Persinggungan tipologi pemilih dengan caleg di Pemilu 2014
A
A
A
DALAM khazanah sosiologi politik dikenal konsep voter behavior (perilaku pemilih). Salah satu tokoh yang memperkenalkan konsep perilaku pemilih adalah Seymour Martin Lipset. Dalam karyanya Political Man: The Social Bases of Politic (1960) Lipset menjelaskan sejumlah faktor yang mempengaruhi perilaku pemilih, diantaranya faktor sosial ekonomi, etnik, dan agama yang membentuk tipologinya sendiri.
Aktivis Partai atau calon anggota legislatif (caleg) memerlukan pemahaman ini. Karena dengan pemahaman perilaku pemilih sesungguhnya memudahkan mereka membuat strategi politik, mengetahui cara merebut hati pemilih. Sayangnya sangat sedikit caleg atau partai yang secara serius menganalisis tipologi pemilih sebelum mereka kampanye dan bertarung dalam pemilu.
Sementara di sisi lain pada arena kontestasi politik pemilu, ternyata caleg juga memiliki tipologinya sendiri. Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan tentang bagaimana tipologi pemilih dan tipologi caleg pada Pemilu 2014? Bagaimana persinggungan keduanya? Dengan persinggungan tipologi itu bagaimana kemungkinan hasil Pemilu 2014?
Tipologi Pemilih
Dalam pengamatan penulis dengan menggunakan perspektif tipologi dan sosiologi politik, pada Pemilu 2014 ini sedikitnya ada enam tipologi pemilih. Pertama, pemilih tradisional (traditional Voter). Pemilih tipe ini memiliki hubungan tradisional dengan kontestan pemilu baik dengan caleg maupun dengan partai politik.
Mereka memiliki ikatan kultural, ikatan sosial, ikatan nilai-nilai bahkan ikatan ideologis. Pemilih tipe ini cenderung konsisten memilih satu partai dari generasi ke generasi. Mereka sering juga dijadikan sebagai basis tradisional partai tertentu.
Di Indonesia pada pemilu 2014 ini, tipe pemilih seperti ini ada pada partai yang lahir dari ormas keagamaan. Misalnya pada partai PKB yang lahir dari kultur ormas NU, PAN dari kultur ormas Muhammadiyah maupun PBB dari kultur ormas Persis atau Persatuan Islam. Dapat dipastikan partai partai tersebut memiliki pemilih setia.
Kedua, pemilih subyektif (subjective voter). Pemilih tipe ini menentukan pilihan karena memiliki hubungan emosional dengan kontestan, khususnya dengan caleg atau figur populer tertentu. Subyektifitas pemilih ini terjadi karena kontestan telah mencuri perhatian pemilih dengan unsur unsur subyektif ketokohan para kontestan baik didesign maupun alamiah.
Tipologi pemilih subyektif ini cukup dominan terjadi pada Pemilu 1999 dengan ketokohan Megawati, pada Pemilu 2004 dan 2009 dengan ketokohan SBY, dan pada Pemilu 2014 ini pemilih subyektif akan dominan muncul pada ketokohan Jokowi dan Prabowo.
Tentu saja pemilih subyektif ini ada yang berkorelasi memilih partai sang tokoh dalam Pemilu Legislatif tetapi memungkinkan juga mereka memilih tokoh saja saat Pemilu Presiden tetapi pada Pemilu Legislatif memilih partai lain.
Ketiga, pemilih pragmatis (pragmatic voter). Pemilih tipe ini menentukan pilihan karena pertimbangan pertimbangan pragmatis, mana yang menguntungkannya itulah partai atau kandidat caleg yang dipilihnya. Pada Pemilu 2014 ini pemilih pragmatis jumlahnya paling dominan karena trend praktik politik liberal saat ini telah menumbuhsuburkan pola politik transaksional.
Perilaku korup adalah turunannya yang tumbuh subur di era politik liberal 2014. Kompetisi antar caleg satu partai maupun beda partai telah menumbuhsuburkan perilaku pemilih pragmatis. Ini adalah dosa politik terbesar dari sistim politik liberal saat ini di Indonesia.
