Merasa dianaktirikan, penyandang cacat protes KPU
Minggu, 30 Maret 2014 - 11:05 WIB

Merasa dianaktirikan, penyandang cacat protes KPU
A
A
A
Sindonews.com - Para pegiat dan anggota Persatuan Penyandang Cacat (Perpenca) Solo, Jawa Tengah menyesalkan sikap dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang kurang bersahabat dengan para penyandang cacat.
Menurut mereka, keinginan besar dari para penyandang cacat menyalurkan hak mereka sebagai warga negara saat pemilu, tidak mendapatkan respon positif dari pihak penyelenggara pemilu. Terbukti hingga saat ini, pihak KPU tidak menyediakan alat bantu pencoblosan.
"Berulang kali dilakukan simulasi pencoblosan untuk para penyandang cacat. Berulang kali pula lokasi tempat pemungutan suara tidak bersahabat dengan kami para penyandang cacat,"jelas salah satu pegiat Perpenca Marko Sukoarno (65) warga Kartotiasan, Kratonan, Solo,Jawa Tengah, Minggu (30/3/2014).
"Dimana di lokasi TPS terdapat trap-trapan yang menghalangi kami penyandang cacat yang ada di kursi roda. Belum lagi di bilik suara tidak ada alat bantu bagi kami yang tidak bisa melihat untuk mencoblos," sambungnya.
Menurut dia, di Solo terdapat lebih dari 2.000 penyandang tunanetra yang sudah terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu 2014 ini. Mereka tersebar di lima kecamatan yang ada di Solo,Jawa Tengah.
Dari jumlah tersebut sayang bila penyelenggara pemilu tidak memanfaatkan keberadaan mereka. Sehingga,para penyandang cacat ini memberikan waktu yang tersisa kepada pihak KPU untuk mempermudah akses mereka dalam menyalurkan hak pilihnya.
"Tapi monggo (silakan) bila KPU menganggap suara kami tak penting, tak usah saja mengabulkan permintaan kami untuk mempermudah akses kami memilih di bilik suara,"paparnya.
Meskipun dianggap sebelah mata oleh penyelenggara pemlu, namun Marko mengaku tidak ada sedikitpun keinginannya untuk tidak menyalurkan aspirasinya. Sejak pertama kali memiliki hak untuk memilih, Marko mengaku selalu mempergunakannya.
Apalagi semasa kecil kecil, dirinya mengaku pernah bertemu dengan Presiden Soekarno. Ia mendapat pesan untuk selalu menggunakan hak pilihnya.
"Waktu itu Bung Karno berpesan, agar menjadi warga negara yang baik dan menggunakan hak pilihnya. Walaupun kondisi fisik tidak memungkinkan," ungkap Marko yang sudah menyandang cacat sejak kecil.
Menyangkut adanya usulan dari KPU agar para penyandang cacat didampingi saat menyalurkan hak pilihnya di bilik suara, Marko secara tegas menolak usulan tersebut. Sebab, dengan pendampingan berarti tidak rahasia lagi, tak sesuai dengan asas langsung, umum, bebas dan rahasia (Luber).
Untuk itu, Marko sangat menyesalkan keputusan KPU yang tidak menyediakan template braile bagi tuna netra. Selain itu, ia juga menyayangkan perbedaan pandangan KPU pusat dan KPU daerah mengenai penyediaan template braile dalam pemilu membingungkan para penyandang cacat.
"Yang paling utama kami menolak putusan KPU yang menyediakan pendampingan bagi penyandang cacat karena melanggar asas pemilu itu sendiri. Bisa saja pendamping itu mengarahkan ke partai tertentu. Dan kami memandang keputusan KPU diskriminatif dan tidak mencabut paksa hak kewarganegaraan kami, dan penyediaan template braile pada pemilu 2014 merupakan harga mati," pungkasnya.
Menurut mereka, keinginan besar dari para penyandang cacat menyalurkan hak mereka sebagai warga negara saat pemilu, tidak mendapatkan respon positif dari pihak penyelenggara pemilu. Terbukti hingga saat ini, pihak KPU tidak menyediakan alat bantu pencoblosan.
"Berulang kali dilakukan simulasi pencoblosan untuk para penyandang cacat. Berulang kali pula lokasi tempat pemungutan suara tidak bersahabat dengan kami para penyandang cacat,"jelas salah satu pegiat Perpenca Marko Sukoarno (65) warga Kartotiasan, Kratonan, Solo,Jawa Tengah, Minggu (30/3/2014).
"Dimana di lokasi TPS terdapat trap-trapan yang menghalangi kami penyandang cacat yang ada di kursi roda. Belum lagi di bilik suara tidak ada alat bantu bagi kami yang tidak bisa melihat untuk mencoblos," sambungnya.
Menurut dia, di Solo terdapat lebih dari 2.000 penyandang tunanetra yang sudah terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu 2014 ini. Mereka tersebar di lima kecamatan yang ada di Solo,Jawa Tengah.
Dari jumlah tersebut sayang bila penyelenggara pemilu tidak memanfaatkan keberadaan mereka. Sehingga,para penyandang cacat ini memberikan waktu yang tersisa kepada pihak KPU untuk mempermudah akses mereka dalam menyalurkan hak pilihnya.
"Tapi monggo (silakan) bila KPU menganggap suara kami tak penting, tak usah saja mengabulkan permintaan kami untuk mempermudah akses kami memilih di bilik suara,"paparnya.
Meskipun dianggap sebelah mata oleh penyelenggara pemlu, namun Marko mengaku tidak ada sedikitpun keinginannya untuk tidak menyalurkan aspirasinya. Sejak pertama kali memiliki hak untuk memilih, Marko mengaku selalu mempergunakannya.
Apalagi semasa kecil kecil, dirinya mengaku pernah bertemu dengan Presiden Soekarno. Ia mendapat pesan untuk selalu menggunakan hak pilihnya.
"Waktu itu Bung Karno berpesan, agar menjadi warga negara yang baik dan menggunakan hak pilihnya. Walaupun kondisi fisik tidak memungkinkan," ungkap Marko yang sudah menyandang cacat sejak kecil.
Menyangkut adanya usulan dari KPU agar para penyandang cacat didampingi saat menyalurkan hak pilihnya di bilik suara, Marko secara tegas menolak usulan tersebut. Sebab, dengan pendampingan berarti tidak rahasia lagi, tak sesuai dengan asas langsung, umum, bebas dan rahasia (Luber).
Untuk itu, Marko sangat menyesalkan keputusan KPU yang tidak menyediakan template braile bagi tuna netra. Selain itu, ia juga menyayangkan perbedaan pandangan KPU pusat dan KPU daerah mengenai penyediaan template braile dalam pemilu membingungkan para penyandang cacat.
"Yang paling utama kami menolak putusan KPU yang menyediakan pendampingan bagi penyandang cacat karena melanggar asas pemilu itu sendiri. Bisa saja pendamping itu mengarahkan ke partai tertentu. Dan kami memandang keputusan KPU diskriminatif dan tidak mencabut paksa hak kewarganegaraan kami, dan penyediaan template braile pada pemilu 2014 merupakan harga mati," pungkasnya.
(kri)