kita masih melihat persebaran kualitas yang masih sangat timpang antara daerah-daerah di Jawa dengan luar Jawa. Ketimpangan kualitas berupa sarana prasarana maupun output pendidikan yang masih terlokalisir di Pulau Jawa.
Kualitas guru
Berdasarkan data statistik, pada saat ini jumlah guru di Indonesia sekitar 2.600.000 orang. Sebanyak 78% di antara mereka belum lulus sertifikasi. Sertifikasi Guru dilaksanakan Kemendikbud untuk mengakselerasi kompetensi guru.
Data tersebut juga menunjukkan 1,5 juta guru belum berkualifikasi sarjana/diploma 4. Adanya program sertifikasi guru ini dengan berbagai kekurangan mesti dihargai sebagai iktikad baik pemerintah dalam mendongkrak kualitas guru yang tujuan akhirnya dapat meningkatkan kualitas pendidikan nasional.
Apalagi program sertifikasi ini mengeluarkan dana yang sangat besar. Dari APBN Rp1.842 triliun, anggaran pendidikan mencapai Rp371 triliun. Sekitar Rp 110 triliunnya untuk program sertifikasi guru. Ekspektasi rakyat Indonesia tentu saja beralasan karena dana tersebut adalah uang rakyat.
Sejatinya, hasil sertifikasi guru tersebut juga dapat dikembalikan untuk rakyat dengan meningkatnya kualitas pendidikan di Indonesia. Ironisnya, kita memang masih tersandera dengan berbagai problem yang berada dalam dunia pendidikan kita.
Di satu sisi, anggaran maupun program peningkatan kualitas guru terus dilakukan, tetapi kita juga belum melihat perubahan signifikan. Sebagian mengatakan bahwa perubahan tersebut tidak seperti membalikkan telapak tangan.
Tapi kita juga membutuhkan berbagai terobosan yang seharusnya dilakukan para guru setelah mereka mendapatkan sertifikat mengajar. Terobosan itu antara lain dengan lahirnya berbagai terobosan berupa metode, teknologi, media pembelajaran yang kreatif dan inovatif di kalangan guru.
Memang kita juga tak bisa menampik bahwa banyak guru di beberapa daerah kreatif dan inovatif dalam pembelajarannya. Tapi, secara umum kita belum melihat perubahan secara masif di seluruh Tanah Air.
Kualitas guru mengacu pada dua kemampuan, yaitu kemampuan akademik dan kemampuan non akademik. Kita harus mendorong agar guru-guru memiliki kemampuan akademik yang lebih tinggi. Kemampuan tersebut dalam hal metodologi pembelajaran, penggunaan teknologi/media pembelajaran, serta pengayaan berbagai sumber pembelajaran yang menarik dan inspiratif.
Termasuk juga di dalamnya penggunaan teknologi informasi yang mendukung pembelajaran. Tak kalah penting adalah tantangan nonakademik. Guru pasca sertifikasi tidak hanya dituntut cakap dan mahir dalam pembelajaran di kelas, tetapi juga harus cakap dan mahir dalam pergaulan dengan lingkungan profesinya.
Arah politik pendidikan
Presiden dan kabinet baru memiliki tugas sangat berat dalam mengantarkan Indonesia menghadapi tiga tantangan tersebut. Sejatinya memang berbagai warisan dan masalah pendidikan akan diterima oleh otoritas pendidikan terbaru.
Beberapa warisan dan masalah tersebut sudah dijelaskan di bagian sebelumnya. Kabinet baru rasanya akan lebih berat menghadapi berbagai tantangan tersebut karena perubahan di tingkat global dan regional berlangsung sangat cepat.
Secara politik juga, fase pasca Pemilu 2014 adalah fondasi penting bagi peta jalan politik Indonesia 10 tahun ke depan. Artinya, siapa pun presiden terpilih nanti memiliki peluang dan kesempatan untuk meneruskan kekuasaan periode keduanya pasca Pemilu 2019.
Tidak berlebihan jika kita menantikan cetak biru politik pendidikan nasional dari para capres yang akan berlaga dalam pilpres nanti. Publik perlu membaca, memahami dan memperdebatkannya dalam ruang-ruang publik cetak biru politik pendidikan tersebut untuk membawa pendidikan Indonesia bersaing di dunia internasional.
