Selamat datang aktor politik alternatif: Transisi politik Indonesia
A
A
A
MENARIK mendiskusikan hasil penelitian UGM dan University of Oslo yang baru saja dilaunching di Yogyakarta. Sebagai salah satu narasumber pada penelitian ini, saya melihat penelitian ini menyumbang sangat besar terhadap analisis akademik mengenai masa depan politik Indonesia, juga mengenai perilaku pemilih dan aktor-aktor politik di dalam sistem demokrasi.
Pertama, riset ini membongkar dominasi “lembaga dan penelitian polling”. Sesungguhnya riset seperti ini dangkal di dalam menjelaskan dinamika politik, apalagi menjelaskan hal-hal yang lebih substansial dan detail mengenai aktor, kelembagaan serta proses-proses politik demokrasi yang berkembang.
Politik, demokrasi dan gerak politik para aktor mau pun kelembagaan politik hanya dijelaskan dengan angka-angka statistik permukaan yang didapatkan dengan beberapa pertanyaan tanpa menggali jawaban responden lebih mendalam.
Penjelasan akademik mengenai politik mengalami ancaman karena para peneliti, pemerhati dan para ahli urung mencari tahu lebih mendalam tentang who, how, why mau pun faktor-faktor lain yang menyertai arus perubahan politik di Indonesia.
Apalagi jika penelitian hanya bertumpu kepada keinginan mencari tahu popularitas dan elektabilitas dari berbagai aktor politik. Diskusi politik menjadi berfokus hanya ke soal siapa yang akan menang atau kalah di dalam pemilu.
Kedua, riset yang diprakarasi UGM dan University of Oslo Norwegia ini semakin meyakinkan kita bahwa arus perubahan di Indonesia sedang terjadi dengan pesat dengan berbagai kompleksitas. Sekali lagi, polling politik tak akan mampu menangkap fenomena sekompleks ini. Catatan penting yang didapatkan dari riset ini antara lain:
Pertama, menguatnya institusi masyarakat sipil dan melemahnya institusi tata pemerintahan demokratis. Artinya, organsiasi masyarakat sipil dipandang publik lebih memiliki peran di dalam memperkuat demokrasi dibandingkan institusi politik formal, termasuk partai politik. Temuan yang kurang lebih sama juga ditemukan di dalam penelitian yang dilakukan partnership akhir tahun 2013 lalu.
Dengan variabel yang agak berbeda, hasilnya menunjukkan bahwa elemen masyarakat sipil ternyata lebih dipercaya dibandingkan institusi politik pemerintahan, baik eksekutif mau pun legislatif. Bahkan ketika dibandingkan dengan elemen bisnis sekali pun - yang selama ini diyakini paling profesional, paling kredibel.
Temuan kedua penelitian menjelaskan bahwa tata kelola pemerintahan dianggap kurang mampu membangun tata nilai, sistem dan kelembagaan yang bersih, aktor yang kredibel dan berintegritas tinggi. Sebaliknya, masyarakat sipil diapresiasi lebih tinggi di berbagai variabel tersebut.
Kedua, menguatnya politik berbasis individual (figure-based politics). Jika menurut David Beetham (ahli politik dari Inggris) politik adalah kontrol popular (rakyat) terhadap kebijakan publik, maka maksud temuan ini menyiratkan beralihnya arus kebijakan publik yang semula di bawah kendali aktor organisasi, baik partai, lembaga eksekutif dan legislatif ke aktor individual yang berhasil merebut simpati rakyat.
Fenomena Jokowi, Risma, Isran Noor serta figur-figur lainnya menandai perubahan transisional itu. Tentu saja, aktor bisa berperan mendorong atau sebaliknya menyalahgunakan demokrasi. Arahnya sangat tergantung kepada orientasi ideologis yang diyakini dan dijalankan sang aktor individual.