Keempat, pemilih skeptis (skeptic voter). Pemilih tipe ini meragukan semua partai, mereka tidak menganggap penting perbedaan partai, termasuk tidak menganggap penting ideologi partai politik. Mereka juga tidak meyakini bahwa partai akan benar benar memperjuangkan kepentingannya. Tetapi mereka ini tidak mau dikategorikan golput (golongan putih) yang tidak ikut pemilu.
Mereka tetap ingin dinilai sebagai warga negara yang baik ikut berpartisipasi memilih dalam pemilu. Tetapi mereka memilih dengan dua pola yaitu mencoblos semua partai atau mereka membagi pilihan berbeda pada setiap level calon legislatif dari partai yang berbeda. Misalnya untuk memilih caleg DPR RI ia memilih Partai A, untuk caleg DPRD Provinsi memilih dari Partai B, dan untuk memilih caleg DPRD kabupaten mereka memilih Partai C.
Kelima, pemilih ideologis (ideologic voter). Pemilih tipe ini menentukan pilihan karena kecocokan ideologi dirinya dengan ideologi partai yang dipilihnya. Biasanya mereka memilih melalui pertimbangan ideologi yang dianutnya. Pemilih tipe ini ada dua kategori yaitu kategori mereka anggota inti partai politik.
Sebagai anggota inti tentu mereka telah melalui proses ideologisasi yang panjang sehingga ketika memilih ia lakukan karena spirit ideologisnya. Kategori kedua adalah mereka masyarakat umum tetapi memiliki pemahaman ideologis yang kuat. Perspektif ideologisnya menuntunnya menentukan pilihan.
Keenam, pemilih rasional (rational voter). Pemilih tipe ini menentukan pilihan karena pertimbangan pertimbangan rasional. Mereka mempelajari berbagai hal tentang caleg dan partai politik yang akan dipilihnya. Mereka mempelajari visi-misi dan program-program para caleg maupun partai politik. Rasionalitasnya bekerja untuk menentukan pilihan yang tepat baginya.
Mereka juga mempelajari track record caleg dan partai politik yang akan ia pilih. Bahkan mereka sampai menyempatkan waktunya untuk menemui caleg mempertanyakan berbagai hal hingga meyakinkan ia untuk memilihnya. Pemilih tipe ini jumlahnya tidak banyak, mereka ada di wilayah perkotaan.
Tipologi Caleg
Untuk mengamati tipologi caleg penulis menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan sosiologi politik khususnya pada kajian stratifikasi sosial politik dan pendekatan psikologi politik khususnya kajian motivasi berpolitik para calon anggota legislatif.
Perspektif stratifikasi sosial (social stratification) meyakini bahwa pembacaan terhadap masyarakat bisa dilakukan dengan pengelompokan masyarakat secara vertikal hirarkis (bertingkat).
Pitirim A Sorokin (1959) pernah mengemukakan bahwa social stratification is permanent characteristic of any organized social group. Dengan demikian stratifikasi sosial merupakan realitas yang tidak bisa dihindari. Hal ini juga terjadi dalam komunitas partai politik yang menjadi pintu pencalegan. Dalam konteks ini caleg ternyata dapat diklasifikasikan juga sesuai stratifikasinya.
Dengan perspektif stratifikasi ini, caleg pada Pemilu 2014 dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu caleg lapisan atas, caleg lapisan tengah dan caleg lapisan bawah. Caleg lapisan atas adalah mereka yang berasal dari kelas ekonomi elite, pengurus elite partai politik dan elite aktivis organisasi quasi politik.
Caleg yang masuk kategori ini adalah pengusaha besar, pebisnis sukses, pentolan aktivis dan mereka yang sangat populer. Mereka ini memiliki akses ekonomi dan politik yang mudah, termasuk akses ke partai politik. Mereka biasanya dalam pencalegan berada di nomor bagian atas yaitu nomor urut 1 sampai dengan 3.
Caleg lapisan tengah adalah mereka yang berasal dari kelas ekonomi menengah, pengurus organisasi kemasyarakatan tertentu dan aktivis yang tidak terlalu populer. Mereka biasanya dalam pencalegan berada di nomor bagian tengah yaitu nomor urut 4 sampai nomor urut 6.
