Menjaga kehormatan dan independensi hakim

Kamis, 03 April 2014 - 08:00 WIB
Menjaga kehormatan dan...
Menjaga kehormatan dan independensi hakim
A A A
PADA mulanya kekuasaan kehakiman (yudikatif) dipandang sebagai cabang kekuasaan yang paling lemah di banding dua cabang kekuasaan lain, eksekutif dan legislatif. Kelemahan lembaga peradilan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman ada di hulu dan hilir.

Di hulu, sifat lembaga peradilan adalah pasif, tidak akan menjalankan wewenang jika tidak ada perkara yang diajukan. Lembaga peradilan tidak boleh mencari-cari perkara. Di hilir, wewenang lembaga peradilan berhenti sampai pembacaan putusan. Pelaksanaan putusan sepenuhnya bergantung pada cabang kekuasaan lain.

Lembaga peradilan dapat seketika menjadi macan ompong pada saat putusan-putusannya tidak dilaksanakan. Dengan demikian, satu-satunya sumber kekuatan lembaga peradilan dari sisi eksternal adalah pada penerimaan dan pelaksanaan prinsip negara hukum yang menjadi ciri utama peradaban modern.

Prinsip negara hukum menghendaki ada supremasi dan kepatuhan terhadap hukum yang salah satunya diwujudkan dalam bentuk kepatuhan terhadap putusan hakim sebagai manifestasi hukum inconcreto. Prinsip negara hukum juga menghendaki ada lembaga peradilan yang merdeka karena hanya dengan kemerdekaan itulah akan ada kepatuhan.

Dari sisi internal, kemerdekaan lembaga peradilan bergantung pada kehormatan dan independensi hakim karena segala wewenang lembaga peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dijalankan oleh para hakim.

Kemerdekaan membutuhkan hakim yang terhormat yaitu hakim yang tidak hanya mahir di bidang hukum, tetapi juga memiliki kepribadian yang terhormat dan berintegritas. Kepribadian adalah karakter utuh sebagai manusia. Karena itu, kepribadian yang terhormat dan berintegritas meliputi segala sikap dan perilaku hakim, baik di dalam maupun di luar persidangan.

Dengan kepribadian terhormat dan integritas itulah, hakim akan mampu menjalankan wewenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara secara independen, tidak dapat diintervensi atau ditekan oleh kekuasaan atau kepentingan apa pun.

Karena itu, kehormatan dan independensi hakim sangat penting artinya. Ketentuan UUD 1945 memilih frasa ”menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Kata ”menjaga” memiliki makna yang lebih menekankan pada upaya pencegahan. Berbeda dengan kata ”mengawasi” yang lebih menekankan pada upaya penindakan.

Upaya menjaga kehormatan dan independensi hakim dilakukan mulai dari proses seleksi dengan harapan para hakim yang terpilih memenuhi syarat sebagai pribadi yang terhormat dan independen. Kehormatan dan independensi ibarat dua sisi mata uang, yang saling memengaruhi dan dapat saling mengurangi jika tid a k dirumuskan dan dijalankan secara hati-hati.

Mekanisme ”menjaga” yang dimaksudkan untuk menegakkan kehormatan hakim bisa menjadi awal hilangnya independensi jika itu membuat hakim mengalami ketakutan pada saat memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.

Mekanisme ”menjaga” itu bahkan dapat menjadi pembuka bagi merosotnya kehormatan hakim dan kemerdekaan lembaga peradilan. Pada saat hakim menjalankan tugasnya, upaya ”menjaga” dilakukan dengan mekanisme deteksi dan peringatan dini agar hakim tidak berperilaku yang tidak terhormat atau memihak.

Dalam proses ”menjaga” tentu juga ada penindakan jika memang hakim telah berperilaku tidak terhormat dan memihak. Penindakan ini harus dilakukan sebelum perilaku hakim tersebut mencederai kehormatan dan kemerdekaan lembaga peradilan.

Saat paling tepat untuk itu adalah ketika hakim telah melanggar kode etik dan perilaku hakim, namun belum dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Dengan demikian, penindakan terhadap hakim tidak merugikan kehormatan dan independensi hakim, namun justru memperkuat kepercayaan terhadap hakim dan lembaga peradilan.

Mahkamah Konstitusi (MK) adalah lembaga peradilan sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman. Wewenang MK dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dijalankan oleh para hakim konstitusi. Untuk mewujudkan MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka demi tegaknya hukum dan keadilan, upaya menjaga kehormatan dan independensi hakim konstitusi sangat penting artinya.

Itu juga dapat dilihat dari dinamika pengaturan dan penegakan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi yang telah dilaksanakan selama ini, mulai dari pembentukan UU Komisi Yudisial sampai pembatalan Perppu MK, pembentukan Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), serta pembentukan Dewan Etik Mahkamah Konstitusi (DE-MK) yang bersifat permanen.

Dinamika itu telah melahirkan pro dan kontra yang harus dimaknai sebagai perhatian yang besar dari segenap komponen bangsa terhadap pentingnya menjaga kehormatan dan independensi hakim konstitusi. Jika kita kembali pada pilihan kata ”menjaga” sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945, kehormatan dan independensi hakim konstitusi ditentukan mulai dari proses seleksi yang menjadi kewenangan DPR, MA, dan presiden.

Seleksi yang dilakukan secara objektif, transparan, dan akuntabel dengan melibatkan partisipasi publik diharapkan dapat menghasilkan sosok hakim konstitusi yang terhormat dan independen serta memenuhi kriteria negarawan yang menguasai konstitusi.

Pada saat hakim konstitusi menjalankan tugasnya, upaya ”menjaga” kehormatan dan independensi dilakukan oleh DEMK yang menjalankan fungsi deteksi dini. DE-MK dapat memberikan masukan agar seorang hakim konstitusi tidak melakukan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi yang dapat mencederai kehormatan dan independensi hakim konstitusi.

DE-MK juga dapat memberikan peringatan pada saat seorang hakim konstitusi telah melakukan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi walaupun dalam kategori ringan. Mekanisme ini mekanisme internal yang dilakukan MK dengan tetap menjaga kehormatan dan independensi hakim konstitusi dan MK.

Pada saat DE-MK menemukan ada pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi atau seorang hakim konstitusi telah melakukan pelanggaran ringan yang berulang dapat dilakukan penindakan berupa usulan pemberhentian melalui MK-MK. Dengan demikian, penindakan ini diharapkan telah dilakukan sebelum perbuatan hakim konstitusi menjatuhkan kehormatan MK secara kelembagaan.

JANEDJRI M GAFFAR
Doktor Ilmu Hukum, Alumnus PDIH Universitas Diponegoro, Semarang
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0675 seconds (0.1#10.140)