Fenomena politik “populisme” sebagaimana dimulai di Amerika Latin dapat menampilkan sosok seperti Lula di Brasil, atau yang paling populer Hugo Chavez dan Evo Morales di Venezuela dan Bolivia. Orientasi ideologis mereka jelas, yakni negara kesejahteraan dan secara berani pula melawan arus mainstream ideologis yang selama ini dikendalikan pemodal, terutama yang datang dari negara-negara besar.
Lebih jauh, aktor populis semacam ini secara serius membangun basis organisasi dukungan massa yang luas. Karena basis dukungan yang kuat itu lah, mereka masih kuat bertahan di tengah gempuran lawan-lawan politik di tingkat nasional yang berkolaborasi dengan dukungan pemodal besar-asing dan kekuatan moneter internasional semacam IMF, Bank Dunia dll, serta pusat-pusat pengendali pasar saham dan mineral-energi.
Perjuangan Chavez yang telah meninggal pun, masih bisa diteruskan oleh Maduro sebagai pengganti, karena populisme ala Chavez didukung oleh pendidikan politik yang kuat pula, plus organisasi dukungan massa yang tangguh.
Namun, beda haknya dengan populisme di Asia Tenggara seperti Joseph Estrada di Philipina dan keluarga Thaksin Sinawatra di Thailand. Tidak jelas konsep negara kesejahteraan yang dimaksudkan, kecuali menitikberatkan kepada program-program populis di bidang pendidikan, kesehatan atau bantuan kepada orang miskin yang bersifat karitatif. Namun, kendali ekonomi Thailand tetap berada di tangan pemilik modal kuat, termasuk konglomerasi keluarga Thaksin, keluarga Raja dan pihak asing.
Alih-alih bertahan dan membangun sistem demorasi yang kuat, demokrasi Thailand menemui jalan buntu dan Thaksin pun dikudeta, dijatuhkan dari tampuk kekuasaan. Persoalannya jauh dari keinginan membangun sistem yang ideologis, tetapi lebih merupakan konflik antara kekuatan modal kelompok Thaksin dengan kekuatan modal yang lain, termasuk keluarga Raja. Rakyat pun terbelah ke dalam dua kubu yakni kubu merah (Thaksin) dan kubu kuning (oposisi).
Kondisi yang sama kembali muncul di dalam konflik politik akhir-akhir ini, di era kepemimpinan adik Thaksin, yakni Perdana Menteri Yimluck. Kemana kekuatan masyarakat Thailand yang pro demokrasi, yang selama ini bahkan menjadi “ikon perubahan dan demokrasi di Asia Tenggara”? Entah lah…kekuatan populisme neo liberal menyingkirkan karakter gerakan sosial kerakyatan Thailand yang melegenda.
Patronase yang berubah
Perubahan yang tadi dijelaskan yakni transisi dari politik berbasis organisasi ke politik berbasis individual atau ketokohan menjelaskan pula fenomena lain, yakni mulai terkikisnya politik patronase dan primordialisme. Patronase tradisional yang selama ini dikendalikan aktor pemerintahan dan pejabat politik formal mulai bergeser kepada tokoh masyarakat sipil, pengusaha, tokoh adat dan agama.
Dengan begitu, telah muncul aktor-aktor alternatif yang mengimbangi aktor formal dari pemerintahan (eksekutif dan legislatif) serta partai politik. Bahkan sebagaimana dijelaskan di depan, kesemua aktor ini lebih berbasis figur individual, bukan partai atau lembaga politik formal lainnya.
Meski faktor uang, material masih dominan, namun munculnya aktor alternatif bisa mengimbangi patronase berdasar klientilisme atau primordialisme sebagaimana yang selama ini menggelantungi wajah politik Indonesia. Patronase berdasarkan klientilisme dengan kekuatan uang, materi, pelayanan mau pun pemberian peluang ekonomi dari patron kepada pengikut serta diperkuat dengan hubungan primordialisme baik agama mau pun suku, paling terpukul di dalam kasus Ratu Atut dan keluarganya.
