Mewaspadai rendahnya partisipasi pada Pemilu 2014
A
A
A
PARTISIPASI politik menjadi salah satu indikator signifikan dalam negara demokrasi. Makin tinggi partisipasi politik warga negara dalam proses politik, maka makin besar nilai demokrasi sebuah negara. Sebab partisipasi yang besar seringkali menjadi indikator kuatnya legitimasi politik.
Hal utama dalam demokratisasi sebuah negara salah satu prosesnya ditentukan oleh tinggi rendahnya partisipasi politik warga dalam pemilu. Meskipun mengikuti pemilu menurut Philip Althoff & Michael Rush dalam An Introduction to Political Sociology (1971) ketika berbicara tentang hirarki partisipasi menempatkan memilih dalam pemilu atau memberikan suara dalam pemilu sebagai tingkat partisipasi yang paling rendah setelah apati politik.
Trend partisipasi semakin rendah
Meski demikian, partisipasi politik warga dianggap penting oleh para pelaku demokrasi. Inilah yang memungkinkan penyelenggara demokrasi seperti KPU melakukan tindakan untuk meningkatkan partisipasi warga negara dalam pemilu. Tidak sedikit biaya yang digunakan untuk mengajak warga mengikuti pemilu.
Dari pembuatan baliho ajakan ikut pemilu sampai kampanye di sejumlah media massa baik online, tv, maupun cetak demi banyaknya partisipasi warga. Masalahnya tidaklah mudah mengajak warga datang ke TPS untuk memilih wakilnya duduk di kursi DPR, apalagi di tengah public distrust yang luar biasa terhadap lembaga politik bahkan terhadap lembaga negara.
Dalam sejarah pemilu Indonesia sejak akhir masa rezim Orde Baru hingga Pemilu 2009 menurut catatan Pusat Studi Sosial Politik Indonesia (Puspol Indonesia) tren partisipasi dalam pemilu mengalami penurunan yang signifikan. Pada Pemilu 1997 tingkat partisipasi pemilu mencapai 96,6 persen, pada Pemilu 1999 mencapai 92,7 persen, pada Pemilu 2004 mencapai 84,1 persen (Pileg) dan 78,2 persen (Pilpres), dan pada Pemilu 2009 mencapai 70,99 persen (Pileg) dan 71,7 persen (Pilpres).
Data tersebut menunjukkan kecenderungan tingkat partisipasi mengalami penurunan secara signifikan dan terus menerus dalam empat kali pemilu. Apakah Pemilu 2014 akan mengalami penurunan angka partisipasi?
Dengan situasi public distrust yang luar biasa terhadap lembaga politik bahkan terhadap lembaga negara saat ini, penulis memprediksi akan secara signifikan turut menurunkan angka partisipasi pemilih dalam pemilu 9 April 2014 nanti. Dengan rendahnya tingkat partisipasi secara kualitatif legitimasi politik produk pemilu menjadi rendah, meski tetap dianggap publik dan secara politik sebagai produk politik yang sah.
Antisipasi apa yang mungkin dilakukan ketika partisipasi dalam pemilu rendah mengingat waktu pemilu kian dekat? Dalam konteks ini moratorium iklan pemilu di televisi bukanlah kebijakan yang tepat. Sebab aura publik tentang pemilu perlu terus dikondisikan melalui iklan di banyak media televisi, tentu dengan aturan yang adil.
Meningkatkan angka partisipasi dalam pemilu bukanlah pekerjaan mudah tetapi cukup sulit, sesulit merubah persepsi publik yang sudah distrust terhadap lembaga politik bahkan terhadap lembaga negara. Ini sekaligus menunjukkan besarnya dosa politik rezim dan dosa politik partai politik yang gagal membangun kepercayaan rakyat terhadap lembaga politik dan lembaga negara.
Praktik korupsi para politikus dan pejabat negara, memberi kontribusi besar bagi meluasnya ketidakpercayaan rakyat terhadap lembaga politik dan lembaga negara.
Tingkatkan partisipasi dengan dua cara
Ada dua solusi penting yang mungkin bisa dilakukan untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam Pemilu 2014 selain iklan yang adil di media massa. Pertama, partai politik perlu bekerja keras menggerakkan mesin politiknya mendekat kepada rakyat sebagai pemilih. Kerja kerja mesin politik partai inilah yang lebih efektif meningkatkan partisipasi rakyat dalam pemilu.