Sementara caleg lapisan bawah adalah mereka yang secara ekonomi belum mapan bahkan cenderung seperti job seeker (pencari kerja), namun diantara mereka ada yang memiliki idealisme yang kuat. Mereka biasanya dalam pencalegan berada di nomor bagian bawah yaitu nomor urut 7 sampai nomor urut 10.
Sementara jika menggunakan pendekatan psikologi politik khususnya perspektif motivasi berpolitik (motif pencalegan) maka tipologi caleg pada Pemilu 2014 ini dapat diklasifikasikan menjadi enam tipe yaitu tipe mencari prestise (prestise type), tipe pedagang (trader type), tipe petualang (adventurer type), tipe pencari perlindungan (protection seeker type), tipe pencari kerja (job seeker type), tipe pejuang (fighter type).
Tipe mencari prestise (prestise type) adalah mereka para caleg yang ingin menjadi anggota legislatif karena status simbolik sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat. Kecenderungan mereka yang termasuk tipe ini adalah incumbent, pengusaha besar (konglomerat) dan mereka yang sudah populer seperti artis, dan tokoh nasional dari organisasi yang sangat populer.
Tipe pedagang (trader type), adalah mereka yang menjadi caleg dengan kepentingan mencari keuntungan finansial yang lebih besar. Berpolitik bagi mereka seperti perdagangan yang sarat dengan hukum hukum ekonomi. Mereka meyakini dengan modal tertentu dalam pencalegan mereka akan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Mereka ini sudah menghitung kapan waktunya untung dalam berpolitik, sehingga mereka berani memasuki arena politik. Mereka juga berniat menggunakan kedudukan politiknya untuk mengembangkan sayap bisnisnya.
Tipe petualang (adventurer type) adalah mereka yang menjadi caleg karena ingin memanfaatkan beragam peluang dan beragam kepentingan untuk kepentingan pribadinya. Tipe ini juga sering berpindah pindah partai yang penting mendapat nomor urut satu atau nomor urut jadi.
Tipe pencari perlindungan (protection seeker type) adalah mereka yang menjadi caleg dengan niat agar ketika menjadi caleg dapat melindungi diri dari beragam kemungkinan tersangkut kasus hukum atau diperkarakan. Mereka yang masuk tipe ini biasanya adalah mantan pejabat yang diduga bermasalah secara hukum atau tidak bermasalah tetapi semacam untuk antisipasi.
Tipe pencari kerja (job seeker type) adalah mereka menjadi caleg karena belum memiliki pekerjaan yang mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Bahkan diantara mereka ada yang pekerjaannya belum tetap. Mereka berpikir menjadi caleg itu mirip mendaftar pekerjaan.
Sementara, Tipe pejuang (fighter type) adalah mereka yang menjadi caleg karena memiliki keinginan kuat untuk melayani rakyat memperjuangkan kepentingan rakyat banyak. Biasanya tipe ini dimiliki oleh para pentolan aktivis yang memahami idealisme perjuangan.
Bagaimana persinggungan antara tipologi pemilih dan caleg? Berikut ini tabel yang menggambarkan persingungan tersebut:
Tabel Persinggungan Tipologi Caleg-Tipologi Pemilih dan Peluang Perolehan Suara Pada Pemilu 2014.
Tipologi Caleg------------Tipologi Pemilih------------Peluang Perolehan Suara
Pencari Prestise Subyektif, Pragmatis Tinggi
Pedagang Pragmatis Sedang
Petualang Skeptis Rendah
Pencari Perlindungan Subyektif, Pragmatis Tinggi
Pencari Kerja Pragmatis, skeptis. Sedang
Pejuang Ideologis, Rasional Sedang
Lapisan Atas Subyektif, Pragmatis Tinggi
Lapisan Tengah Rasional, Pragmatis Sedang
Lapisan Bawah Skeptis, Ideologis Sedang
Dengan memperhatikan tabel di atas maka kemungkinan caleg yang mendapat suara tinggi dalam Pemilu 2014 adalah mereka yang termasuk kategori tipe caleg pencari prestise, caleg pencari perlindungan, dan caleg lapisan atas. Ini artinya anggota DPR yang terpilih cenderung mereka yang bermodal besar.
