Pemilu sebagai alat rekrutmen pemimpin
A
A
A
SEBUAH organisasi termasuk di dalamnya organisasi negara, memerlukan suatu cara untuk menyaring sumber daya manusia yang menjadi anggotanya untuk menduduki posisi kepemimpinan. Sebagaimana layaknya organisasi pemimpin diseleksi dari stok sumber daya manusia terbaik dari suatu stok yang dimiliki.
Apabila suatu sistem rekrutmen dalam hal ini pemilu, gagal menyaring dan memperoleh sumber daya terbaik, maka absah untuk mengevaluasi sistem yang sedang dilaksanakan. Politik uang yang makin marak akhir-akhir ini menjadi sandungan bagi SDM yang baik, tetapi tidak memiliki sumber keuangan dan atau tidak tega melakukannya.
Suatu pertanyaan yang diajukan kepada pemilih tidak malu lagi mereka menyatakan suaranya minta ditukar dengan uang. Ideologi, program, janji perubahan, dan perjuangan mereka tidak yakin ada.
Walaupun sebenarnya para wakil rakyat sudah bekerja menghasilkan berbagai undang-undang bahkan yang paling dirasakan seperti BPJS, rakyat sulit mengidentifikasi partai apa yang sudah berkontribusi dan partai apa yang menolak.
Demikian juga undangundang yang mungkin merugikan mereka sebagai bangsa, yang tentu saja debatable tergantung dari perspektif yang dianut. Misalnya mengenai undang-undang sumber daya energi dan sumber daya lainnya, masyarakat juga tidak tahu siapa yang harus dihukum.
Diduga karena tergiring oleh media massa, di mana kesalahan wakil rakyat dan perilakunya yang mungkin menyimpang sebagai news. Masyarakat cenderung menghukum semua wakil rakyat. Mereka akhirnya lebih baik menukar suaranya dengan uang, bahkan bersedia menerima dua tawaran dan hanya memilih salah satu di antaranya yang dianggapnya sebagai hukuman atau perlakuan yang setimpal.
Masa depan partai politik
Dengan monetisasi, yang dimulai dari efek penghasilan tinggi dari para wakil rakyat dan pejabat eksekutif, efek ideologis partai politik menjadi banyak berkurang. Peran partai dalam pendidikan politik tentang negara yang baik menjadi berkurang.
Akibatnya ketika negara menjadi kurang baik, misalnya pemerintah mengalokasikan uang negara pada proyek-proyek yang salah, elitis, karikatif, rakyat hanya apatis. Rakyat memersepsi bahwa janji politik adalah palsu dan mereka menyembunyikan kepentingannya sendiri. Akibatnya partai menjadi mandul.
Politik transaksional membagi kue menjadi dominan, misalnya sebuah proyek yang merusak lingkungan atau merugikan negara dalam jangka panjang bisa diterima asalkan sedikit mendapat bagian.
Pada saat partai politik mandul, naluri atau kebutuhan untuk berkumpul akan tersalur umumnya pada gerakan keagamaan dan sosial. Menariksalahsatuwacana satu gerakan keagamaan anak-anak muda bahwa demokrasi tidak berhasil merekrut kepemimpinanyangbaik. Negara menjadi sekuler, anakanak muda menjadi hedonis, fashionist, konsumtif.
Hasil rekrutmen dari pemilu ke pemilu
Komposisi kepemimpinan nasional yang meliputi para pendiri bangsa sangat concern pada kemajuan negara, pendidikan anak bangsa, keadilan, keagamaan, perlindungan hak asasi, dan sebagainya.
Untuk Indonesia, kita bisa mendefinisikan purposive sampling atau hasil yang diperoleh dari suatu proses rekrutmen yang menghasilkan komposisi kepemimpinan nasional, yang terdiri atas para cendekiawan, militer, para ideolog, serta ulama dan pemimpin agama. Mereka bukan berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling memiliki.
Misalnya tidak berarti bahwa cendekiawannya seorang sekularis yang melakukan konsensus dengan ulama, tetapi cendekiawan tersebut memiliki kadar ulama dan sebaliknya. Pertanyaan mendasar dari percobaan demokrasi liberal akhir-akhir ini, dan juga sistem lain misalnya sistem otoriter, apakah purposive sampling seperti di atas tetap terjadi?
Pada masa Orde Baru, purposive sampling di atas tidak terjadi di mana hanya militer dan angkatan darat yang direkrut, akibatnya nilai kebangsaan menjadi pincang. Korban pertama pada era Reformasi dan Demokrasi Liberal yang dicoba selama dekade ini adalah tersisihnya ulama dari panggung parlemen.