Dalam tempo singkat, institusi penegak hukum baru yang dilahirkan di era reformasi dan merupakan buah gerakan masyarakat sipil, berhasil “mempecundangi” kekuatan imperium politik yang dibendung berdasarkan kepatuhan material dan dukungan ikatan-ikatan primordial (local bossism).
Pelan-pelan kemunculan aktor alternatif dari masyarakat sipil, pengusaha mau pun aktivis partai politik yang mampu membaca tanda-tanda perubahan, mulai berhasil menggantikan aktior-aktor lama. Saya kira kehadiran mereka dapat diharapkan memperkuat demokrasi yang rasional yakni politik yang mengusung gagasan substansial, ideologis dan lebih menjamin kesejahteraan.
Gagasan-gagasan substansial di dalam demokrasi yang kita hadapi saat ini dan ke depan berupa gagasan negara kesejahteraan, pendekatan kerakyatan-partisipatif, politik yang bersih dan berkualitas. Sebaliknya, pendekatan elitisme juga mulai ditinggalkan meski belum sepenuhnya.
Tantangan ke depan: Penguatan aktor alternatif dan keorganisasian politik baru
Belajar dari perbandingan populisme ala Amerika Latin (Sosialisme Abad 21) dengan populisme tanpa ideologis dan organisasi pendukung seperti keluarga Thaksin Sinawatra di Thailand, agaknya Indonesia perlu hati-hati menyiasati perubahan politik yang terjadi.
Aktor individual bisa jadi akan sangat menyesatkan, sulit dikontrol oleh publik, apalagi bila aktor-aktor terrsebut muncul tanpa idelogi dan tak bersedia membangun organisasi basis dukungan massa yang memiliki ikatan kuat dengan sang tokoh.
Sebagian pakar menyebut contoh semacam ini sebagai fenomena aktor populisme neo liberal yang sangat tergantung kepada media massa dan kekuatan modal yang secara terus-menerus membangun pencitraan semu. Tokoh dan gagasannya menjadi seolah-olah memihak rakyat, seolah-olah pro kesejahteraan, namun sesungguhnya lebih menguntungkan status quo kekuatan modal yang berada di belakangnya.
Di tengah arus deras kapitalisasi media massa, terutama TV, kekuatiran ini sangat relevan. Karena itu, publik mestinya kritis menyikapi tokoh-tokoh alternatif semacam ini.
Tantangan lainnya adalah mendorong keorganisasian partai politik yang sudah ada sekarang untuk mau lebih terbuka dan menerima perubahan-perubahan atau melahirkan kekuatan politik baru sebagaimana pengalaman Amerika Latin. Tidak gampang menjawab kedua tantangan di atas.
Mesti ada keberanian dari aktor-aktor alternatif dan kekuatan masyarakat sipil secara menyeluruh mendobrak struktur dan kultur politik yang selama ini dicengkeram kekuatan aktor patronase tradisional.
Yang selama ini bergumul di dalam praktek klientilisme berdasarkan kepatuhan atas uang, material, pelayanan dan peluang-peluang ekonomi pragmatis. Juga yang selama ini dibungkus ke dalam simbol agama dan kekerabatan yang manipulatif.
Jika tadi di muka kita menjelaskan temuan bahwa tokoh agama dan adat dipandang sebagai aktor alternatif, maka kini saaatnya pula bagi tokoh agama dan adat untuk membangun nilai-nilai dan tatanan kelembagaan yang progresif.
Mereka tidak boleh lagi membiarkan manipulasi nilai dan simbol agama serta budaya dipakai sebagai alat memperkuat posisi patronase politik. Mereka pun harus mau meninggalkan privilege yang selama ini ikut mereka nikmati dari kedekatannya dengan kekuasaan patronase tradisional.
Sekali lagi, demokrasi rasional sudah ada di depan mata kita, tinggal lagi bagaimana kita menyongsongnya dengan penuh percaya diri.
