Kemarahan KPK
A
A
A
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) marah. Tentang pembahasan revisi UU KUHP dan KUHAP, KPK menuding pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah memangkas kewenangannya sehingga tidak akan maksimal dalam memberantas korupsi.
Pemerintah dan DPR pun menjawab kemarahan dengan menganggap KPK terlalu berlebihan menanggapi persoalan tersebut. Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin bahwa pembahasan revisi UU KUHP dan KUHAP adalah lex generalis sehingga tidak menghilangkan kewenangan KPK. KPK menilai dengan pembahasan revisi dua UU tersebut membuat sifat kejahatan luar biasa dari korupsi menjadi tereliminasi, menghilangkan kewenangan penyelidikan KPK, penyuapan dan gratifikasi tidak masuk dalam delik korupsi, penyitaan harus dengan izin hakim, dan waktu penahanan dalam tahapan hanya lima hari.
Jika memang benar keberatan KPK tersebut terjadi, secara kasat mata memang kewenangan KPK menjadi lebih kecil dari sebelumnya. Bayangkan, korupsi yang menjadi persoalan utama dianggap tidak luar biasa lagi. Tentu semangat ini jauh dari teriakan-teriakan pemerintah dan DPR yang menginginkan negeri ini bebas dari korupsi. Pemerintah dan DPR pun sepakat, bahwa korupsi yang membuat negeri itu tidak bisa maju signifikan baik fisik maupun mental. Jika pada akhirnya korupsi dianggap bukan kejahatan luar biasa, tentu berdampak pada hukuman yang diberikan kepada pelaku korupsi juga biasa saja layaknya tindak kriminal lainnya.
Tentang penyelidikan yang dihilangkan dari kewenangan KPK juga membuat lembaga antikorupsi ini bak macan ompong tanpa bisa ”menggigit” dan ”memangsa” para koruptor yang saat ini sudah merajalela di negeri ini. KPK hanya akan menyidik kasus-kasus korupsi tanpa mempunyai kewenangan untuk melakukan investigasi sebuah kasus dugaan korupsi. Begitu juga ketika mendapat laporan dugaan korupsi, KPK tidak bisa berbuat apa-apa. KPK hanya menunggu gerak aparat hukum lainnya menyerahkan hasil penyelidikan untuk diteruskan ke penyidikan.
Penyuapan dan gratifikasi dianggap tidak masuk delik korupsi juga membuat semua pihak bertanya-tanya. Padahal selama ini, tindakan-tindakan tak terpuji seperti suap dan gratifikasi bisa membuat yang salah di negeri menjadi pembenaran. Selain itu, banyak kasus dugaan korupsi diungkap oleh KPK bermula dari tangkap tangan aksi suap. Lalu jika suap dan gratifikasi tidak masuk dalam korupsi, berarti akan mempersempit sebuah tindak pidana korupsi. Diyakini, suap dan gratifikasi yang selama ini menjadi kebiasaan buruk banyak pihak akan kembali marak.
Sedangkan penyitaan harus meminta hakim dan waktu penahanan hanya lima hari membuat kinerja KPK tidak efektif. Langkah kencang KPK dalam menelusuri tindak pidana korupsi akan menjadi tidak efektif karena birokrasi yang tambah panjang. Di sisi lain, penahanan yang hanya lima hari sangat jauh dari kenyataan banyak para tersangka korupsi yang justru menghindar dari KPK ketika sudah ditetapkan tersangka. Jika tudingan dari KPK itu benar maka benar-benar semangat dalam memberantas korupsi dilemahkan oleh aturan.
Lalu, siapa yang benar apakah KPK atau pemerintah dan DPR? Kadang cukup sulit mencari kebenaran di negeri ini. Sebuah kebenaran yang semestinya menjadi hal yang objektif bisa menjadi subjektif. Artinya, benar menurut KPK belum tentu benar menurut pemerintah maupun DPR. Begitu juga sebaliknya. Pada akhirnya, kebenaran akan menjadi barang yang langka atau justru menjadi barang yang diobral dengan versi masing-masing.
Namun, pada kasus ini, jika semua pihak benar-benar tulus berpihak pada pemberantasan korupsi maka semua kekhawatiran KPK tersebut di atas tidak terjadi. Korupsi adalah persoalan luar biasa bagi bangsa ini dan negeri ini masih membutuh tenaga yang luar biasa untuk memberantasnya. Jika semangat pemberantasan korupsi bisa seirama, tentu para koruptor tidak akan memandang sebelah mata para aparat.
