Masih relevankah koalisi parpol Islam?

Rabu, 23 April 2014 - 06:10 WIB
Masih relevankah koalisi...
Masih relevankah koalisi parpol Islam?
A A A
BEBERAPA hari setelah pemilu legslatif digelar muncul gagasan koalisi partai Islam. Gagasan itu mencuat kembali menyusul perolehan suara partai-partai Islam yang relatif stabil dan cenderung meningkat.

Mengacu pada hasil hitung cepat berbagai lembaga survei perolehan parpol berbasis umat Islam seperti PKB dan PAN meningkat, sedangkan PKS, PPP, dan PBB cenderung stabil. Jika diakumulasikan kelima partai itu memperoleh suara hampir 31%.

Perolehan tersebut berbeda dengan para analis politik dan hasil sejumlah lembaga survei sebelumnya yang memprediksi suara parpol Islam akan merosot. Bahkan ada beberapa partai yang suaranya tidak akan sampai pada ambang batas parlemen 3,5%. Ternyata prediksi tersebut meleset, hanya PBB yang selalu tidak memenuhi ambang batas parlemen tersebut.

Dengan hasil suara parpol yang berbasis Islam memperoleh suara relatif tinggi atau cukup untuk mengajukan syarat pasangan capres-cawapres yang mensyaratkan 20% kursi DPR atau 25% suara nasional, muncul gagasan koalisi parpol Islam. Sejumlah tokoh muslim pun proaktif menggelar silaturahmi dan saling penjajakan kemungkinan agar parpol berbasis Islam mengajukan calon presiden-wakil presiden sendiri.

Terkesan, munculnya koalisi parpol Islam hanya reaksi terhadap hasil perolehan suara parpol Islam yang relatif stabil dibanding perolehan suara pemilu 2009. Koalisi ini juga sebagai reaksi atas kemenangan partai berbasis nasionalis PDIP pada Pemilu 2014 ini. Karena reaktif, maka gagasan koalisi parpol Islam pun sulit terwujud dengan solid.

Alih-alih mau bersatu, PPP yang merupakan salah satu parpol Islam malah buru-buru mendeklarasikan dukungan pada Prabowo Subianto. Meskipun akhirnya, dukungan tersebut tidak bulat lantaran adanya konflik internal yang tidak setuju atas dukungan tersebut.

Reaksi tokoh-tokoh Islam yang ingin membangun koalisi besar parpol Islam memang bukan pertama kali. Pada pemilu 1999 , saat awal reformasi juga pernah muncul koalisi poros tengah yang mayoritas berbasis parpol Islam.

Pada pemilu 1999, secara kebetulan juga dimenangkan partai berbasis nasionalis PDIP dengan perolehan suara di atas 30%. Saat itu, Megawati Soekarnoputri menjadi kandidat kuat capres, namun suaranya dikalahkan oleh koalisi poros tengah yang mengajukan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden. Gus Dur pun akhirnya memenangkan perolehan suara di DPR dan menjadi Presiden pengganti BJ Habibie.

Pemilu 1999 berbeda dengan 2014

Situasi politik nasional pemilu 1999 jelas berbeda dengan pemilu 2014 yang baru berlangsung. Pemilu 1999 di kalangan umat Islam muncul tokoh-tokoh yang kuat dan mereka adalah aktor-aktor reformasi. Amien Rais, Akbar Tandjung, dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merupakan bagian dari elite yang memperjuangkan reformasi.

Ketiganya memiliki massa di akar rumput dan jejaring di berbagai level sosial dan politik. Selain itu, ketiga tokoh itu juga memiliki peran dominan dalam peta politik nasional saat itu. Disamping tokoh Megawati Soekarnoputri dan Sri Sultan Hamengkubuwono X. Ditambah lagi ada cendekiawan muslim yang relatif diterima semua lapisan masyarakat yakni Nurcholish Madjid ( Cak Nur).