Memang harus diakui bahwa perdebatan cetak biru pendidikan ini kalah ingarbingar dari perdebatan koalisi dan bagi-bagi kekuasaan. Membincangkan visi pendidikan nasional adalah bagian dari keterlibatan publik dalam pembangunan pendidikan. Di tengah tahun politik, pengambil kebijakan di bidang pendidikan harus fokus pada visi besar bangsa Indonesia dalam membangun kualitas manusia Indonesia yang dicitacitakan secara kolektif.
Kita akan menghadapi transisi kepemimpinan yang akan membawa sejauh mana pendidikan Indonesia dikelola untuk kepentingan mencerdaskan kehidupan bangsa.
RAKHMAT HIDAYAT
Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2035 diproyeksikan mencapai 305,6 juta jiwa. Meningkatnya jumlah penduduk Indonesia tentu saja akan disertai dengan meningkatnya penduduk berusia produktif (usia 15 tahun sampai 65 tahun).
Inilah yang akan kita hadapi dalam periode bonus demografi, yaitu rasio ketergantungan terhadap penduduk tak produktif. Alhasil, penduduk Indonesia yang produktif diperkirakan akan lebih banyak daripada penduduk yang tak produktif. Fenomena ini harus didukung kebijakan ekonomi, pendidikan, sosial, dan kesehatan dalam merespons bonus demografis tersebut.
Kebijakan pendidikan adalah kunci utama dalam pembangunan nasional yang memiliki efek jangka panjang berkelanjutan. Kedua, tantangan merespons perubahan di tingkat regional atas rencana pemberlakuan Masyarakat ASEAN 2015.
Sebagai kebijakan politik internasional, Komunitas ASEAN 2015 menjadi isu penting dalam menghadapi persaingan di tingkat regional. Kita akan menghadapi kompetisi era regional yang menunjukkan performa kompetisi, kualifikasi, dan keterampilan. Inilah pembuktian bahwa Indonesia bisa bersaing dengan negara-negara serumpun dari Asia Tenggara.
Masyarakat ASEAN 2015 juga memberikan gambaran bagaimana persaingan pendidikan berlangsung secara dinamis. Mulai dari pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah hingga pendidikan tinggi.
Menjadi keniscayaan ketika kualitas pendi-dikan Indonesia akan dihadapkan dengan kompetisi regional yang sangat ketat. Tantangan ketiga adalah kualitas guru yang menjadi kunci sekaligus elan vital pendidikan nasional. Pendidikan di mana pun berada kuncinya terletak pada kualitas guru.
Kurikulum canggih tanpa didukung guru-guru yang canggih sama dengan mimpi di siang bolong. Masa depan pendidikan Indonesia berada pada kualitas guru yang mumpuni. Guru adalah penerang masa depan pendidikan. Presiden dan kabinetnya yang dihasilkan dari pesta demokrasi 2014 akan menghadapi tiga tantangan besar tersebut.
Dua periode kepemimpinan Presiden SBY memang sudah melakukan berbagai kebijakan dalam pendidikan seperti penyediaan beasiswa Bidik Misi, beasiswa dalam negeri, beasiswa luar negeri, sertifikasi guru, sertifikasi dosen, ujian kompetensi guru (UKG), Kurikulum 2013 maupun kebijakankebijakan lain. Memang mesti juga diakui bahwa urusan pendidikan tak selamanya maksimal di tangan pemerintah.
Pemerintah memang memiliki tangan dan kaki yang terbatas dalam memperkuat kualitas maupun kuantitas pendidikan nasional. Misalnya, kita masih melihat persebaran kualitas yang masih sangat timpang antara daerah-daerah di Jawa dengan luar Jawa. Ketimpangan kualitas berupa sarana prasarana maupun output pendidikan yang masih terlokalisir di Pulau Jawa.
Kualitas guru
Berdasarkan data statistik, pada saat ini jumlah guru di Indonesia sekitar 2.600.000 orang. Sebanyak 78% di antara mereka belum lulus sertifikasi. Sertifikasi Guru dilaksanakan Kemendikbud untuk mengakselerasi kompetensi guru.