Namun jika ketegangan antara KPK dengan pemerintah-DPR masih terjadi, para koruptor yang akan bertepuk tangan layaknya suporter olahraga.
Pemerintah dan DPR pun menjawab kemarahan dengan menganggap KPK terlalu berlebihan menanggapi persoalan tersebut. Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin bahwa pembahasan revisi UU KUHP dan KUHAP adalah lex generalis sehingga tidak menghilangkan kewenangan KPK. KPK menilai dengan pembahasan revisi dua UU tersebut membuat sifat kejahatan luar biasa dari korupsi menjadi tereliminasi, menghilangkan kewenangan penyelidikan KPK, penyuapan dan gratifikasi tidak masuk dalam delik korupsi, penyitaan harus dengan izin hakim, dan waktu penahanan dalam tahapan hanya lima hari.
Jika memang benar keberatan KPK tersebut terjadi, secara kasat mata memang kewenangan KPK menjadi lebih kecil dari sebelumnya. Bayangkan, korupsi yang menjadi persoalan utama dianggap tidak luar biasa lagi. Tentu semangat ini jauh dari teriakan-teriakan pemerintah dan DPR yang menginginkan negeri ini bebas dari korupsi. Pemerintah dan DPR pun sepakat, bahwa korupsi yang membuat negeri itu tidak bisa maju signifikan baik fisik maupun mental. Jika pada akhirnya korupsi dianggap bukan kejahatan luar biasa, tentu berdampak pada hukuman yang diberikan kepada pelaku korupsi juga biasa saja layaknya tindak kriminal lainnya.
Tentang penyelidikan yang dihilangkan dari kewenangan KPK juga membuat lembaga antikorupsi ini bak macan ompong tanpa bisa ”menggigit” dan ”memangsa” para koruptor yang saat ini sudah merajalela di negeri ini. KPK hanya akan menyidik kasus-kasus korupsi tanpa mempunyai kewenangan untuk melakukan investigasi sebuah kasus dugaan korupsi. Begitu juga ketika mendapat laporan dugaan korupsi, KPK tidak bisa berbuat apa-apa. KPK hanya menunggu gerak aparat hukum lainnya menyerahkan hasil penyelidikan untuk diteruskan ke penyidikan.
Penyuapan dan gratifikasi dianggap tidak masuk delik korupsi juga membuat semua pihak bertanya-tanya. Padahal selama ini, tindakan-tindakan tak terpuji seperti suap dan gratifikasi bisa membuat yang salah di negeri menjadi pembenaran. Selain itu, banyak kasus dugaan korupsi diungkap oleh KPK bermula dari tangkap tangan aksi suap. Lalu jika suap dan gratifikasi tidak masuk dalam korupsi, berarti akan mempersempit sebuah tindak pidana korupsi. Diyakini, suap dan gratifikasi yang selama ini menjadi kebiasaan buruk banyak pihak akan kembali marak.
Sedangkan penyitaan harus meminta hakim dan waktu penahanan hanya lima hari membuat kinerja KPK tidak efektif. Langkah kencang KPK dalam menelusuri tindak pidana korupsi akan menjadi tidak efektif karena birokrasi yang tambah panjang. Di sisi lain, penahanan yang hanya lima hari sangat jauh dari kenyataan banyak para tersangka korupsi yang justru menghindar dari KPK ketika sudah ditetapkan tersangka. Jika tudingan dari KPK itu benar maka benar-benar semangat dalam memberantas korupsi dilemahkan oleh aturan.
Lalu, siapa yang benar apakah KPK atau pemerintah dan DPR? Kadang cukup sulit mencari kebenaran di negeri ini. Sebuah kebenaran yang semestinya menjadi hal yang objektif bisa menjadi subjektif. Artinya, benar menurut KPK belum tentu benar menurut pemerintah maupun DPR. Begitu juga sebaliknya. Pada akhirnya, kebenaran akan menjadi barang yang langka atau justru menjadi barang yang diobral dengan versi masing-masing.
Namun, pada kasus ini, jika semua pihak benar-benar tulus berpihak pada pemberantasan korupsi maka semua kekhawatiran KPK tersebut di atas tidak terjadi. Korupsi adalah persoalan luar biasa bagi bangsa ini dan negeri ini masih membutuh tenaga yang luar biasa untuk memberantasnya. Jika semangat pemberantasan korupsi bisa seirama, tentu para koruptor tidak akan memandang sebelah mata para aparat.
Namun jika ketegangan antara KPK dengan pemerintah-DPR masih terjadi, para koruptor yang akan bertepuk tangan layaknya suporter olahraga.
(hyk)