JKN: Politik dan teknis belum seimbang
A
A
A
TIGA bulan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah diselenggarakan dengan penuh harap dan hujat. Ada yang penuh harap dengan rela mengantre panjang untuk menjadi peserta. Tetapi, ada yang frustrasi dan menuntut pembubaran JKN/BPJS.
Hujatan tambah menggaung karena program kolosal ini menjadi magnet politik pada tahun pemilu. Konsep JKN telah disusun dengan baik, menuju sebuah sistem yang efisien dan berkeadilan. Potensi moral hazard dan fraud siap ditangkal dalam JKN.
Meskipun program JKN dirancang dengan baik, seperti sebuah kendaraan, kinerja sopir (pimpinan dan pegawai BPJS), bahan bakar (kecukupan dan kualitas sumber daya), serta kepatuhan fasilitas kesehatan JKN belum sesuai harapan. ”Mobil JKN” dirancang menggunakan pertamax, tetapi diisi premium. ”Mobil JKN” dilengkapi instrumen baru yang lengkap, tetapi sopir belum terbiasa atau sopir main-mainkan untuk kepentingannya.
Para penumpang (peserta) diharapkan patuh aturan, tetapi banyak yang egois. Maka itu, mobil tidak berjalan mulus dan penumpang marah-marah. Gejala ketidakmulusan JKN kita temui di berbagai media sosial, berita-berita di koran, radio dan televisi, serta dari mulut ke mulut.
Penumpang yang tidak paham mengira ”mobil JKN” buruk dan menuntut dibubarkan JKN/BPJS atau pembayaran CBG. Sebagai program kolosal baru, wajar jika masih banyak masalah teknis. Sangat disayangkan pada masa kampanye pemilu, keluar surat edaran (SE) Dirut BPJS Nomor 55/2014 tentang Peserta PBI.
Meskipun dirut membantah bahwa SE tersebut tidak berkaitan dengan kampanye partai, isi surat, waktu edar, dan target surat edaran dapat ditafsirkan dan digunakan untuk penguatan partai tertentu. Pada waktu yang sama, partai tersebut juga mengklaim sebagai berperan besar dalam JKN.
Padahal, tanpa perjuangan ”pahlawan tanpa tanda jasa” yaitu KAJS/BPJS Watch, SJSN dan UU BPJS sulit terwujud. Inilah politik—jika ada peluang meraih hati rakyat, seseorang atau sekelompok orang dapat muncul menjadi ”pahlawan”. Padahal JKN/SJSN harus dikerjakan dengan niat tulus— terlepas dari kepentingan politik. JKN/SJSN adalah perintah konstitusi/UUD45, bukan inisiatif suatu partai atau sekelompok orang.
Akar masalah
Dibandingkan dengan masalah moral hazard, kecurangan, ketidaktepatan, dan besar kebocoran subsidi BBM, masalah JKN sesungguhnya kecil sekali. Masalah utama timbul karena belum ada satu paham utuh tentang JKN. Sosialisasi JKN oleh BPJS banyak yang tidak sesuai dengan konsep dan visi-misi JKN.
Salah satu contoh, iklan awal BPJS adalah mengedepankan BPJS. Selain itu, kartu peserta awal diterbitkan sebagai kartu BPJS, bukan kartu JKN sebagaimana lazimnya di dunia. Materi sosialisasi BPJS yang berbeda dengan materi sosialisasi Kemenkes yang mengusung JKN (lebih tepat) menimbulkan kebingungan pemahaman pada tahap awal. Inilah egoisme BPJS.
Hal itu mencitrakan sikap ”kalian dan kami” di kalangan tenaga kesehatan. Ketika pembayaran sebagian penyakit dinilai tidak memadai oleh dokter dan RS, tenaga kesehatan dengan mudah menghujat BPJS. Mereka tidak merasa sebagai bagian dari JKN.