Bergerak dengan intensitas tinggi menyapa rakyat menuju agenda besar 2014 akan lebih mudah diterima rakyat untuk ikut pemilu dibanding iklan di media. Meski memang diakui ada efek iklan terhadap kemauan rakyat untuk ikut memilih.
Tetapi karena ketidakpercayaan yang luar biasa terhadap lembaga politik menyebabkan rakyat memerlukan dialog intensif untuk membuatnya yakin agar ikut pemilu. Bergeraknya mesin politik partai menyapa rakyat membuka ruang dialog intensif yang sedikit banyak akan merubah persepsi rakyat tentang lembaga politik yang kemudian membuatnya ikut memilih dalam pemilu.
Kedua, KPU sebagai penyelenggara pemilu perlu terus mengoptimalkan agenda sosialisasi pemilu sampai sebelum 9 april 2014. Tentu komisioner KPU perlu kerja keras bersama relawan demokrasi yang sudah dibentuknya, bukan sekadar memasang baliho pemilu, tidak hanya beriklan di media, tetapi menyatu bersama warga membicarakan hajatan besar Pemilu 2014. Jangan pernah ada pikiran KPU untuk mark up persentase angka pemilih.
Jika upaya keras partai politik dan KPU mengajak warga ikut Pemilu 2014 sudah dilakukan, tetapi kemudian hasilnya tingkat partisipasi politik rakyat juga tetap rendah maka ini adalah lonceng kematian demokrasi liberal yang sudah berusia 15 tahun, pasca reformasi 1998 tetapi tidak memberi manfaat besar bagi kesejahteraan rakyat. Rendahnya partisipasi adalah bentuk protes rakyat terhadap praktik politik yang berlangsung.
Jika rendahnya partisipasi yang terjadi maka infra struktur politik (parpol, dll) perlu berbenah secara mendasar, sekaligus mulai mengagendakan untuk meninjau ulang sistim politik yang sedang berlangsung. Momentum Pemilu 2014 adalah momentum penting untuk melanjutkan demokrasi liberal atau sekaligus mengakhiri demokrasi liberal.
Ubedilah Badrun
Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) & Direktur Puspol Indonesia.
Hal utama dalam demokratisasi sebuah negara salah satu prosesnya ditentukan oleh tinggi rendahnya partisipasi politik warga dalam pemilu. Meskipun mengikuti pemilu menurut Philip Althoff & Michael Rush dalam An Introduction to Political Sociology (1971) ketika berbicara tentang hirarki partisipasi menempatkan memilih dalam pemilu atau memberikan suara dalam pemilu sebagai tingkat partisipasi yang paling rendah setelah apati politik.
Trend partisipasi semakin rendah
Meski demikian, partisipasi politik warga dianggap penting oleh para pelaku demokrasi. Inilah yang memungkinkan penyelenggara demokrasi seperti KPU melakukan tindakan untuk meningkatkan partisipasi warga negara dalam pemilu. Tidak sedikit biaya yang digunakan untuk mengajak warga mengikuti pemilu.
Dari pembuatan baliho ajakan ikut pemilu sampai kampanye di sejumlah media massa baik online, tv, maupun cetak demi banyaknya partisipasi warga. Masalahnya tidaklah mudah mengajak warga datang ke TPS untuk memilih wakilnya duduk di kursi DPR, apalagi di tengah public distrust yang luar biasa terhadap lembaga politik bahkan terhadap lembaga negara.
Dalam sejarah pemilu Indonesia sejak akhir masa rezim Orde Baru hingga Pemilu 2009 menurut catatan Pusat Studi Sosial Politik Indonesia (Puspol Indonesia) tren partisipasi dalam pemilu mengalami penurunan yang signifikan. Pada Pemilu 1997 tingkat partisipasi pemilu mencapai 96,6 persen, pada Pemilu 1999 mencapai 92,7 persen, pada Pemilu 2004 mencapai 84,1 persen (Pileg) dan 78,2 persen (Pilpres), dan pada Pemilu 2009 mencapai 70,99 persen (Pileg) dan 71,7 persen (Pilpres).
