Program parpol
A
A
A
PESTA demokrasi akbar negeri ini sudah di pelupuk mata. Hanya dalam 44 hari atau 1,5 bulan lagi Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 akan digelar, tepatnya tanggal 9 April 2014.
Tiga bulan setelah itu pada 9 Juli 2014 akan dilanjutkan dengan gelaran pemilu presiden dan wakil presiden. Rakyat Indonesia akan menentukan siapa yang akan menjadi pemimpinnya lima tahun ke depan.
Tentu segenap warga bangsa yang besar ini berharap Indonesia akan lebih baik dibandingkan masa-masa sebelumnya, terutama jika dibandingkan dengan periode kepemimpinan terdekat, yaitu dua periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat sebagai ruling party.
Pilihan partai politik (parpol) dan capres serta cawapres pada pemilu nanti merupakan titipan harapan segenap rakyat kepada pemimpinnya. Sekalipun segenap bangsa ini berharap Indonesia akan lebih baik, sudah barang tentu tiap individu memiliki keinginan yang berbeda-beda dan cenderung unik satu sama lain.
Tak akan ada satu orang pun yang punya keinginan yang persis sama. Dengan berbagai harapan yang ada, pilihan saat pemilu nanti seharusnya sesuai dengan harapan yang diimpikan tiap individu warga negara Indonesia.
Lalu bagaimana agar harapan yang berbeda-beda tersebut bisa tercapai? Sudah barang tentu caranya dengan mencari parpol yang memiliki irisan targetnya yang paling besar dengan individu pemilih.
Parpol tersebut harus berbagi mimpi yang sama dengan mimpi kita. Namun tentu dalam demokrasi tidak semua mimpi kita bisa terwujud. Mimpi dan harapan para pemenang tentu akan diutamakan dengan catatan tanpa menginjak hak minoritas. Inilah menariknya demokrasi.
Tujuan utamanya adalah harapan mayoritas yang akan dicapai terlebih dahulu yang dicerminkan pada wakil-wakil rakyat yang diutus ke lembaga legislatif dan eksekutif. Namun bisakah kita menggantungkan harapan kepada parpol yang hanya bermimpi saja, tetapi tidak memiliki rencana yang jelas untuk mencapai mimpinya? Sudah barang tentu tidak.
Bermimpi tanpa punya rencana yang jelas hanyalah pekerjaan para pecundang. Akan lebih mengerikan jika kita menggantungkan harapan kepada parpol yang bahkan mimpinya saja tidak jelas.
Misalnya kepada partai yang hanya mengatakan bermimpi Indonesia lebih sejahtera, rakyatnya lebih makmur, dan berbagai mimpi yang tidak konkret lainnya. Atau misalnya Indonesia lebih aman, pemimpin bisa dipercaya atau mungkin menghapus korupsi.
Parpol yang hanya punya mimpi tetapi tak punya konsep tak akan membawa bangsa ini ke mana-mana. Harusnya parpol yang benar berani berbicara pada level bagaimana kesejahteraan yang diharapkan.
Karena indikator kesejahteraan sudah banyak tersedia, misalnya dengan patokan pendapatan per kapita, produk domestik bruto atau jika lebih maju lagi dengan indeks kebahagiaan. Atau misalnya konsep bebas dari korupsi, maka parpol harus punya target-target yang jelas atau bahkan berani menyatakan janji politiknya dalam memperlakukan koruptor. Karena semua orang tentu bisa berteriak ”tidak” pada korupsi, tetapi tetap saja bisa jadi koruptor.
Namun sayangnya dari 12 parpol yang bertarung pada Pemilu 2014 tak banyak yang memiliki program yang jelas. Hampir semuanya berkutat dengan konsep-konsep normatif yang hanya jadi jargon. Mimpi dan harapan yang disampaikan kepada calon pemilihnya hanyalah harapan kabur yang bisa dengan mudah dipinggirkan ketika berkuasa nanti karena tanpa indikator yang jelas.
Saat parpol menuntut rakyat agar lebih cerdas dalam memilih, parpol juga harus lebih cerdas dalam merumuskan target-target dan konsepnya. Parpol harus punya program yang jelas mengenai Indonesia dan rakyatnya dilengkapi dengan berbagai indikator pendukungnya (blue print). Jangan hanya jualan harapan semu yang bahkan para pimpinan parpol sendiri sebenarnya belum jelas benar bagaimana jalan mencapai harapannya jika berkuasa nanti.
Kita harus lebih kritis memilah janji-janji kampanye parpol. Jangan pilih yang baru pada tataran janji saja sudah tak jelas. Namun kalaupun tak ada yang 100% cocok dengan mimpi kita, setidaknya pilihlah yang paling mendekati karena menjadi golongan putih (golput) tidak membawa perubahan apa-apa.
