BK tambang direvisi
A
A
A
KEBIJAKAN bea keluar (BK) untuk ekspor hasil tambang mineral segera dikaji ulang. Revisi tersebut dimaksudkan memacu pembangunan smelter lebih cepat sekaligus sebagai penambahan insentif dari sisi tax allowance dan tax holiday dari sisi investasi.
Soal mekanisme dan aturan secara detail menyangkut seberapa besar persentase kelonggaran bea keluar tersebut, pemerintah masih merumuskan perhitungan yang ideal. Saat ini pemerintah mengenakan bea keluar secara progresif dari 20% hingga 60%.
Kebijakan itu sebagai bentuk disinsentif kepada perusahaan yang tidak melaksanakan pemurnian mineral ekspor. Pengenaan bea keluar tersebut salah satu upaya”memaksa” perusahaan tambang membangun smelter––pabrik pengolahan dan pemurnian mineral sebelum diekspor.
Namun setelah berjalan selama tiga bulan, ternyata hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan harapan ketikamenetapkankebijakantersebut. Memang, komitmensejumlah pengusaha untuk menghadirkan smelter cukup menggembirakan, namun progres investasinya cenderung stagnan.
Penyebabnya ditengarai bea keluar yang tinggi sehingga memberatkan perusahaan untuk membangun smelteryang membutuhkan biaya yang besar. Hal itu terkuak dari data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang mencatat tidak satu pun investasi pembangunan smelter yang masuk sepanjang kuartal pertama tahun ini.
Padahal, sejumlah perusahaan besar seharusnya sudah mulai membangun pabrik pemurnian mineral. Upaya pemerintah mendorong pembangunan smeltersebanyak mungkin adalah sebuah konsekuensi dari pelarangan ekspor mineral mentah.
Pemerintah rela kehilangan pendapatan dari ekspor mineral sebelum diolah tersebut untuk jangka pendek, tetapi diyakini akan mendongkrak pendapatan lebih besar ke depan, karena mineral sudah diolah di dalam negeri sebelum diekspor sehingga memberikan nilai tambah.
Karenainvestasimembangun smelteryangtidakkecil, Kementerian Perindustrian mendukung sepenuhnya pelonggaran bea keluar yang sudah diberlakukan itu. Untuk menghadirkan satu unit smelter dibutuhkan investasi dari USD1 miliar hingga USD 2 miliar.
Dan, secara prinsip sebagaimana diungkapkan Menteri Perindustrian MS Hidayat bahwa kebijakan bea keluar arahnya memang bukan sebagai instrumen untuk peningkatan pendapatan negara, melainkan sebagai upaya bagaimana memaksa dan menekan perusahaan tambang untuk membangun smelter.
”BK untuk memaksa pihak yang akan mengekspor mineral mentah kapok,” tegas Hidayat menyikapi pelonggaran bea ekspor tersebut. Berdasarkan versi Kementerian Perindustrian dari 55 perusahaan tambang yang siap membangun smelter, baru lima perusahaan yang berjalan. Sebagai tindak lanjut dari pelonggaran bea keluar tersebut, pemerintah segera membentuk tim khusus yang bertugas memantau perkembangan pembangunan smelter.
Tim yang akan beranggotakan sejumlah pihak, sebagaimana diungkapkan Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, memantau setiap progres pembangunan smelter. Pemerintah tidak ingin kecolongan dari janji-janji perusahaan tambang yang siap membangun smelter tetapi tidak ada gerak perkembangan, justru yang menonjol adalah permintaan untuk menurunkan persentase bea ekspor mineral. Hal ini merupakan pertaruhan pemerintah yang secara tegasdandidukungpenuhwakilrakyat yang memberlakukan kebijakan pemurnian mineral sebelum di bawah ke luar negeri.
Pemerintah sudah menjelaskan secara gamblang alasan untuk merevisi kebijakan bea ekspor tersebut, namun masih tetap harus dikritisi bahwa langkah tersebut jauh dari tekanan sejumlah perusahaan tambang besar yang cenderung ”mendikte” pemerintah selama ini.
Kita berharap pemerintah senantiasa konsisten menerapkan kebijakan yang sudah diterbitkan. Perusahaan tambang besar yang masih belum rela menerima kebijakan tersebut tiada henti bergerilya kepada pihak berwenang untuk mengubah aturan yang dinilai merugikan tersebut.
Bahkan, sejumlah perusahaan tambang besar secara terang-terangan terus mengulur-ulur waktu untuk menunda implementasi kebijakan pemerintah. Barangkali mereka menunggu pemerintahan baru yang nantinya bisa dipengaruhi lagi. Kalau kebijakan ini berhasil dijebol maka jangan berharap bangsa ini bisa menikmati secara maksimal hasil sumber daya alam secara maksimal.
