Koalisi wajib anut azas keterbukaan
A
A
A
Sindonews.com - Koalisi yang identik dengan praktik bagi-bagi kursi atau kekuasaan menimbulkan antipati dari masyarakat. Karena itu, parpol yang berkoalisi untuk pemerintahan baru dituntut menganut azas keterbukaan.
Menurut Pengamat Politik dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, dengan keterbukaan terhadap muatan koalisi, rakyat punya parameter untuk mengawasi dan mengontrol jalannya pemerintahan. Dengan keterbukaan yang sama, rakyat diyakinkan untuk mempercayai capres-cawapres dari koalisi pada saat Pemilu Presiden (pilpres).
"Jika pembicaraan dan kesepakatan koalisi hanya menjadi konsumsi internal parpol, maka penyakit koalisi selama ini akan terulang kembali. Rakyat pun akan semakin antipati dan dengan demikian bisa menjadi lahan kampanye busuk tentang capres-cawapres yang bersangkutan," ujarnya ketika dihubungi Sindonews, Kamis (17/4/2014).
Selain membuka soal komitmen antar partai koalisi, lanjut Lucius, satu hal lagi yang penting untuk dipertanggungjawabkan koalisi kepada publik adalah dana kampanye Pilpres mereka. Sebab, transaksi yang terjadi pada saat Pilpres tak sebatas money politics seperti pada Pileg.
"Transaksi melibatkan banyak pihak. Ada parpol, tim sukses, penyelenggara pemilu, pemilih, dan figur capres-cawapres sendiri," ucap dia.
Ditambahkannya, jenis transaksi juga cenderung tak hanya uang dan barang saja, tetapi kursi-kursi kekuasaan. Ia menilai, politik 'dagang sapi' bisa sangat masif dilakukan. Oleh karenanya, perlu agar dana kampanye koalisi dan parpol disampaikan ke publik.
"Jika proses Pilpres banyak terjadi di ruang tertutup, maka hampir pasti pemufakatan jahat yang dominan dilakukan. Dengan start awal yang buruk, tak ada harapan bahwa pemerintahan baru bakal menjanjikan perubahan," tandasnya.
Menurut Pengamat Politik dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, dengan keterbukaan terhadap muatan koalisi, rakyat punya parameter untuk mengawasi dan mengontrol jalannya pemerintahan. Dengan keterbukaan yang sama, rakyat diyakinkan untuk mempercayai capres-cawapres dari koalisi pada saat Pemilu Presiden (pilpres).
"Jika pembicaraan dan kesepakatan koalisi hanya menjadi konsumsi internal parpol, maka penyakit koalisi selama ini akan terulang kembali. Rakyat pun akan semakin antipati dan dengan demikian bisa menjadi lahan kampanye busuk tentang capres-cawapres yang bersangkutan," ujarnya ketika dihubungi Sindonews, Kamis (17/4/2014).
Selain membuka soal komitmen antar partai koalisi, lanjut Lucius, satu hal lagi yang penting untuk dipertanggungjawabkan koalisi kepada publik adalah dana kampanye Pilpres mereka. Sebab, transaksi yang terjadi pada saat Pilpres tak sebatas money politics seperti pada Pileg.
"Transaksi melibatkan banyak pihak. Ada parpol, tim sukses, penyelenggara pemilu, pemilih, dan figur capres-cawapres sendiri," ucap dia.
Ditambahkannya, jenis transaksi juga cenderung tak hanya uang dan barang saja, tetapi kursi-kursi kekuasaan. Ia menilai, politik 'dagang sapi' bisa sangat masif dilakukan. Oleh karenanya, perlu agar dana kampanye koalisi dan parpol disampaikan ke publik.
"Jika proses Pilpres banyak terjadi di ruang tertutup, maka hampir pasti pemufakatan jahat yang dominan dilakukan. Dengan start awal yang buruk, tak ada harapan bahwa pemerintahan baru bakal menjanjikan perubahan," tandasnya.
(kri)