Pejabat dan kampanye permanen
A
A
A
PERSOALAN kampanye pejabat seperti para kepala daerah, menteri-menteri dan bahkan presiden sebenarnya merupakan masalah yang cukup riskan. Itulah kenapa pada saat dibuat undang-undang atau peraturan yang memungkinkan para pejabat melakukan kampanye pada saat pemilihan umum (umum) timbul pro dan kontra.
Salah satu poin yang menjadi perdebatan dalam peraturan mengenai kampanye pejabat adalah sulitnya bagi para pejabat untuk menghindari konflik kepentingan (conflict of interest) pada saat kampanye. Misalnya penggunaan fasilitas-fasilitas negara seperti akomodasi, transportasi dan sebagainya, termasuk pemakaian anggaran yang sejatinya digunakan untuk kepentingan departemen atau daerah yang dipimpinnya.
Sementara itu, kalangan yang pro atas peraturan kampanye pejabat --mereka biasanya berasal dari partai politik (parpol) yang berada dalam lingkaran kekuasaan-- pada umumnya berdalih bahwa para pejabat terkait pasti mampu membedakan antara kepentingan partai dan kepentingan negara. Dengan kata lain, mereka tidak akan menggunakan fasilitas negara demi kepentingan partainya.
Meskipun pada akhirnya peraturan mengenai kampanye pejabat tersebut disepakati, yaitu UU Pemilu dan Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2013, tetapi kekhawatiran atas pelanggaran terhadap peraturan itu sangat kuat. Ternyata kekhawatiran dari banyak kalangan itu terbukti di lapangan.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) misalnya, menemukan indikasi pelanggaran yang dilakukan sejumlah pejabat ketika melakukan kampanye. Mereka antara lain diduga telah menyalahgunakan fasilitas negara untuk kampanye.
Menurut Bawaslu, ada laporan indikasi pelanggaran penggunaan fasilitas negara dalam kampanye yang dilakukan para pejabat antara lain, Menteri Kelautan dan Perikanan, pada saat rapat umum Partai Golkar di Demak dan di Simpanglima, Demak.
Demikian pula Menteri Agama yang diduga melakukan kampanye terselubung dalam pondok pesantren dan dalam acara kementerian saat menghadiri acara silaturahmi dan peresmian rusunawa Pondok Pesantren se-Malang Raya di Pondok Pesantren Shirotul Fuqoha, Desa Sepanjang, Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang.
Kampanye permanen
Perlukah sebenarnya pejabat berkampanye pada saat pemilu? Dalam kecenderungan komunikasi politik masa kini, kampanye kerap dilakukan dengan basis marketing politik. Bruce I Newman, salah seorang teorisi marketing politik dalam salah satu tulisannya, Political Marketing: Theory, Research, and Application (dalam Lynda Lee Kaid, 2004: 23), menyebutkan bahwa pada saat seseorang terpilih untuk menduduki jabatan politik melalui pemilu, maka ia harus terus menerapkan prinsip-prinsip dan teknik-teknik marketing politik.
Hal ini penting ketika dia mulai memerintah, membuat kebijakan dan sebagainya sehingga apa yang dilakukannya tetap berorientasi pada pasar atau rakyat sehingga mendapat respons yang baik dari mereka.
Itulah yang dimaksud Bruce I Newman sebagai kampanye permanen (permanent campaign) yang dilakukan oleh pejabat. Kampanye permanen yang berbasis pada marketing politik ini juga menjadi penting bagi para pejabat atau pemegang kekuasaan karena para rival mereka selalu berusaha untuk mencari kelemahan-kelemahannya. Di pemilu berikutnya tentu mereka akan menjadi sasaran kampanye menyerang (attacking campaign) dari rival-rival tersebut.
Dari sisi marketing politik harus ada sesuatu (produk) yang bisa “dijual” kepada konsumen atau khalayak oleh para pejabat sehingga akan terus mendapatkan dukungan luas dari rakyat. Menurut hemat penulis, produk marketing politik yang tepat dalam konteks ini adalah kinerja mereka sendiri selama memerintah atau menjabat kekuasaan.
Kalau kinerja para pejabat bagus, tentu respons publik juga akan bagus, dan demikian pula sebaliknya. Dengan demikian, bagi para pejabat, yang terpenting adalah bagaimana mereka dapat menunjukkan kinerja yang baik selama mereka memegang kekuasaan. Dengan sendirinya publik akan memberikan apresiasi yang tinggi kepada para pejabat yang memiliki kinerja yang baik tanpa diminta sekalipun.
Dengan kata lain, kinerja yang baik dari para pejabat sejatinya merupakan produk terpenting dari marketing politik mereka. Tanpa harus terlibat dalam urusan kampanye yang belum tentu memiliki efektivitas terhadap meningkatnya persepsi publik, mereka sesungguhnya telah melakukan “kampanye” sepanjang waktu dengan kinerja baiknya tersebut. Inilah sesungguhnya sisi keuntungan yang mereka miliki, jika dibandingkan dengan orang-orang yang baru akan masuk ke dalam arena kekuasaan.
Oleh karena itu, hemat penulis, para pejabat sebenarnya tidak perlu harus terlibat dalam kampanye pada pemilu sehingga mengorbankan banyak waktunya untuk urusan yang bukan kepentingan tugas utamanya. Biarlah urusan kampanye diserahkan pada orang-orang lain, sementara mereka tetap fokus bekerja menyelesaikan tugas-tugasnya.