Ulama-ulama murni masih berada dalam organisasi kemasyarakatan di mana harkat dan martabatnya tidak memungkinkan bertarung dalam pemilu yang syarat dengan politik uang. Mereka terlahir untuk ilmu dan keluhuran serta tidak berada pada derajat uang.
Korban kedua adalah para cendekiawan yang memikirkan negara, jumlahnya sekarang makin banyak. Tetapi sama seperti ulama, mereka tidak sampai hati mengikuti pusaran politik uang yang ada. Korban ketiga, pada Pemilu 2014 ini giliran para politisi sejati, the spokesman.
Nama-nama besar yang malang-melintang memikirkan negara tidak bisa masuk parlemen, di antaranya orang-orang yang memiliki integritas untuk tidak bermain kotor dengan politik uang. Di antara mereka yakni Ketua DPR RI Marzuki Alie, Ketua dan Wakil Ketua MPR RI Sidarto Danusubroto dan Hajriyanto Y Tohari, dan banyak nama besar lain dari berbagai partai yang tidak diragukan kompetensi dan pengabdiannya dalam mengarahkan negara.
Senjata makan tuan, para politisi tersebut kini menyadari bahwa liberalisasi sistem pemilu yang sangat bebas di tengah kualitas masyarakat yang ada, yang mereka rancang ternyata menghasilkan komposisi kepemimpinan negara yang pincang juga.
Walaupun tidak separah Orde Baru tetapi mengarah pada monolitisme. Siapakah yang tersisa? Mereka adalah para pedagang kaya dan artis terkenal. Tentu saja debatable apakah para saudagar tidak kapabel untuk memikirkan negara. Demikian juga para artis.
Masalahnya para pedagang ini banyak tidak memiliki visi kenegaraan, hanya melihat kemungkinan popularitas serta power untuk memperoleh akses bisnis itu sendiri karena negara merupakan pembeli terbesar.
Banyak artis idealis yang mencurahkan pemikiran tentang negara yang baik. Di antara mereka WS Rendra, Taufiq Ismail, MH Ainun Najib, Iwan Fals, yang kualitas pemikiran kenegaraannya sudah kita nikmati bersama.
Sistem yang ada tidak memungkinkan merekrut mereka, dan memberi keuntungan yang besar kepada para artis pop yang murni menghibur yang sering kali dengan kualitas hiburan yang dalam tanda kutip kurang berkualitas.
PROF BAMBANG SETIAJI
Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta
Apabila suatu sistem rekrutmen dalam hal ini pemilu, gagal menyaring dan memperoleh sumber daya terbaik, maka absah untuk mengevaluasi sistem yang sedang dilaksanakan. Politik uang yang makin marak akhir-akhir ini menjadi sandungan bagi SDM yang baik, tetapi tidak memiliki sumber keuangan dan atau tidak tega melakukannya.
Suatu pertanyaan yang diajukan kepada pemilih tidak malu lagi mereka menyatakan suaranya minta ditukar dengan uang. Ideologi, program, janji perubahan, dan perjuangan mereka tidak yakin ada.
Walaupun sebenarnya para wakil rakyat sudah bekerja menghasilkan berbagai undang-undang bahkan yang paling dirasakan seperti BPJS, rakyat sulit mengidentifikasi partai apa yang sudah berkontribusi dan partai apa yang menolak.
Demikian juga undangundang yang mungkin merugikan mereka sebagai bangsa, yang tentu saja debatable tergantung dari perspektif yang dianut. Misalnya mengenai undang-undang sumber daya energi dan sumber daya lainnya, masyarakat juga tidak tahu siapa yang harus dihukum.
Diduga karena tergiring oleh media massa, di mana kesalahan wakil rakyat dan perilakunya yang mungkin menyimpang sebagai news. Masyarakat cenderung menghukum semua wakil rakyat. Mereka akhirnya lebih baik menukar suaranya dengan uang, bahkan bersedia menerima dua tawaran dan hanya memilih salah satu di antaranya yang dianggapnya sebagai hukuman atau perlakuan yang setimpal.
Masa depan partai politik
Dengan monetisasi, yang dimulai dari efek penghasilan tinggi dari para wakil rakyat dan pejabat eksekutif, efek ideologis partai politik menjadi banyak berkurang. Peran partai dalam pendidikan politik tentang negara yang baik menjadi berkurang.
Akibatnya ketika negara menjadi kurang baik, misalnya pemerintah mengalokasikan uang negara pada proyek-proyek yang salah, elitis, karikatif, rakyat hanya apatis. Rakyat memersepsi bahwa janji politik adalah palsu dan mereka menyembunyikan kepentingannya sendiri. Akibatnya partai menjadi mandul.