Ini membenarkan tesis bahwa praktik pemilu ala demokrasi liberal hanya akan menghasilkan dominasi caleg yang bermodal besar tetapi cenderung miskin gagasan dan kurang menempatkan national interest sebagai agenda utama bangsa.
Ubedilah Badrun
Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) & Direktur Puspol Indonesia.
Aktivis Partai atau calon anggota legislatif (caleg) memerlukan pemahaman ini. Karena dengan pemahaman perilaku pemilih sesungguhnya memudahkan mereka membuat strategi politik, mengetahui cara merebut hati pemilih. Sayangnya sangat sedikit caleg atau partai yang secara serius menganalisis tipologi pemilih sebelum mereka kampanye dan bertarung dalam pemilu.
Sementara di sisi lain pada arena kontestasi politik pemilu, ternyata caleg juga memiliki tipologinya sendiri. Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan tentang bagaimana tipologi pemilih dan tipologi caleg pada Pemilu 2014? Bagaimana persinggungan keduanya? Dengan persinggungan tipologi itu bagaimana kemungkinan hasil Pemilu 2014?
Tipologi Pemilih
Dalam pengamatan penulis dengan menggunakan perspektif tipologi dan sosiologi politik, pada Pemilu 2014 ini sedikitnya ada enam tipologi pemilih. Pertama, pemilih tradisional (traditional Voter). Pemilih tipe ini memiliki hubungan tradisional dengan kontestan pemilu baik dengan caleg maupun dengan partai politik.
Mereka memiliki ikatan kultural, ikatan sosial, ikatan nilai-nilai bahkan ikatan ideologis. Pemilih tipe ini cenderung konsisten memilih satu partai dari generasi ke generasi. Mereka sering juga dijadikan sebagai basis tradisional partai tertentu.
Di Indonesia pada pemilu 2014 ini, tipe pemilih seperti ini ada pada partai yang lahir dari ormas keagamaan. Misalnya pada partai PKB yang lahir dari kultur ormas NU, PAN dari kultur ormas Muhammadiyah maupun PBB dari kultur ormas Persis atau Persatuan Islam. Dapat dipastikan partai partai tersebut memiliki pemilih setia.
Kedua, pemilih subyektif (subjective voter). Pemilih tipe ini menentukan pilihan karena memiliki hubungan emosional dengan kontestan, khususnya dengan caleg atau figur populer tertentu. Subyektifitas pemilih ini terjadi karena kontestan telah mencuri perhatian pemilih dengan unsur unsur subyektif ketokohan para kontestan baik didesign maupun alamiah.
Tipologi pemilih subyektif ini cukup dominan terjadi pada Pemilu 1999 dengan ketokohan Megawati, pada Pemilu 2004 dan 2009 dengan ketokohan SBY, dan pada Pemilu 2014 ini pemilih subyektif akan dominan muncul pada ketokohan Jokowi dan Prabowo.
Tentu saja pemilih subyektif ini ada yang berkorelasi memilih partai sang tokoh dalam Pemilu Legislatif tetapi memungkinkan juga mereka memilih tokoh saja saat Pemilu Presiden tetapi pada Pemilu Legislatif memilih partai lain.
Ketiga, pemilih pragmatis (pragmatic voter). Pemilih tipe ini menentukan pilihan karena pertimbangan pertimbangan pragmatis, mana yang menguntungkannya itulah partai atau kandidat caleg yang dipilihnya. Pada Pemilu 2014 ini pemilih pragmatis jumlahnya paling dominan karena trend praktik politik liberal saat ini telah menumbuhsuburkan pola politik transaksional.
Perilaku korup adalah turunannya yang tumbuh subur di era politik liberal 2014. Kompetisi antar caleg satu partai maupun beda partai telah menumbuhsuburkan perilaku pemilih pragmatis. Ini adalah dosa politik terbesar dari sistim politik liberal saat ini di Indonesia.
Keempat, pemilih skeptis (skeptic voter). Pemilih tipe ini meragukan semua partai, mereka tidak menganggap penting perbedaan partai, termasuk tidak menganggap penting ideologi partai politik. Mereka juga tidak meyakini bahwa partai akan benar benar memperjuangkan kepentingannya. Tetapi mereka ini tidak mau dikategorikan golput (golongan putih) yang tidak ikut pemilu.