Iding R. Hasan
Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta dan Deputi Direktur The Political Literacy Institute.
Salah satu poin yang menjadi perdebatan dalam peraturan mengenai kampanye pejabat adalah sulitnya bagi para pejabat untuk menghindari konflik kepentingan (conflict of interest) pada saat kampanye. Misalnya penggunaan fasilitas-fasilitas negara seperti akomodasi, transportasi dan sebagainya, termasuk pemakaian anggaran yang sejatinya digunakan untuk kepentingan departemen atau daerah yang dipimpinnya.
Sementara itu, kalangan yang pro atas peraturan kampanye pejabat --mereka biasanya berasal dari partai politik (parpol) yang berada dalam lingkaran kekuasaan-- pada umumnya berdalih bahwa para pejabat terkait pasti mampu membedakan antara kepentingan partai dan kepentingan negara. Dengan kata lain, mereka tidak akan menggunakan fasilitas negara demi kepentingan partainya.
Meskipun pada akhirnya peraturan mengenai kampanye pejabat tersebut disepakati, yaitu UU Pemilu dan Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2013, tetapi kekhawatiran atas pelanggaran terhadap peraturan itu sangat kuat. Ternyata kekhawatiran dari banyak kalangan itu terbukti di lapangan.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) misalnya, menemukan indikasi pelanggaran yang dilakukan sejumlah pejabat ketika melakukan kampanye. Mereka antara lain diduga telah menyalahgunakan fasilitas negara untuk kampanye.
Menurut Bawaslu, ada laporan indikasi pelanggaran penggunaan fasilitas negara dalam kampanye yang dilakukan para pejabat antara lain, Menteri Kelautan dan Perikanan, pada saat rapat umum Partai Golkar di Demak dan di Simpanglima, Demak.
Demikian pula Menteri Agama yang diduga melakukan kampanye terselubung dalam pondok pesantren dan dalam acara kementerian saat menghadiri acara silaturahmi dan peresmian rusunawa Pondok Pesantren se-Malang Raya di Pondok Pesantren Shirotul Fuqoha, Desa Sepanjang, Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang.
Kampanye permanen
Perlukah sebenarnya pejabat berkampanye pada saat pemilu? Dalam kecenderungan komunikasi politik masa kini, kampanye kerap dilakukan dengan basis marketing politik. Bruce I Newman, salah seorang teorisi marketing politik dalam salah satu tulisannya, Political Marketing: Theory, Research, and Application (dalam Lynda Lee Kaid, 2004: 23), menyebutkan bahwa pada saat seseorang terpilih untuk menduduki jabatan politik melalui pemilu, maka ia harus terus menerapkan prinsip-prinsip dan teknik-teknik marketing politik.
Hal ini penting ketika dia mulai memerintah, membuat kebijakan dan sebagainya sehingga apa yang dilakukannya tetap berorientasi pada pasar atau rakyat sehingga mendapat respons yang baik dari mereka.
Itulah yang dimaksud Bruce I Newman sebagai kampanye permanen (permanent campaign) yang dilakukan oleh pejabat. Kampanye permanen yang berbasis pada marketing politik ini juga menjadi penting bagi para pejabat atau pemegang kekuasaan karena para rival mereka selalu berusaha untuk mencari kelemahan-kelemahannya. Di pemilu berikutnya tentu mereka akan menjadi sasaran kampanye menyerang (attacking campaign) dari rival-rival tersebut.
Dari sisi marketing politik harus ada sesuatu (produk) yang bisa “dijual” kepada konsumen atau khalayak oleh para pejabat sehingga akan terus mendapatkan dukungan luas dari rakyat. Menurut hemat penulis, produk marketing politik yang tepat dalam konteks ini adalah kinerja mereka sendiri selama memerintah atau menjabat kekuasaan.
Kalau kinerja para pejabat bagus, tentu respons publik juga akan bagus, dan demikian pula sebaliknya. Dengan demikian, bagi para pejabat, yang terpenting adalah bagaimana mereka dapat menunjukkan kinerja yang baik selama mereka memegang kekuasaan. Dengan sendirinya publik akan memberikan apresiasi yang tinggi kepada para pejabat yang memiliki kinerja yang baik tanpa diminta sekalipun.
Dengan kata lain, kinerja yang baik dari para pejabat sejatinya merupakan produk terpenting dari marketing politik mereka. Tanpa harus terlibat dalam urusan kampanye yang belum tentu memiliki efektivitas terhadap meningkatnya persepsi publik, mereka sesungguhnya telah melakukan “kampanye” sepanjang waktu dengan kinerja baiknya tersebut. Inilah sesungguhnya sisi keuntungan yang mereka miliki, jika dibandingkan dengan orang-orang yang baru akan masuk ke dalam arena kekuasaan.
Oleh karena itu, hemat penulis, para pejabat sebenarnya tidak perlu harus terlibat dalam kampanye pada pemilu sehingga mengorbankan banyak waktunya untuk urusan yang bukan kepentingan tugas utamanya. Biarlah urusan kampanye diserahkan pada orang-orang lain, sementara mereka tetap fokus bekerja menyelesaikan tugas-tugasnya.
Iding R. Hasan
Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta dan Deputi Direktur The Political Literacy Institute.
(kri)