Data tersebut juga menunjukkan 1,5 juta guru belum berkualifikasi sarjana/diploma 4. Adanya program sertifikasi guru ini dengan berbagai kekurangan mesti dihargai sebagai iktikad baik pemerintah dalam mendongkrak kualitas guru yang tujuan akhirnya dapat meningkatkan kualitas pendidikan nasional.
Apalagi program sertifikasi ini mengeluarkan dana yang sangat besar. Dari APBN Rp1.842 triliun, anggaran pendidikan mencapai Rp371 triliun. Sekitar Rp 110 triliunnya untuk program sertifikasi guru. Ekspektasi rakyat Indonesia tentu saja beralasan karena dana tersebut adalah uang rakyat.
Sejatinya, hasil sertifikasi guru tersebut juga dapat dikembalikan untuk rakyat dengan meningkatnya kualitas pendidikan di Indonesia. Ironisnya, kita memang masih tersandera dengan berbagai problem yang berada dalam dunia pendidikan kita.
Di satu sisi, anggaran maupun program peningkatan kualitas guru terus dilakukan, tetapi kita juga belum melihat perubahan signifikan. Sebagian mengatakan bahwa perubahan tersebut tidak seperti membalikkan telapak tangan.
Tapi kita juga membutuhkan berbagai terobosan yang seharusnya dilakukan para guru setelah mereka mendapatkan sertifikat mengajar. Terobosan itu antara lain dengan lahirnya berbagai terobosan berupa metode, teknologi, media pembelajaran yang kreatif dan inovatif di kalangan guru.
Memang kita juga tak bisa menampik bahwa banyak guru di beberapa daerah kreatif dan inovatif dalam pembelajarannya. Tapi, secara umum kita belum melihat perubahan secara masif di seluruh Tanah Air.
Kualitas guru mengacu pada dua kemampuan, yaitu kemampuan akademik dan kemampuan non akademik. Kita harus mendorong agar guru-guru memiliki kemampuan akademik yang lebih tinggi. Kemampuan tersebut dalam hal metodologi pembelajaran, penggunaan teknologi/media pembelajaran, serta pengayaan berbagai sumber pembelajaran yang menarik dan inspiratif.
Termasuk juga di dalamnya penggunaan teknologi informasi yang mendukung pembelajaran. Tak kalah penting adalah tantangan nonakademik. Guru pasca sertifikasi tidak hanya dituntut cakap dan mahir dalam pembelajaran di kelas, tetapi juga harus cakap dan mahir dalam pergaulan dengan lingkungan profesinya.
Arah politik pendidikan
Presiden dan kabinet baru memiliki tugas sangat berat dalam mengantarkan Indonesia menghadapi tiga tantangan tersebut. Sejatinya memang berbagai warisan dan masalah pendidikan akan diterima oleh otoritas pendidikan terbaru.
Beberapa warisan dan masalah tersebut sudah dijelaskan di bagian sebelumnya. Kabinet baru rasanya akan lebih berat menghadapi berbagai tantangan tersebut karena perubahan di tingkat global dan regional berlangsung sangat cepat.
Secara politik juga, fase pasca Pemilu 2014 adalah fondasi penting bagi peta jalan politik Indonesia 10 tahun ke depan. Artinya, siapa pun presiden terpilih nanti memiliki peluang dan kesempatan untuk meneruskan kekuasaan periode keduanya pasca Pemilu 2019.
Tidak berlebihan jika kita menantikan cetak biru politik pendidikan nasional dari para capres yang akan berlaga dalam pilpres nanti. Publik perlu membaca, memahami dan memperdebatkannya dalam ruang-ruang publik cetak biru politik pendidikan tersebut untuk membawa pendidikan Indonesia bersaing di dunia internasional.
Memang harus diakui bahwa perdebatan cetak biru pendidikan ini kalah ingarbingar dari perdebatan koalisi dan bagi-bagi kekuasaan. Membincangkan visi pendidikan nasional adalah bagian dari keterlibatan publik dalam pembangunan pendidikan. Di tengah tahun politik, pengambil kebijakan di bidang pendidikan harus fokus pada visi besar bangsa Indonesia dalam membangun kualitas manusia Indonesia yang dicitacitakan secara kolektif.
Kita akan menghadapi transisi kepemimpinan yang akan membawa sejauh mana pendidikan Indonesia dikelola untuk kepentingan mencerdaskan kehidupan bangsa.
RAKHMAT HIDAYAT
Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
(nfl)