Kaum muda dan siklus 20 tahunan

Selasa, 08 April 2014 - 06:53 WIB
Kaum muda dan siklus...
Kaum muda dan siklus 20 tahunan
A A A
PEMILU 2014 secara bertahap akan dilaksanakan pada 9 April dan 9 Juli. Pada 9 April kita akan memilih wakil-wakil rakyat di legislatif mulai pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota.

Sementara pada 9 Juli dilaksanakan pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden. Dua hajatan ini jelas sangat bermakna bagi masa depan bangsa. Karena itulah sebagai warga bangsa kita harus menjadi pemilih yang bertanggung jawab.

Sebagai penyelenggara pemilu, KPU telah menetapkan daftar calon anggota legislatif (caleg). Daftar caleg yang disiapkan KPU itulah yang harus dipilih. Di antara caleg itu, sebagian merepresentasikan kaum muda yang masih segar dan bebas dari ”beban noda” masa lampau, namun miskin pengalaman.

Sebagian lagi diisi caleg kaum tua yang sarat pengalaman, meski terkadang penuh dengan ”noda dan dosa” masa lampau. Yang ideal tentu memilih caleg yang masih segar, bersih dari beban masa lampau, dan berpengalaman.

Tetapi caleg ideal ini tentu tidak banyak jika kita mencermati ”daftar menu” yang disiapkan KPU. Itu karena sebagian besar caleg incumbent kembali bertarung. Berdasar realitas inilah, kita harus memilih caleg berdasarkan rekam jejaknya. Ingatlah, di ujung pilihan kita itu masa depan bangsa dipertaruhkan.

Jika berkaca pada sejarah, kita akan menemukan kiprah kaum muda dalam sejumlah gerakan kebangsaan. Kiprah kaum muda bermula dari pendirian Budi Utomo oleh Dokter Wahidin Sudirohusodo dan beberapa pelajar sekolah dokter pada 20 Mei 1908. Pendirian Budi Utomo ini menandai permulaan kebangkitan nasional.

Fakta ini membuka kesadaran kita betapa kaum muda berperan dalam perjalanan bangsa. Melalui teori siklus 20 tahunan, kita juga menyaksikan kiprah kaum muda dalam sejarah pembangunan bangsa. Itu dapat diamati melalui beberapa peristiwa yang menunjukkan peran kaum muda sebagai pendorong perubahan.

Siklus 20 tahunan itu dimulai sejak era kebangkitan nasional (1908), sumpah pemuda (1928), proklamasi kemerdekaan (1945), pergerakan mahasiswa (1966), hingga reformasi (1998). Meski baru menunjukkan hasil pada 1998, kiprah kaum muda sesungguhnya telah dimulai pada pertengahan 1980-an. Saat itu, kaum muda yang direpresentasikan kekuatan mahasiswa tidak pernah lelah memberikan koreksi dan kritik terhadap rezim Orde Baru.

Era Reformasi yang menggantikan Orde Baru dalam konteks ini merupakan akumulasi dari berbagai koreksi dan kritik tersebut. Kiprah kaum muda yang tergambar dalam siklus 20 tahunan menunjukkan bahwa mereka sesungguhnya memiliki kultur keilmuan serta keterampilan berorganisasi dan membangun jaringan yang hebat.

Sangat disayangkan, kultur tersebut tenggelam dalam hirukpikuk politik sepanjang era Reformasi. Bahkan, kita menyaksikan adanya penguatan interes politik di kalangan kaum muda. Kaum muda lebih menunjukkan minat dalam bidang politik dengan menjadi aktivis partai, anggota legislatif, dan tim sukses calon dalam pemilihan kepala daerah.

Keterlibatan kaum muda dalam politik menemukan momentum yang tepat seiring dengan kebijakan multipartai. Dinamika politik lokal juga memberikan ruang terbuka bagi kaum muda untuk berkiprah di jalur politik. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kini terjadi peningkatan ”syahwat politik” di kalangan kaum muda.

Peningkatan syahwat politik ini tidak hanya terjadi di daerah, tetapi juga dalam skala nasional. Indikatornya adalah bergabungnya sebagian intelektual muda dalam kepengurusan partai politik. Padahal, mereka sebelumnya dikenal sebagai intelektual independen.

Elite partai seakan berlomba untuk mengajak kaum muda dengan memberikan jabatan penting. Targetnya, mereka dapat dijadikan sumber energi untuk menarik pemilih pemula. Sebagai konsekuensi adanya peningkatan syahwat politik kaum muda, kiprah dan perjuangan mereka banyak disalurkan melalui aktivitas politik.

Fenomena ini menunjukkan bahwa sebagian kaum muda telah tergoda dengan kehidupan politik yang dianggap lebih menjanjikan masa depan. Akibatnya, kultur keilmuan dan daya kritis yang semestinya menjadi ruh perjuangan kaum muda terus tergerus.

Yang terjadi kemudian adalah budaya loyal pada pimpinan partai. Peningkatan interes politik kaum muda juga memunculkan kultur mudah berpecah akibat perbedaan pilihan politik. Perjuangan kaum muda pun tidak lagi didasarkan pada kepentingan jangka panjang, melainkan untuk tujuan pragmatis- jangka pendek. Pilihan sebagian kaum muda berkiprah melalui jalur politik mengakibatkan capaian perjuangan di ranah kultural tidak terlalu menonjol.

Padahal kalau dipikirkan, wilayah perjuangan di bidang politik jelas terbatas dengan peminat yang sangat banyak. Akibatnya, tidak semua orang memperoleh pembagian kue kekuasaan. Sementara perjuangan di ranah kultural memiliki area yang luas dengan peminat sangat sedikit. Pilihan kaum muda untuk berkiprah di ranah politik jelas merupakan hak asasinya. Pilihan mereka untuk menjadi aktivis partai harus dipandang sebagai hak politiknya.

Namun, persoalan akan muncul jika pilihan kaum muda yang berkiprah di bidang politik menjadi terutama (mainstream). Pasalnya, dalam kondisi seperti ini perjalanan kaum muda akan selalu diwarnai intrik dan tarik menarik politik.

Sebagian kaum muda juga berpikiran bahwa berkiprah melalui jalur politik dapat memberikan harapan yang instan untuk meraih kekuasaan, kemapanan, status sosial, dan kecukupan materi. Sementara berjuang melalui jalur kultural dianggap merupakan investasi jangka panjang yang melelahkan, penuh perjuangan, dan hasilnya baru dapat dinikmati kemudian. Sebagian kaum muda yang kini running dalam pencalegan jelas harus dihargai.

Demikian juga kaum muda yang telah mendeklarasikan diri sebagai calon presiden dan calon wakil presiden. Kita berutang budi pada mereka yang menjadi caleg dan capres/cawapres. Bangsa ini sedang membutuhkan pribadi-pribadi hebat, penuh dedikasi dan idealisme, sederhana, serta tahan godaan.

Kita akan sangat bersyukur jika sebagian besar dari kebutuhan bangsa ini diisi kaum muda. Karena itu, marilah kita dorong kaum muda untuk berkiprah melalui pemilu caleg dan capres/ cawapres. Jika ini terjadi maka siklus 20 tahunan benarbenar menjadi kenyataan.

BIYANTO
Dosen UIN Sunan Ampel dan Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7213 seconds (0.1#10.140)