MK sarankan Habiburokhman ajukan uji materi UU Pilpres
A
A
A
Sindonews.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menyarankan Habiburokhman untuk mengajukan pengujian materi dari pada mengajukan peninjauan kembali (PK) Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres).
"Ajukan permohonan judicial review baru Undang-undang Pilpres, kan ini sudah pernah diputus, supaya tidak 'nebis in idem', saudara harus jelaskan supaya tidak nebis," kata Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat kepada Habiburokhman, saat sidang perdana permohonan peninjauan kembali (PK) putusan pengujian UU Pilpres di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (25/2/2014).
Dia menyatakan, Habiburokhman telah memotong frasa Pasal 24 c Ayat (1) Undang-undang Dasar (UUD) 1945 untuk dijadikan dasar permohonan PK terhadap putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 mengenai pengujian materiil Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres).
Lebih lanjut, dia mengatakan, MK memang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, serta putusannya bersifat final dan seterusnya. "Tetapi dalam permohonan saudara (Habiburokhman), itu (frasa) dipotong pada tingkat pertama dan terakhir sehingga berarti bisa PK," ujar Arief.
Dijelaskannya, frasa yang termaktub dalam Pasal 24 c Ayat (1) Undang-undang Dasar (UUD) 1945 itu tidak bisa dipotong. Sehingga permohonan PK Habiburokhman tidak bisa dilakukan. "Menurut majelis, tidak bisa frasa dipotong," kata Arief.
Seperti diketahui sebelumnya, Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra Bidang Advokasi Habiburokhman menyebut MK berwenang melakukan PK atas putusannya sendiri. Hal demikian, kata dia, tertuang di Pasal 24 c Ayat (1) UUD 1945.
Pada pasal itu menyatakan MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang Pemilu.
Lebih lanjut, dia mengatakan, frasa "pada tingkat pertama dan terakhir" dapatlah juga diartikan bahwa MK berwenang menguji UU terhadap UUD "pada tingkat pertama" dan juga "pada tingkat terakhir" atau yang biasa disebut tingkat "Peninjauan Kembali".
"Secara umum Peninjauan Kembali adalah suatu upaya hukum terahir yang diberikan kepada para pencari keadilan," tutur Habiburokhman di Whiz Hotel, Jalan Cikini Raya Nomor 6, Jakarta Pusat, siang tadi.
Di Mahkamah Agung, kata dia, alasan untuk dilakukannya PK terhadap putusan MA antara lain adalah bila adanya bukti baru (Novum) dan juga terdapat kekeliruan ataupun kekhilafan hakim.
"Walaupun kita ketahui bahwa menjadi hakim konstitusi harus melalui suatu proses seleksi yang cukup ketat seperti yang disebutkan dalam Pasal 15 UU Nomor 24 Tahun 2003 bahwa syarat untuk menjadi seorang hakim konstitusi adalah memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil serta negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan," ungkapnya.
"Ajukan permohonan judicial review baru Undang-undang Pilpres, kan ini sudah pernah diputus, supaya tidak 'nebis in idem', saudara harus jelaskan supaya tidak nebis," kata Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat kepada Habiburokhman, saat sidang perdana permohonan peninjauan kembali (PK) putusan pengujian UU Pilpres di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (25/2/2014).
Dia menyatakan, Habiburokhman telah memotong frasa Pasal 24 c Ayat (1) Undang-undang Dasar (UUD) 1945 untuk dijadikan dasar permohonan PK terhadap putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 mengenai pengujian materiil Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres).
Lebih lanjut, dia mengatakan, MK memang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, serta putusannya bersifat final dan seterusnya. "Tetapi dalam permohonan saudara (Habiburokhman), itu (frasa) dipotong pada tingkat pertama dan terakhir sehingga berarti bisa PK," ujar Arief.
Dijelaskannya, frasa yang termaktub dalam Pasal 24 c Ayat (1) Undang-undang Dasar (UUD) 1945 itu tidak bisa dipotong. Sehingga permohonan PK Habiburokhman tidak bisa dilakukan. "Menurut majelis, tidak bisa frasa dipotong," kata Arief.
Seperti diketahui sebelumnya, Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra Bidang Advokasi Habiburokhman menyebut MK berwenang melakukan PK atas putusannya sendiri. Hal demikian, kata dia, tertuang di Pasal 24 c Ayat (1) UUD 1945.
Pada pasal itu menyatakan MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang Pemilu.
Lebih lanjut, dia mengatakan, frasa "pada tingkat pertama dan terakhir" dapatlah juga diartikan bahwa MK berwenang menguji UU terhadap UUD "pada tingkat pertama" dan juga "pada tingkat terakhir" atau yang biasa disebut tingkat "Peninjauan Kembali".
"Secara umum Peninjauan Kembali adalah suatu upaya hukum terahir yang diberikan kepada para pencari keadilan," tutur Habiburokhman di Whiz Hotel, Jalan Cikini Raya Nomor 6, Jakarta Pusat, siang tadi.
Di Mahkamah Agung, kata dia, alasan untuk dilakukannya PK terhadap putusan MA antara lain adalah bila adanya bukti baru (Novum) dan juga terdapat kekeliruan ataupun kekhilafan hakim.
"Walaupun kita ketahui bahwa menjadi hakim konstitusi harus melalui suatu proses seleksi yang cukup ketat seperti yang disebutkan dalam Pasal 15 UU Nomor 24 Tahun 2003 bahwa syarat untuk menjadi seorang hakim konstitusi adalah memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil serta negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan," ungkapnya.
(kri)