MK nyatakan UU Pilpres tidak bisa PK

Selasa, 25 Februari 2014 - 18:33 WIB
MK nyatakan UU Pilpres tidak bisa PK
MK nyatakan UU Pilpres tidak bisa PK
A A A
Sindonews.com - Majelis Hakim Konstitusi berpendapat tidak ada ketentuan yang dijadikan dasar dalam permohonan peninjauan kembali (PK) putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 mengenai pengujian materi Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). Maka itu, Mahkamah menyatakan permohonan PK Habiburokhman itu tidak bisa diajukan.

"Di mana saudara lihat dasar hukum MK bisa PK? Di pasal berapa?" tanya Hakim Konstitusi Muhammad Alim kepada Habiburokhman, saat sidang perdana permohonan PK putusan pengujian UU Pilpres di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (25/2/2014).

Lebih lanjut, Muhammad Alim menjelaskan majelis PK harus berbeda dengan majelis yang memutuskan sebelumnya. "Untuk saudara tahu di MA untuk PK majelisnya harus lain, tidak boleh sama," katanya.

Dirinya menambahkan, bahwa ada delapan hakim konstitusi yang memutus pengujian UU Pilpres tersebut. "Lalu siapa yang akan memutus PK?" tanya Alim lagi.

Seperti diketahui sebelumnya, Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra bidang Advokasi Habiburokhman, menjelaskan MK berwenang untuk melakukan PK atas putusannya sendiri.

Hal demikian, kata dia, tertuang di Pasal 24 c Ayat (1) UUD 1945. Pada pasal itu menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang pemilihan umum.

Lebih lanjut, dia mengatakan, frasa "pada tingkat pertama dan terakhir" dapatlah juga diartikan bahwa MK berwenang menguji UU terhadap UUD "pada tingkat pertama" dan juga "pada tingkat terakhir" atau yang biasa disebut tingkat "Peninjauan Kembali".

"Secara umum Peninjauan Kembali adalah suatu upaya hukum terahir yang diberikan kepada para pencari keadilan," tutur Habiburokhman di Whiz Hotel, Jalan Cikini Raya Nomor 6, Jakarta Pusat, hari ini.

Di Mahkamah Agung, kata dia, alasan untuk dilakukannya PK terhadap putusan MA antara lain adalah bila adanya bukti baru (Novum) dan juga terdapat kekeliruan ataupun kekhilafan hakim.

"Walaupun kita ketahui bahwa menjadi hakim konstitusi harus melalui suatu proses seleksi yang cukup ketat seperti yang disebutkan dalam pasal 15 UU Nomor 24 Tahun 2003 bahwa syarat untuk menjadi seorang hakim konstitusi adalah memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil serta negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan," ungkapnya.

Dia menambahkan, perlu digarisbawahi syarat tersebut tidak dituliskan bahwa hakim konstitusi 'tidak memiliki cela'. "Artinya bahwa hakim kosntitusi adalah manusia biasa sama halnya dengan hakim agung," ucapnya.

Oleh karena itu, lanjut dia, pengajuan peninjauan kembali (PK) atas putusan MK yang dimohonkannya itu adalah suatu hal yang wajar sepanjang dilakukan dengan alasan yang jelas, yang mengedepankan pemenuhan rasa keadilan konstitusional masyarakat.

Seperti diketahui, pada 24 Januari 2014, pihaknya mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) ke MK atas putusan pengujian UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) terkait penundaan pelaksanaan pemilu serentak pada pemilu 2019.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6091 seconds (0.1#10.140)