Ahmad Taufan Damanik
Alumni Universty of Essex, Inggris, Direktur Institut Andalas dan Pengajar pada Departemen Ilmu Politik, FISIP USU.
Pertama, riset ini membongkar dominasi “lembaga dan penelitian polling”. Sesungguhnya riset seperti ini dangkal di dalam menjelaskan dinamika politik, apalagi menjelaskan hal-hal yang lebih substansial dan detail mengenai aktor, kelembagaan serta proses-proses politik demokrasi yang berkembang.
Politik, demokrasi dan gerak politik para aktor mau pun kelembagaan politik hanya dijelaskan dengan angka-angka statistik permukaan yang didapatkan dengan beberapa pertanyaan tanpa menggali jawaban responden lebih mendalam.
Penjelasan akademik mengenai politik mengalami ancaman karena para peneliti, pemerhati dan para ahli urung mencari tahu lebih mendalam tentang who, how, why mau pun faktor-faktor lain yang menyertai arus perubahan politik di Indonesia.
Apalagi jika penelitian hanya bertumpu kepada keinginan mencari tahu popularitas dan elektabilitas dari berbagai aktor politik. Diskusi politik menjadi berfokus hanya ke soal siapa yang akan menang atau kalah di dalam pemilu.
Kedua, riset yang diprakarasi UGM dan University of Oslo Norwegia ini semakin meyakinkan kita bahwa arus perubahan di Indonesia sedang terjadi dengan pesat dengan berbagai kompleksitas. Sekali lagi, polling politik tak akan mampu menangkap fenomena sekompleks ini. Catatan penting yang didapatkan dari riset ini antara lain:
Pertama, menguatnya institusi masyarakat sipil dan melemahnya institusi tata pemerintahan demokratis. Artinya, organsiasi masyarakat sipil dipandang publik lebih memiliki peran di dalam memperkuat demokrasi dibandingkan institusi politik formal, termasuk partai politik. Temuan yang kurang lebih sama juga ditemukan di dalam penelitian yang dilakukan partnership akhir tahun 2013 lalu.
Dengan variabel yang agak berbeda, hasilnya menunjukkan bahwa elemen masyarakat sipil ternyata lebih dipercaya dibandingkan institusi politik pemerintahan, baik eksekutif mau pun legislatif. Bahkan ketika dibandingkan dengan elemen bisnis sekali pun - yang selama ini diyakini paling profesional, paling kredibel.
Temuan kedua penelitian menjelaskan bahwa tata kelola pemerintahan dianggap kurang mampu membangun tata nilai, sistem dan kelembagaan yang bersih, aktor yang kredibel dan berintegritas tinggi. Sebaliknya, masyarakat sipil diapresiasi lebih tinggi di berbagai variabel tersebut.
Kedua, menguatnya politik berbasis individual (figure-based politics). Jika menurut David Beetham (ahli politik dari Inggris) politik adalah kontrol popular (rakyat) terhadap kebijakan publik, maka maksud temuan ini menyiratkan beralihnya arus kebijakan publik yang semula di bawah kendali aktor organisasi, baik partai, lembaga eksekutif dan legislatif ke aktor individual yang berhasil merebut simpati rakyat.
Fenomena Jokowi, Risma, Isran Noor serta figur-figur lainnya menandai perubahan transisional itu. Tentu saja, aktor bisa berperan mendorong atau sebaliknya menyalahgunakan demokrasi. Arahnya sangat tergantung kepada orientasi ideologis yang diyakini dan dijalankan sang aktor individual.
Fenomena politik “populisme” sebagaimana dimulai di Amerika Latin dapat menampilkan sosok seperti Lula di Brasil, atau yang paling populer Hugo Chavez dan Evo Morales di Venezuela dan Bolivia. Orientasi ideologis mereka jelas, yakni negara kesejahteraan dan secara berani pula melawan arus mainstream ideologis yang selama ini dikendalikan pemodal, terutama yang datang dari negara-negara besar.