Padahal, kesuksesan JKN lebih banyak dipengaruhi tenaga kesehatan, bukan oleh BPJS atau di Kementrian Kesehatan. Sementara perangkat sistem informasi dan pemahaman petugas BPJS di lapangan sampai akhir Maret 14 masih banyak masalah. Masyarakat tidak mudah memahami BPJS dan JKN dan menilai prosedur makin rumit.
Informasi yang diberikan petugas BPJS di lapangan masih konsisten satu dengan lainnya misalnya tentang rujukan, tentang pemilihan kelas, tentang obat penyakit kronis, dan sebagainya. Pemahaman staf BPJS di berbagai kantor cabang masih belum sama. Itu menimbulkankebingunganbanyak pihak.
Peserta lama seperti peserta Askes dan anggota TNI/ POLRI menilai layanan JKN yang mereka terima lebih jelek dari sebelumnya. Banyak pasien penyakit kronis masih mengeluhkan panjangnya antrean dan tidak dapat memperoleh obat yang mereka biasa dapat.
Banyak masalah pemahaman dokter yang terkait pemahaman pembayaran CBG dan kapitasi yang belum memadai dan staf BPJS belum berhasil menjelaskan dengan baik. Perubahan besar terjadi pada pembayaran kepada fasilitas kesehatan, yang semula berbasis per pelayanan kini menjadi bayaran borongan yang disebut Ina-CBG. Sebagian besar RS dan dokter spesialis belum paham. Dalam Jamkesmas, pembayaran CBG hanya untuk pasien kelas III, kini pasien kelas II dan kelas I juga dibayar secara borongan. Metode baru pasti menimbulkan guncangan.
Ketika dokter menemukan beberapa bayaran CBG jauh di bawah dari yang biasa mereka terima, mereka bereaksi membatasi layanan atau obat. Ada RS yang mematok biaya maksimum sebesar yang tercantum dalam daftar CBG. Ada RS yang menetapkan paket obat dan layanan maksimum sesuai biaya perkiraan sendiri agar selalu ada surplus. Akibat itu, ketika harga obat melebihi ketentuan sepihak RS, pasien tidak diberikan obat yang sebelumnya diberikan. Sesungguhnya bayaran borongan CBG adalah bayaran rata-rata, tetapi tidak sedikit RS yang memahaminya sebagai biaya maksimum.
Korbannya adalah peserta. Besaran kapitasi dan CBG yang masih di bawah harga keekonomian, harga yang menutupi biaya produksi rata-rata oleh sektor swasta (dokter praktik, klinik swasta, dan RS milik swasta) membuat masalah JKN bertambah banyak. Sayangnya, ketentuan UU SJSN di mana tarif pembayaran BPJS merupakan tarif kesepakatan dengan asosiasi fasilitas kesehatan tidak digunakan.
Banyak keluhan dari pengurus asosiasi bahwa mereka tidak mendapat kesempatan yang adil dalam penarifan. Masalah besar lain adalah terjadi kolusi antara pemerintah dan sebagian pengusaha yang mematok batas atas upah untuk iuran hanya 2x penghasilan tidak kena pajak (PTKP), yang kira-kira sebesar Rp4,75 juta per bulan.
Praktik tersebut tidak sesuai prinsip asuransi sosial dan gotong-royong yang memadai. Pekerja yang bergaji tinggi hanya mengiur sedikit. Padahal, menurut wakil menteri perdagangan, pada 2012 terdapat 50 juta pekerja yang berpenghasilan di atas Rp20 juta sebulan. Entah apa yang terjadi, perpres menetapkan batas upah untuk iuran hanya Rp4,75 juta. Akibat itu, JKN kehilangan pendapatan potensial puluhan triliun setahun dan kualitas layanan dokter dan RS terpaksa terpangkas.