Tiga bulan setelah itu pada 9 Juli 2014 akan dilanjutkan dengan gelaran pemilu presiden dan wakil presiden. Rakyat Indonesia akan menentukan siapa yang akan menjadi pemimpinnya lima tahun ke depan.
Tentu segenap warga bangsa yang besar ini berharap Indonesia akan lebih baik dibandingkan masa-masa sebelumnya, terutama jika dibandingkan dengan periode kepemimpinan terdekat, yaitu dua periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat sebagai ruling party.
Pilihan partai politik (parpol) dan capres serta cawapres pada pemilu nanti merupakan titipan harapan segenap rakyat kepada pemimpinnya. Sekalipun segenap bangsa ini berharap Indonesia akan lebih baik, sudah barang tentu tiap individu memiliki keinginan yang berbeda-beda dan cenderung unik satu sama lain.
Tak akan ada satu orang pun yang punya keinginan yang persis sama. Dengan berbagai harapan yang ada, pilihan saat pemilu nanti seharusnya sesuai dengan harapan yang diimpikan tiap individu warga negara Indonesia.
Lalu bagaimana agar harapan yang berbeda-beda tersebut bisa tercapai? Sudah barang tentu caranya dengan mencari parpol yang memiliki irisan targetnya yang paling besar dengan individu pemilih.
Parpol tersebut harus berbagi mimpi yang sama dengan mimpi kita. Namun tentu dalam demokrasi tidak semua mimpi kita bisa terwujud. Mimpi dan harapan para pemenang tentu akan diutamakan dengan catatan tanpa menginjak hak minoritas. Inilah menariknya demokrasi.
Tujuan utamanya adalah harapan mayoritas yang akan dicapai terlebih dahulu yang dicerminkan pada wakil-wakil rakyat yang diutus ke lembaga legislatif dan eksekutif. Namun bisakah kita menggantungkan harapan kepada parpol yang hanya bermimpi saja, tetapi tidak memiliki rencana yang jelas untuk mencapai mimpinya? Sudah barang tentu tidak.
Bermimpi tanpa punya rencana yang jelas hanyalah pekerjaan para pecundang. Akan lebih mengerikan jika kita menggantungkan harapan kepada parpol yang bahkan mimpinya saja tidak jelas.
Misalnya kepada partai yang hanya mengatakan bermimpi Indonesia lebih sejahtera, rakyatnya lebih makmur, dan berbagai mimpi yang tidak konkret lainnya. Atau misalnya Indonesia lebih aman, pemimpin bisa dipercaya atau mungkin menghapus korupsi.
Parpol yang hanya punya mimpi tetapi tak punya konsep tak akan membawa bangsa ini ke mana-mana. Harusnya parpol yang benar berani berbicara pada level bagaimana kesejahteraan yang diharapkan.
Karena indikator kesejahteraan sudah banyak tersedia, misalnya dengan patokan pendapatan per kapita, produk domestik bruto atau jika lebih maju lagi dengan indeks kebahagiaan. Atau misalnya konsep bebas dari korupsi, maka parpol harus punya target-target yang jelas atau bahkan berani menyatakan janji politiknya dalam memperlakukan koruptor. Karena semua orang tentu bisa berteriak ”tidak” pada korupsi, tetapi tetap saja bisa jadi koruptor.
Namun sayangnya dari 12 parpol yang bertarung pada Pemilu 2014 tak banyak yang memiliki program yang jelas. Hampir semuanya berkutat dengan konsep-konsep normatif yang hanya jadi jargon. Mimpi dan harapan yang disampaikan kepada calon pemilihnya hanyalah harapan kabur yang bisa dengan mudah dipinggirkan ketika berkuasa nanti karena tanpa indikator yang jelas.
Saat parpol menuntut rakyat agar lebih cerdas dalam memilih, parpol juga harus lebih cerdas dalam merumuskan target-target dan konsepnya. Parpol harus punya program yang jelas mengenai Indonesia dan rakyatnya dilengkapi dengan berbagai indikator pendukungnya (blue print). Jangan hanya jualan harapan semu yang bahkan para pimpinan parpol sendiri sebenarnya belum jelas benar bagaimana jalan mencapai harapannya jika berkuasa nanti.
Kita harus lebih kritis memilah janji-janji kampanye parpol. Jangan pilih yang baru pada tataran janji saja sudah tak jelas. Namun kalaupun tak ada yang 100% cocok dengan mimpi kita, setidaknya pilihlah yang paling mendekati karena menjadi golongan putih (golput) tidak membawa perubahan apa-apa.
(nfl)