Lebih jauh, aktor populis semacam ini secara serius membangun basis organisasi dukungan massa yang luas. Karena basis dukungan yang kuat itu lah, mereka masih kuat bertahan di tengah gempuran lawan-lawan politik di tingkat nasional yang berkolaborasi dengan dukungan pemodal besar-asing dan kekuatan moneter internasional semacam IMF, Bank Dunia dll, serta pusat-pusat pengendali pasar saham dan mineral-energi.
Perjuangan Chavez yang telah meninggal pun, masih bisa diteruskan oleh Maduro sebagai pengganti, karena populisme ala Chavez didukung oleh pendidikan politik yang kuat pula, plus organisasi dukungan massa yang tangguh.
Namun, beda haknya dengan populisme di Asia Tenggara seperti Joseph Estrada di Philipina dan keluarga Thaksin Sinawatra di Thailand. Tidak jelas konsep negara kesejahteraan yang dimaksudkan, kecuali menitikberatkan kepada program-program populis di bidang pendidikan, kesehatan atau bantuan kepada orang miskin yang bersifat karitatif. Namun, kendali ekonomi Thailand tetap berada di tangan pemilik modal kuat, termasuk konglomerasi keluarga Thaksin, keluarga Raja dan pihak asing.
Alih-alih bertahan dan membangun sistem demorasi yang kuat, demokrasi Thailand menemui jalan buntu dan Thaksin pun dikudeta, dijatuhkan dari tampuk kekuasaan. Persoalannya jauh dari keinginan membangun sistem yang ideologis, tetapi lebih merupakan konflik antara kekuatan modal kelompok Thaksin dengan kekuatan modal yang lain, termasuk keluarga Raja. Rakyat pun terbelah ke dalam dua kubu yakni kubu merah (Thaksin) dan kubu kuning (oposisi).
Kondisi yang sama kembali muncul di dalam konflik politik akhir-akhir ini, di era kepemimpinan adik Thaksin, yakni Perdana Menteri Yimluck. Kemana kekuatan masyarakat Thailand yang pro demokrasi, yang selama ini bahkan menjadi “ikon perubahan dan demokrasi di Asia Tenggara”? Entah lah…kekuatan populisme neo liberal menyingkirkan karakter gerakan sosial kerakyatan Thailand yang melegenda.
Patronase yang berubah
Perubahan yang tadi dijelaskan yakni transisi dari politik berbasis organisasi ke politik berbasis individual atau ketokohan menjelaskan pula fenomena lain, yakni mulai terkikisnya politik patronase dan primordialisme. Patronase tradisional yang selama ini dikendalikan aktor pemerintahan dan pejabat politik formal mulai bergeser kepada tokoh masyarakat sipil, pengusaha, tokoh adat dan agama.
Dengan begitu, telah muncul aktor-aktor alternatif yang mengimbangi aktor formal dari pemerintahan (eksekutif dan legislatif) serta partai politik. Bahkan sebagaimana dijelaskan di depan, kesemua aktor ini lebih berbasis figur individual, bukan partai atau lembaga politik formal lainnya.
Meski faktor uang, material masih dominan, namun munculnya aktor alternatif bisa mengimbangi patronase berdasar klientilisme atau primordialisme sebagaimana yang selama ini menggelantungi wajah politik Indonesia. Patronase berdasarkan klientilisme dengan kekuatan uang, materi, pelayanan mau pun pemberian peluang ekonomi dari patron kepada pengikut serta diperkuat dengan hubungan primordialisme baik agama mau pun suku, paling terpukul di dalam kasus Ratu Atut dan keluarganya.
Dalam tempo singkat, institusi penegak hukum baru yang dilahirkan di era reformasi dan merupakan buah gerakan masyarakat sipil, berhasil “mempecundangi” kekuatan imperium politik yang dibendung berdasarkan kepatuhan material dan dukungan ikatan-ikatan primordial (local bossism).