Peserta (pekerja dan anggota keluarganya) yang merugi akibat kolusi tersebut. Pemerintah pun hanya mau membayar iuran bagi penduduk miskin dan tidak mampu sebesar Rp19.225, jumlah yang belum memadai untuk layanan yang baik. Karena potensi iuran yang rendah, tarif ke fasilitas kesehatan dipaksa rendah. Tenaga kesehatan berteriak dan bereaksi. Pekerja dan keluarganya tidak mendapat layanan sebagaimana yang diharapkan. Artinya pemerintah belum berpihak kepada rakyat banyak.
Adakah solusi?
Solusi selalu ada sebab JKN disusun dengan baik. Hanya, perlu koreksi pada bagian-bagian yang kini tidak sesuai spesifikasi konsep (bestek) JKN. Sumber utama solusi adalah mobilisasi dana yang memadai dan pemilihan ”sopir” (petugas BPJS di semua lini) yang berkompeten dan berintegritas tinggi. Tenaga kesehatan harus dibayar layak sebagaimana pegawai BPJS dibayar layak.
Memang, dibandingkan tahun lalu, tambahan iuran PBI dan kenaikan iuran sudah terjadi penambahan dana. Penghasilan tenaga kesehatan secara rata-rata tidak berkurang. Tetapi, dengan peningkatan demand, bebankerja tenaga kesehatan meningkat lebih tinggi.
Padahal, rata-rata pendapatan tenaga kesehatan sebelum JKN umumnya relatif belum memadai. Sistem kesehatan, yang hanya berperan 3% produk domestikbruto, belummenghargai tenaga kesehatan di tingkat provider secara layak. Maka itu, kualitas layanan kesehatan belum akan baik. Yang diperlukan hanyalah keberanian pemerintah menetapkan besaran iuran, tarif kapitasi, dan tarif CBG pada harga keekonomian yang layak.
Iuran dapat dinaikkan jika BPJS dapat membuktikan layanan JKN berkualitas baik. Rakyat menunggu perbaikan nyata oleh BPJS dan pemerintah. Rakyat juga menunggu kerja efektif dari Dewan Pengawas BPJS dan Dewan Jaminan Sosial Nasional yang mewakili rakyat mengawal Dana Amanat milik rakyat (peserta).
HASBULLAH THABRANY
Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia
Hujatan tambah menggaung karena program kolosal ini menjadi magnet politik pada tahun pemilu. Konsep JKN telah disusun dengan baik, menuju sebuah sistem yang efisien dan berkeadilan. Potensi moral hazard dan fraud siap ditangkal dalam JKN.
Meskipun program JKN dirancang dengan baik, seperti sebuah kendaraan, kinerja sopir (pimpinan dan pegawai BPJS), bahan bakar (kecukupan dan kualitas sumber daya), serta kepatuhan fasilitas kesehatan JKN belum sesuai harapan. ”Mobil JKN” dirancang menggunakan pertamax, tetapi diisi premium. ”Mobil JKN” dilengkapi instrumen baru yang lengkap, tetapi sopir belum terbiasa atau sopir main-mainkan untuk kepentingannya.
Para penumpang (peserta) diharapkan patuh aturan, tetapi banyak yang egois. Maka itu, mobil tidak berjalan mulus dan penumpang marah-marah. Gejala ketidakmulusan JKN kita temui di berbagai media sosial, berita-berita di koran, radio dan televisi, serta dari mulut ke mulut.
Penumpang yang tidak paham mengira ”mobil JKN” buruk dan menuntut dibubarkan JKN/BPJS atau pembayaran CBG. Sebagai program kolosal baru, wajar jika masih banyak masalah teknis. Sangat disayangkan pada masa kampanye pemilu, keluar surat edaran (SE) Dirut BPJS Nomor 55/2014 tentang Peserta PBI.
Meskipun dirut membantah bahwa SE tersebut tidak berkaitan dengan kampanye partai, isi surat, waktu edar, dan target surat edaran dapat ditafsirkan dan digunakan untuk penguatan partai tertentu. Pada waktu yang sama, partai tersebut juga mengklaim sebagai berperan besar dalam JKN.