Mereka tetap ingin dinilai sebagai warga negara yang baik ikut berpartisipasi memilih dalam pemilu. Tetapi mereka memilih dengan dua pola yaitu mencoblos semua partai atau mereka membagi pilihan berbeda pada setiap level calon legislatif dari partai yang berbeda. Misalnya untuk memilih caleg DPR RI ia memilih Partai A, untuk caleg DPRD Provinsi memilih dari Partai B, dan untuk memilih caleg DPRD kabupaten mereka memilih Partai C.
Kelima, pemilih ideologis (ideologic voter). Pemilih tipe ini menentukan pilihan karena kecocokan ideologi dirinya dengan ideologi partai yang dipilihnya. Biasanya mereka memilih melalui pertimbangan ideologi yang dianutnya. Pemilih tipe ini ada dua kategori yaitu kategori mereka anggota inti partai politik.
Sebagai anggota inti tentu mereka telah melalui proses ideologisasi yang panjang sehingga ketika memilih ia lakukan karena spirit ideologisnya. Kategori kedua adalah mereka masyarakat umum tetapi memiliki pemahaman ideologis yang kuat. Perspektif ideologisnya menuntunnya menentukan pilihan.
Keenam, pemilih rasional (rational voter). Pemilih tipe ini menentukan pilihan karena pertimbangan pertimbangan rasional. Mereka mempelajari berbagai hal tentang caleg dan partai politik yang akan dipilihnya. Mereka mempelajari visi-misi dan program-program para caleg maupun partai politik. Rasionalitasnya bekerja untuk menentukan pilihan yang tepat baginya.
Mereka juga mempelajari track record caleg dan partai politik yang akan ia pilih. Bahkan mereka sampai menyempatkan waktunya untuk menemui caleg mempertanyakan berbagai hal hingga meyakinkan ia untuk memilihnya. Pemilih tipe ini jumlahnya tidak banyak, mereka ada di wilayah perkotaan.
Tipologi Caleg
Untuk mengamati tipologi caleg penulis menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan sosiologi politik khususnya pada kajian stratifikasi sosial politik dan pendekatan psikologi politik khususnya kajian motivasi berpolitik para calon anggota legislatif.
Perspektif stratifikasi sosial (social stratification) meyakini bahwa pembacaan terhadap masyarakat bisa dilakukan dengan pengelompokan masyarakat secara vertikal hirarkis (bertingkat).
Pitirim A Sorokin (1959) pernah mengemukakan bahwa social stratification is permanent characteristic of any organized social group. Dengan demikian stratifikasi sosial merupakan realitas yang tidak bisa dihindari. Hal ini juga terjadi dalam komunitas partai politik yang menjadi pintu pencalegan. Dalam konteks ini caleg ternyata dapat diklasifikasikan juga sesuai stratifikasinya.
Dengan perspektif stratifikasi ini, caleg pada Pemilu 2014 dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu caleg lapisan atas, caleg lapisan tengah dan caleg lapisan bawah. Caleg lapisan atas adalah mereka yang berasal dari kelas ekonomi elite, pengurus elite partai politik dan elite aktivis organisasi quasi politik.
Caleg yang masuk kategori ini adalah pengusaha besar, pebisnis sukses, pentolan aktivis dan mereka yang sangat populer. Mereka ini memiliki akses ekonomi dan politik yang mudah, termasuk akses ke partai politik. Mereka biasanya dalam pencalegan berada di nomor bagian atas yaitu nomor urut 1 sampai dengan 3.
Caleg lapisan tengah adalah mereka yang berasal dari kelas ekonomi menengah, pengurus organisasi kemasyarakatan tertentu dan aktivis yang tidak terlalu populer. Mereka biasanya dalam pencalegan berada di nomor bagian tengah yaitu nomor urut 4 sampai nomor urut 6.
Sementara caleg lapisan bawah adalah mereka yang secara ekonomi belum mapan bahkan cenderung seperti job seeker (pencari kerja), namun diantara mereka ada yang memiliki idealisme yang kuat. Mereka biasanya dalam pencalegan berada di nomor bagian bawah yaitu nomor urut 7 sampai nomor urut 10.