Data tersebut menunjukkan kecenderungan tingkat partisipasi mengalami penurunan secara signifikan dan terus menerus dalam empat kali pemilu. Apakah Pemilu 2014 akan mengalami penurunan angka partisipasi?
Dengan situasi public distrust yang luar biasa terhadap lembaga politik bahkan terhadap lembaga negara saat ini, penulis memprediksi akan secara signifikan turut menurunkan angka partisipasi pemilih dalam pemilu 9 April 2014 nanti. Dengan rendahnya tingkat partisipasi secara kualitatif legitimasi politik produk pemilu menjadi rendah, meski tetap dianggap publik dan secara politik sebagai produk politik yang sah.
Antisipasi apa yang mungkin dilakukan ketika partisipasi dalam pemilu rendah mengingat waktu pemilu kian dekat? Dalam konteks ini moratorium iklan pemilu di televisi bukanlah kebijakan yang tepat. Sebab aura publik tentang pemilu perlu terus dikondisikan melalui iklan di banyak media televisi, tentu dengan aturan yang adil.
Meningkatkan angka partisipasi dalam pemilu bukanlah pekerjaan mudah tetapi cukup sulit, sesulit merubah persepsi publik yang sudah distrust terhadap lembaga politik bahkan terhadap lembaga negara. Ini sekaligus menunjukkan besarnya dosa politik rezim dan dosa politik partai politik yang gagal membangun kepercayaan rakyat terhadap lembaga politik dan lembaga negara.
Praktik korupsi para politikus dan pejabat negara, memberi kontribusi besar bagi meluasnya ketidakpercayaan rakyat terhadap lembaga politik dan lembaga negara.
Tingkatkan partisipasi dengan dua cara
Ada dua solusi penting yang mungkin bisa dilakukan untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam Pemilu 2014 selain iklan yang adil di media massa. Pertama, partai politik perlu bekerja keras menggerakkan mesin politiknya mendekat kepada rakyat sebagai pemilih. Kerja kerja mesin politik partai inilah yang lebih efektif meningkatkan partisipasi rakyat dalam pemilu.
Bergerak dengan intensitas tinggi menyapa rakyat menuju agenda besar 2014 akan lebih mudah diterima rakyat untuk ikut pemilu dibanding iklan di media. Meski memang diakui ada efek iklan terhadap kemauan rakyat untuk ikut memilih.
Tetapi karena ketidakpercayaan yang luar biasa terhadap lembaga politik menyebabkan rakyat memerlukan dialog intensif untuk membuatnya yakin agar ikut pemilu. Bergeraknya mesin politik partai menyapa rakyat membuka ruang dialog intensif yang sedikit banyak akan merubah persepsi rakyat tentang lembaga politik yang kemudian membuatnya ikut memilih dalam pemilu.
Kedua, KPU sebagai penyelenggara pemilu perlu terus mengoptimalkan agenda sosialisasi pemilu sampai sebelum 9 april 2014. Tentu komisioner KPU perlu kerja keras bersama relawan demokrasi yang sudah dibentuknya, bukan sekadar memasang baliho pemilu, tidak hanya beriklan di media, tetapi menyatu bersama warga membicarakan hajatan besar Pemilu 2014. Jangan pernah ada pikiran KPU untuk mark up persentase angka pemilih.
Jika upaya keras partai politik dan KPU mengajak warga ikut Pemilu 2014 sudah dilakukan, tetapi kemudian hasilnya tingkat partisipasi politik rakyat juga tetap rendah maka ini adalah lonceng kematian demokrasi liberal yang sudah berusia 15 tahun, pasca reformasi 1998 tetapi tidak memberi manfaat besar bagi kesejahteraan rakyat. Rendahnya partisipasi adalah bentuk protes rakyat terhadap praktik politik yang berlangsung.
Jika rendahnya partisipasi yang terjadi maka infra struktur politik (parpol, dll) perlu berbenah secara mendasar, sekaligus mulai mengagendakan untuk meninjau ulang sistim politik yang sedang berlangsung. Momentum Pemilu 2014 adalah momentum penting untuk melanjutkan demokrasi liberal atau sekaligus mengakhiri demokrasi liberal.
Ubedilah Badrun
Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) & Direktur Puspol Indonesia.
(kri)