Pelan-pelan kemunculan aktor alternatif dari masyarakat sipil, pengusaha mau pun aktivis partai politik yang mampu membaca tanda-tanda perubahan, mulai berhasil menggantikan aktior-aktor lama. Saya kira kehadiran mereka dapat diharapkan memperkuat demokrasi yang rasional yakni politik yang mengusung gagasan substansial, ideologis dan lebih menjamin kesejahteraan.
Gagasan-gagasan substansial di dalam demokrasi yang kita hadapi saat ini dan ke depan berupa gagasan negara kesejahteraan, pendekatan kerakyatan-partisipatif, politik yang bersih dan berkualitas. Sebaliknya, pendekatan elitisme juga mulai ditinggalkan meski belum sepenuhnya.
Tantangan ke depan: Penguatan aktor alternatif dan keorganisasian politik baru
Belajar dari perbandingan populisme ala Amerika Latin (Sosialisme Abad 21) dengan populisme tanpa ideologis dan organisasi pendukung seperti keluarga Thaksin Sinawatra di Thailand, agaknya Indonesia perlu hati-hati menyiasati perubahan politik yang terjadi.
Aktor individual bisa jadi akan sangat menyesatkan, sulit dikontrol oleh publik, apalagi bila aktor-aktor terrsebut muncul tanpa idelogi dan tak bersedia membangun organisasi basis dukungan massa yang memiliki ikatan kuat dengan sang tokoh.
Sebagian pakar menyebut contoh semacam ini sebagai fenomena aktor populisme neo liberal yang sangat tergantung kepada media massa dan kekuatan modal yang secara terus-menerus membangun pencitraan semu. Tokoh dan gagasannya menjadi seolah-olah memihak rakyat, seolah-olah pro kesejahteraan, namun sesungguhnya lebih menguntungkan status quo kekuatan modal yang berada di belakangnya.
Di tengah arus deras kapitalisasi media massa, terutama TV, kekuatiran ini sangat relevan. Karena itu, publik mestinya kritis menyikapi tokoh-tokoh alternatif semacam ini.
Tantangan lainnya adalah mendorong keorganisasian partai politik yang sudah ada sekarang untuk mau lebih terbuka dan menerima perubahan-perubahan atau melahirkan kekuatan politik baru sebagaimana pengalaman Amerika Latin. Tidak gampang menjawab kedua tantangan di atas.
Mesti ada keberanian dari aktor-aktor alternatif dan kekuatan masyarakat sipil secara menyeluruh mendobrak struktur dan kultur politik yang selama ini dicengkeram kekuatan aktor patronase tradisional.
Yang selama ini bergumul di dalam praktek klientilisme berdasarkan kepatuhan atas uang, material, pelayanan dan peluang-peluang ekonomi pragmatis. Juga yang selama ini dibungkus ke dalam simbol agama dan kekerabatan yang manipulatif.
Jika tadi di muka kita menjelaskan temuan bahwa tokoh agama dan adat dipandang sebagai aktor alternatif, maka kini saaatnya pula bagi tokoh agama dan adat untuk membangun nilai-nilai dan tatanan kelembagaan yang progresif.
Mereka tidak boleh lagi membiarkan manipulasi nilai dan simbol agama serta budaya dipakai sebagai alat memperkuat posisi patronase politik. Mereka pun harus mau meninggalkan privilege yang selama ini ikut mereka nikmati dari kedekatannya dengan kekuasaan patronase tradisional.
Sekali lagi, demokrasi rasional sudah ada di depan mata kita, tinggal lagi bagaimana kita menyongsongnya dengan penuh percaya diri.
Ahmad Taufan Damanik
Alumni Universty of Essex, Inggris, Direktur Institut Andalas dan Pengajar pada Departemen Ilmu Politik, FISIP USU.
(kri)