Sementara pada kondisi saat ini yakni pemilu 2014, belum muncul tokoh-tokoh muslim yang kuat, keberadaannya bisa diterima semua pihak. Tokoh kuat bisa dilihat dari aspek keilmuannya yang mumpuni, perannya di masyarakat yang diakui, maupun pemahaman keagamaannya yang kafah. Karena itu, dalam pertemuan tokoh Islam di Cikini 16 April lalu, yang muncul masih tokoh 1999 yakni Amien Rais. Figur-figur baru masih kelasnya medioker, masih belum matang dan teruji.

Selain karena perbedaan kapasitas tokoh, koalisi parpol Islam sulit terwujud dengan solid juga akibat perbedaan concern masyarakat muslim terhadap politik Islam. Secara umum, masyarakat termasuk yang muslim saat ini sudah bergeser dari politik identitas ke politik objektif.

Dalam pengertian, generasi muslim saat ini kurang tertarik pada gagasan politik yang bersifat ideologis dan lebih senang pada aspek sains dan objektifikasi nilai-nilai Islam. Mereka ingin memandang Islam maju bukan hanya melalui jalur politik, tapi beragam jalur. Mulai pada trend fashion, lifestyle, sains, dan juga bidang-bidang lainnya.

Generasi yang dibesarkan pada era 1999 adalah mereka yang pada masa remajanya hidup di era orba. Pada waktu awal-awal orba didirikan politik ideologi masih kuat. Lalu bergeser pada politik identitas hingga sebelum era reformasi hadir.

Wajar karena saat itu muncul politik otoriter, masyarakat cenderung saling curiga, dan lebih tertutup. Antara satu dengan lainnya saling menanam prasangka. Kondisi tersebut makin nyata, karena rezim juga memelihara situasi tersebut untuk memperkuat rezimnya. Berbeda dengan generasi 2014 yang tumbuh dan besar di era kebebasan dan era demokrasi.

Generasi ini tumbuh dengan udara demokrasi dengan karakter masyarakat yang lebih terbuka. Mereka hidup tak lagi diliputi prasangka, tak lagi merasa diinteli, diikuti orang lain, dan mereka bebas mengemukakan pendapatnya.

Praktis, generasi muslim hari ini lebih terbuka dan tidak mau terjebak pada politik identitas. Mereka juga tidak lagi tertarik pada politik baik praktis maupun gagasan. Mereka lebih senang membicarakan hal-hal yang bersifat style. Fashion, design, engenering, dan sains. Generasi ini lebih senang bertindak pada agenda-agenda komunitas yang bersifat charity.

Generasi 2014 lebih bersifat non ideologis, non politikpraktis, dan lebih cair. Karena itu, anak-anak muda ini tidak terlalu merespons pada isu-isu yang bersifat eksklusif seperti koalisi parpol Islam yang baru-baru ini digagas.

Generasi ini, lebih otonom dalam memandang politik dibanding generasi sebelumnya yang mewarisi rivalitas politik ideologis dan identitas.Karena itu, wajar jika gagasan koalisi parpol Islam tidak disambut masif oleh pemilih pemula dan pemilih muda. Mereka memandang koalisi tersebut hanya reaktif dari situasi politik sesaat. Koalisi tersebut bukan langkah strategis, simultan yang digagas jauh-jauh hari.

Pemilih muda yang populasinya mencapai 50 juta orang ini lebih senang dengan tokoh-tokoh yang telah memiliki kerja-kerja nyata meski skalanya kecil. Karena itu, fenomena kiprah Joko Widodo, Ridwan Kamil, Bima Arya Sugiarto, dan Anies Baswedan lebih mendapat respons dari generasi muda dibanding tokoh gaek lainnya. Mereka telah berbuat nyata meski kecil, tapi mereka menganggap tokoh-tokoh itu sebagai lilin dalam gelap.
(kur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1093 seconds (0.1#10.140)