Soal mekanisme dan aturan secara detail menyangkut seberapa besar persentase kelonggaran bea keluar tersebut, pemerintah masih merumuskan perhitungan yang ideal. Saat ini pemerintah mengenakan bea keluar secara progresif dari 20% hingga 60%.
Kebijakan itu sebagai bentuk disinsentif kepada perusahaan yang tidak melaksanakan pemurnian mineral ekspor. Pengenaan bea keluar tersebut salah satu upaya”memaksa” perusahaan tambang membangun smelter––pabrik pengolahan dan pemurnian mineral sebelum diekspor.
Namun setelah berjalan selama tiga bulan, ternyata hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan harapan ketikamenetapkankebijakantersebut. Memang, komitmensejumlah pengusaha untuk menghadirkan smelter cukup menggembirakan, namun progres investasinya cenderung stagnan.
Penyebabnya ditengarai bea keluar yang tinggi sehingga memberatkan perusahaan untuk membangun smelteryang membutuhkan biaya yang besar. Hal itu terkuak dari data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang mencatat tidak satu pun investasi pembangunan smelter yang masuk sepanjang kuartal pertama tahun ini.
Padahal, sejumlah perusahaan besar seharusnya sudah mulai membangun pabrik pemurnian mineral. Upaya pemerintah mendorong pembangunan smeltersebanyak mungkin adalah sebuah konsekuensi dari pelarangan ekspor mineral mentah.
Pemerintah rela kehilangan pendapatan dari ekspor mineral sebelum diolah tersebut untuk jangka pendek, tetapi diyakini akan mendongkrak pendapatan lebih besar ke depan, karena mineral sudah diolah di dalam negeri sebelum diekspor sehingga memberikan nilai tambah.
Karenainvestasimembangun smelteryangtidakkecil, Kementerian Perindustrian mendukung sepenuhnya pelonggaran bea keluar yang sudah diberlakukan itu. Untuk menghadirkan satu unit smelter dibutuhkan investasi dari USD1 miliar hingga USD 2 miliar.
Dan, secara prinsip sebagaimana diungkapkan Menteri Perindustrian MS Hidayat bahwa kebijakan bea keluar arahnya memang bukan sebagai instrumen untuk peningkatan pendapatan negara, melainkan sebagai upaya bagaimana memaksa dan menekan perusahaan tambang untuk membangun smelter.
”BK untuk memaksa pihak yang akan mengekspor mineral mentah kapok,” tegas Hidayat menyikapi pelonggaran bea ekspor tersebut. Berdasarkan versi Kementerian Perindustrian dari 55 perusahaan tambang yang siap membangun smelter, baru lima perusahaan yang berjalan. Sebagai tindak lanjut dari pelonggaran bea keluar tersebut, pemerintah segera membentuk tim khusus yang bertugas memantau perkembangan pembangunan smelter.
Tim yang akan beranggotakan sejumlah pihak, sebagaimana diungkapkan Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, memantau setiap progres pembangunan smelter. Pemerintah tidak ingin kecolongan dari janji-janji perusahaan tambang yang siap membangun smelter tetapi tidak ada gerak perkembangan, justru yang menonjol adalah permintaan untuk menurunkan persentase bea ekspor mineral. Hal ini merupakan pertaruhan pemerintah yang secara tegasdandidukungpenuhwakilrakyat yang memberlakukan kebijakan pemurnian mineral sebelum di bawah ke luar negeri.
Pemerintah sudah menjelaskan secara gamblang alasan untuk merevisi kebijakan bea ekspor tersebut, namun masih tetap harus dikritisi bahwa langkah tersebut jauh dari tekanan sejumlah perusahaan tambang besar yang cenderung ”mendikte” pemerintah selama ini.
Kita berharap pemerintah senantiasa konsisten menerapkan kebijakan yang sudah diterbitkan. Perusahaan tambang besar yang masih belum rela menerima kebijakan tersebut tiada henti bergerilya kepada pihak berwenang untuk mengubah aturan yang dinilai merugikan tersebut.
Bahkan, sejumlah perusahaan tambang besar secara terang-terangan terus mengulur-ulur waktu untuk menunda implementasi kebijakan pemerintah. Barangkali mereka menunggu pemerintahan baru yang nantinya bisa dipengaruhi lagi. Kalau kebijakan ini berhasil dijebol maka jangan berharap bangsa ini bisa menikmati secara maksimal hasil sumber daya alam secara maksimal.
(nfl)