Padahal, tanpa perjuangan ”pahlawan tanpa tanda jasa” yaitu KAJS/BPJS Watch, SJSN dan UU BPJS sulit terwujud. Inilah politik—jika ada peluang meraih hati rakyat, seseorang atau sekelompok orang dapat muncul menjadi ”pahlawan”. Padahal JKN/SJSN harus dikerjakan dengan niat tulus— terlepas dari kepentingan politik. JKN/SJSN adalah perintah konstitusi/UUD45, bukan inisiatif suatu partai atau sekelompok orang.
Akar masalah
Dibandingkan dengan masalah moral hazard, kecurangan, ketidaktepatan, dan besar kebocoran subsidi BBM, masalah JKN sesungguhnya kecil sekali. Masalah utama timbul karena belum ada satu paham utuh tentang JKN. Sosialisasi JKN oleh BPJS banyak yang tidak sesuai dengan konsep dan visi-misi JKN.
Salah satu contoh, iklan awal BPJS adalah mengedepankan BPJS. Selain itu, kartu peserta awal diterbitkan sebagai kartu BPJS, bukan kartu JKN sebagaimana lazimnya di dunia. Materi sosialisasi BPJS yang berbeda dengan materi sosialisasi Kemenkes yang mengusung JKN (lebih tepat) menimbulkan kebingungan pemahaman pada tahap awal. Inilah egoisme BPJS.
Hal itu mencitrakan sikap ”kalian dan kami” di kalangan tenaga kesehatan. Ketika pembayaran sebagian penyakit dinilai tidak memadai oleh dokter dan RS, tenaga kesehatan dengan mudah menghujat BPJS. Mereka tidak merasa sebagai bagian dari JKN.
Padahal, kesuksesan JKN lebih banyak dipengaruhi tenaga kesehatan, bukan oleh BPJS atau di Kementrian Kesehatan. Sementara perangkat sistem informasi dan pemahaman petugas BPJS di lapangan sampai akhir Maret 14 masih banyak masalah. Masyarakat tidak mudah memahami BPJS dan JKN dan menilai prosedur makin rumit.
Informasi yang diberikan petugas BPJS di lapangan masih konsisten satu dengan lainnya misalnya tentang rujukan, tentang pemilihan kelas, tentang obat penyakit kronis, dan sebagainya. Pemahaman staf BPJS di berbagai kantor cabang masih belum sama. Itu menimbulkankebingunganbanyak pihak.
Peserta lama seperti peserta Askes dan anggota TNI/ POLRI menilai layanan JKN yang mereka terima lebih jelek dari sebelumnya. Banyak pasien penyakit kronis masih mengeluhkan panjangnya antrean dan tidak dapat memperoleh obat yang mereka biasa dapat.
Banyak masalah pemahaman dokter yang terkait pemahaman pembayaran CBG dan kapitasi yang belum memadai dan staf BPJS belum berhasil menjelaskan dengan baik. Perubahan besar terjadi pada pembayaran kepada fasilitas kesehatan, yang semula berbasis per pelayanan kini menjadi bayaran borongan yang disebut Ina-CBG. Sebagian besar RS dan dokter spesialis belum paham. Dalam Jamkesmas, pembayaran CBG hanya untuk pasien kelas III, kini pasien kelas II dan kelas I juga dibayar secara borongan. Metode baru pasti menimbulkan guncangan.
Ketika dokter menemukan beberapa bayaran CBG jauh di bawah dari yang biasa mereka terima, mereka bereaksi membatasi layanan atau obat. Ada RS yang mematok biaya maksimum sebesar yang tercantum dalam daftar CBG. Ada RS yang menetapkan paket obat dan layanan maksimum sesuai biaya perkiraan sendiri agar selalu ada surplus. Akibat itu, ketika harga obat melebihi ketentuan sepihak RS, pasien tidak diberikan obat yang sebelumnya diberikan. Sesungguhnya bayaran borongan CBG adalah bayaran rata-rata, tetapi tidak sedikit RS yang memahaminya sebagai biaya maksimum.