Politik transaksional membagi kue menjadi dominan, misalnya sebuah proyek yang merusak lingkungan atau merugikan negara dalam jangka panjang bisa diterima asalkan sedikit mendapat bagian.
Pada saat partai politik mandul, naluri atau kebutuhan untuk berkumpul akan tersalur umumnya pada gerakan keagamaan dan sosial. Menariksalahsatuwacana satu gerakan keagamaan anak-anak muda bahwa demokrasi tidak berhasil merekrut kepemimpinanyangbaik. Negara menjadi sekuler, anakanak muda menjadi hedonis, fashionist, konsumtif.
Hasil rekrutmen dari pemilu ke pemilu
Komposisi kepemimpinan nasional yang meliputi para pendiri bangsa sangat concern pada kemajuan negara, pendidikan anak bangsa, keadilan, keagamaan, perlindungan hak asasi, dan sebagainya.
Untuk Indonesia, kita bisa mendefinisikan purposive sampling atau hasil yang diperoleh dari suatu proses rekrutmen yang menghasilkan komposisi kepemimpinan nasional, yang terdiri atas para cendekiawan, militer, para ideolog, serta ulama dan pemimpin agama. Mereka bukan berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling memiliki.
Misalnya tidak berarti bahwa cendekiawannya seorang sekularis yang melakukan konsensus dengan ulama, tetapi cendekiawan tersebut memiliki kadar ulama dan sebaliknya. Pertanyaan mendasar dari percobaan demokrasi liberal akhir-akhir ini, dan juga sistem lain misalnya sistem otoriter, apakah purposive sampling seperti di atas tetap terjadi?
Pada masa Orde Baru, purposive sampling di atas tidak terjadi di mana hanya militer dan angkatan darat yang direkrut, akibatnya nilai kebangsaan menjadi pincang. Korban pertama pada era Reformasi dan Demokrasi Liberal yang dicoba selama dekade ini adalah tersisihnya ulama dari panggung parlemen.
Ulama-ulama murni masih berada dalam organisasi kemasyarakatan di mana harkat dan martabatnya tidak memungkinkan bertarung dalam pemilu yang syarat dengan politik uang. Mereka terlahir untuk ilmu dan keluhuran serta tidak berada pada derajat uang.
Korban kedua adalah para cendekiawan yang memikirkan negara, jumlahnya sekarang makin banyak. Tetapi sama seperti ulama, mereka tidak sampai hati mengikuti pusaran politik uang yang ada. Korban ketiga, pada Pemilu 2014 ini giliran para politisi sejati, the spokesman.
Nama-nama besar yang malang-melintang memikirkan negara tidak bisa masuk parlemen, di antaranya orang-orang yang memiliki integritas untuk tidak bermain kotor dengan politik uang. Di antara mereka yakni Ketua DPR RI Marzuki Alie, Ketua dan Wakil Ketua MPR RI Sidarto Danusubroto dan Hajriyanto Y Tohari, dan banyak nama besar lain dari berbagai partai yang tidak diragukan kompetensi dan pengabdiannya dalam mengarahkan negara.
Senjata makan tuan, para politisi tersebut kini menyadari bahwa liberalisasi sistem pemilu yang sangat bebas di tengah kualitas masyarakat yang ada, yang mereka rancang ternyata menghasilkan komposisi kepemimpinan negara yang pincang juga.
Walaupun tidak separah Orde Baru tetapi mengarah pada monolitisme. Siapakah yang tersisa? Mereka adalah para pedagang kaya dan artis terkenal. Tentu saja debatable apakah para saudagar tidak kapabel untuk memikirkan negara. Demikian juga para artis.
Masalahnya para pedagang ini banyak tidak memiliki visi kenegaraan, hanya melihat kemungkinan popularitas serta power untuk memperoleh akses bisnis itu sendiri karena negara merupakan pembeli terbesar.
Banyak artis idealis yang mencurahkan pemikiran tentang negara yang baik. Di antara mereka WS Rendra, Taufiq Ismail, MH Ainun Najib, Iwan Fals, yang kualitas pemikiran kenegaraannya sudah kita nikmati bersama.
Sistem yang ada tidak memungkinkan merekrut mereka, dan memberi keuntungan yang besar kepada para artis pop yang murni menghibur yang sering kali dengan kualitas hiburan yang dalam tanda kutip kurang berkualitas.
PROF BAMBANG SETIAJI
Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta
(nfl)