Sementara jika menggunakan pendekatan psikologi politik khususnya perspektif motivasi berpolitik (motif pencalegan) maka tipologi caleg pada Pemilu 2014 ini dapat diklasifikasikan menjadi enam tipe yaitu tipe mencari prestise (prestise type), tipe pedagang (trader type), tipe petualang (adventurer type), tipe pencari perlindungan (protection seeker type), tipe pencari kerja (job seeker type), tipe pejuang (fighter type).
Tipe mencari prestise (prestise type) adalah mereka para caleg yang ingin menjadi anggota legislatif karena status simbolik sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat. Kecenderungan mereka yang termasuk tipe ini adalah incumbent, pengusaha besar (konglomerat) dan mereka yang sudah populer seperti artis, dan tokoh nasional dari organisasi yang sangat populer.
Tipe pedagang (trader type), adalah mereka yang menjadi caleg dengan kepentingan mencari keuntungan finansial yang lebih besar. Berpolitik bagi mereka seperti perdagangan yang sarat dengan hukum hukum ekonomi. Mereka meyakini dengan modal tertentu dalam pencalegan mereka akan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Mereka ini sudah menghitung kapan waktunya untung dalam berpolitik, sehingga mereka berani memasuki arena politik. Mereka juga berniat menggunakan kedudukan politiknya untuk mengembangkan sayap bisnisnya.
Tipe petualang (adventurer type) adalah mereka yang menjadi caleg karena ingin memanfaatkan beragam peluang dan beragam kepentingan untuk kepentingan pribadinya. Tipe ini juga sering berpindah pindah partai yang penting mendapat nomor urut satu atau nomor urut jadi.
Tipe pencari perlindungan (protection seeker type) adalah mereka yang menjadi caleg dengan niat agar ketika menjadi caleg dapat melindungi diri dari beragam kemungkinan tersangkut kasus hukum atau diperkarakan. Mereka yang masuk tipe ini biasanya adalah mantan pejabat yang diduga bermasalah secara hukum atau tidak bermasalah tetapi semacam untuk antisipasi.
Tipe pencari kerja (job seeker type) adalah mereka menjadi caleg karena belum memiliki pekerjaan yang mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Bahkan diantara mereka ada yang pekerjaannya belum tetap. Mereka berpikir menjadi caleg itu mirip mendaftar pekerjaan.
Sementara, Tipe pejuang (fighter type) adalah mereka yang menjadi caleg karena memiliki keinginan kuat untuk melayani rakyat memperjuangkan kepentingan rakyat banyak. Biasanya tipe ini dimiliki oleh para pentolan aktivis yang memahami idealisme perjuangan.
Bagaimana persinggungan antara tipologi pemilih dan caleg? Berikut ini tabel yang menggambarkan persingungan tersebut:
Tabel Persinggungan Tipologi Caleg-Tipologi Pemilih dan Peluang Perolehan Suara Pada Pemilu 2014.
Tipologi Caleg------------Tipologi Pemilih------------Peluang Perolehan Suara
Pencari Prestise Subyektif, Pragmatis Tinggi
Pedagang Pragmatis Sedang
Petualang Skeptis Rendah
Pencari Perlindungan Subyektif, Pragmatis Tinggi
Pencari Kerja Pragmatis, skeptis. Sedang
Pejuang Ideologis, Rasional Sedang
Lapisan Atas Subyektif, Pragmatis Tinggi
Lapisan Tengah Rasional, Pragmatis Sedang
Lapisan Bawah Skeptis, Ideologis Sedang
Dengan memperhatikan tabel di atas maka kemungkinan caleg yang mendapat suara tinggi dalam Pemilu 2014 adalah mereka yang termasuk kategori tipe caleg pencari prestise, caleg pencari perlindungan, dan caleg lapisan atas. Ini artinya anggota DPR yang terpilih cenderung mereka yang bermodal besar.
Ini membenarkan tesis bahwa praktik pemilu ala demokrasi liberal hanya akan menghasilkan dominasi caleg yang bermodal besar tetapi cenderung miskin gagasan dan kurang menempatkan national interest sebagai agenda utama bangsa.
Ubedilah Badrun
Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) & Direktur Puspol Indonesia.
(kri)