Korbannya adalah peserta. Besaran kapitasi dan CBG yang masih di bawah harga keekonomian, harga yang menutupi biaya produksi rata-rata oleh sektor swasta (dokter praktik, klinik swasta, dan RS milik swasta) membuat masalah JKN bertambah banyak. Sayangnya, ketentuan UU SJSN di mana tarif pembayaran BPJS merupakan tarif kesepakatan dengan asosiasi fasilitas kesehatan tidak digunakan.
Banyak keluhan dari pengurus asosiasi bahwa mereka tidak mendapat kesempatan yang adil dalam penarifan. Masalah besar lain adalah terjadi kolusi antara pemerintah dan sebagian pengusaha yang mematok batas atas upah untuk iuran hanya 2x penghasilan tidak kena pajak (PTKP), yang kira-kira sebesar Rp4,75 juta per bulan.
Praktik tersebut tidak sesuai prinsip asuransi sosial dan gotong-royong yang memadai. Pekerja yang bergaji tinggi hanya mengiur sedikit. Padahal, menurut wakil menteri perdagangan, pada 2012 terdapat 50 juta pekerja yang berpenghasilan di atas Rp20 juta sebulan. Entah apa yang terjadi, perpres menetapkan batas upah untuk iuran hanya Rp4,75 juta. Akibat itu, JKN kehilangan pendapatan potensial puluhan triliun setahun dan kualitas layanan dokter dan RS terpaksa terpangkas.
Peserta (pekerja dan anggota keluarganya) yang merugi akibat kolusi tersebut. Pemerintah pun hanya mau membayar iuran bagi penduduk miskin dan tidak mampu sebesar Rp19.225, jumlah yang belum memadai untuk layanan yang baik. Karena potensi iuran yang rendah, tarif ke fasilitas kesehatan dipaksa rendah. Tenaga kesehatan berteriak dan bereaksi. Pekerja dan keluarganya tidak mendapat layanan sebagaimana yang diharapkan. Artinya pemerintah belum berpihak kepada rakyat banyak.
Adakah solusi?
Solusi selalu ada sebab JKN disusun dengan baik. Hanya, perlu koreksi pada bagian-bagian yang kini tidak sesuai spesifikasi konsep (bestek) JKN. Sumber utama solusi adalah mobilisasi dana yang memadai dan pemilihan ”sopir” (petugas BPJS di semua lini) yang berkompeten dan berintegritas tinggi. Tenaga kesehatan harus dibayar layak sebagaimana pegawai BPJS dibayar layak.
Memang, dibandingkan tahun lalu, tambahan iuran PBI dan kenaikan iuran sudah terjadi penambahan dana. Penghasilan tenaga kesehatan secara rata-rata tidak berkurang. Tetapi, dengan peningkatan demand, bebankerja tenaga kesehatan meningkat lebih tinggi.
Padahal, rata-rata pendapatan tenaga kesehatan sebelum JKN umumnya relatif belum memadai. Sistem kesehatan, yang hanya berperan 3% produk domestikbruto, belummenghargai tenaga kesehatan di tingkat provider secara layak. Maka itu, kualitas layanan kesehatan belum akan baik. Yang diperlukan hanyalah keberanian pemerintah menetapkan besaran iuran, tarif kapitasi, dan tarif CBG pada harga keekonomian yang layak.
Iuran dapat dinaikkan jika BPJS dapat membuktikan layanan JKN berkualitas baik. Rakyat menunggu perbaikan nyata oleh BPJS dan pemerintah. Rakyat juga menunggu kerja efektif dari Dewan Pengawas BPJS dan Dewan Jaminan Sosial Nasional yang mewakili rakyat mengawal Dana Amanat milik rakyat (peserta).
HASBULLAH THABRANY
Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia
(nfl)