Melepas cengkeraman pasar global dari Pemilu 2014
A
A
A
SETIAP lima tahun, penyelenggaraan pemilu di Indonesia selalu mengundang diskusi yang ramai. Berbeda dengan pemilu pada jaman Orde Baru yang nampak dikemas rapi dan kurang berisik, di Era Reformasi pemilu menjadi magnet siapapun untuk membicarakannya.
Sesungguhnya ketika pemilu menjadi perbincangan khalayak, makna demokrasi telah mulai diwujudkan. Demokrasi yang menjunjung tinggi partisipasi warga tentu menghendaki kenyataan seperti itu. Dan percis disitulah Orde Reformasi menunjukkan perbedaannya dengan Orde baru.
Dalam konteks demokrasi partisipatoris itu, pemilu harus dilihat sebagai salah satu momentum pelibatan warga dalam bernegara. Oleh karenanya dalam konsep negara hukum-demokratis, keikutsertaan orang dalam memberikan suara pada saat pemilu harus didorong oleh motivasinya untuk berpartisipasi, bukan paksaan atau dorongan pihak lain.
Pertimbangan di atas menuntut negara untuk menyediakan informasi kepada warga agar termotivasi memilih dalam pemilu. Dengan kata lain, pendidikan politik merupakan sesuatu yang mutlak dikerjakan demi mendorong partisipasi tersebut.
Tugas tersebut yang nampak gagal dilakukan oleh negara kita saat ini. Informasi-informasi yang harus diketahui publik secara sengaja ditutup-tutupi. Akibatnya publik dibuat tak bergairah. Dalam konteks pelaksanaan Pemilu 2014 ini, informasi mengenai profil para caleg dan rekam jejak mereka dengan sengaja ditutup-tutupi.
Pada saat yang sama, para caleg dan parpol bergerilya keluar masuk kampung untuk meminta dukungan warga. Kampanye para caleg itu cenderung merupakan pepesan kosong.
Demokrasi memang mengalami tantangan serius dewasa ini ketika dunia diserbu pasar global yang tak menghargai partisipasi warga dalam prosesnya. Pasar hanya bicara persaingan dan keuntungan serta modal. Dan kekuasaan pasar itu merasuk jauh serta merusak upaya negara membangun sistem demokrasi yang menempatkan rakyat pada jantung kedaulatan.
Korban utama pasar global saat ini adalah elite bangsa Indonesia. Alih-alih melakukan perlawanan melalui penguatan sistem demokrasi, elite nasional malah nyaman bermain dengan menggunakan sistem tersebut. Lihat saja para caleg yang diusung partai politik. Mayoritas dari mereka adalah orang-orang yang berkapital banyak. Modal menjadi syarat utama seorang caleg saat direkrut Parpol. Parpol memanfaatkan modal untuk meraih kekuasaan.
Jika elite politik dan pemerintahan tergerus total oleh sistem kapitalisme modern, masyarakat warga sebenarnya masih punya ruang reflektif. Kerinduan akan perubahan nampak begitu kuat ketika pemimpin memperlihatkan kemauannya untuk berubah. Ruang diskusi yang leluasa pada komunitas warga sudah kerap meneriakkan keinginan akan perubahan itu.
Pemilu 2014 awalnya diharapkan menjadi momentum untuk memulai perubahan tersebut. Demokrasi harus dikembalikan pada warga sebagai pemegang kedaulatan. Dan pasar global tak boleh mengeruk habis potensi warga untuk membangun bangsa yang lebih beradab.
Akan tetapi pasar global rupanya masih lebih dahsyat dalam melangkah. Sejak awal semua komponen yang diharapkan menjadi aktor kunci melawan pengaruh pasar sudah “masuk jebakan”. Legislator, eksekutif, partai politik, semuanya memilih untuk tunduk pada pasar global. Partisipasi pun hanya bersifat seolah-olah, karena faktanya warga dimobilisasi oleh kapital saat mengikuti pemilu.
Lucius Karus
Peneliti Senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi)
Sesungguhnya ketika pemilu menjadi perbincangan khalayak, makna demokrasi telah mulai diwujudkan. Demokrasi yang menjunjung tinggi partisipasi warga tentu menghendaki kenyataan seperti itu. Dan percis disitulah Orde Reformasi menunjukkan perbedaannya dengan Orde baru.
Dalam konteks demokrasi partisipatoris itu, pemilu harus dilihat sebagai salah satu momentum pelibatan warga dalam bernegara. Oleh karenanya dalam konsep negara hukum-demokratis, keikutsertaan orang dalam memberikan suara pada saat pemilu harus didorong oleh motivasinya untuk berpartisipasi, bukan paksaan atau dorongan pihak lain.
Pertimbangan di atas menuntut negara untuk menyediakan informasi kepada warga agar termotivasi memilih dalam pemilu. Dengan kata lain, pendidikan politik merupakan sesuatu yang mutlak dikerjakan demi mendorong partisipasi tersebut.
Tugas tersebut yang nampak gagal dilakukan oleh negara kita saat ini. Informasi-informasi yang harus diketahui publik secara sengaja ditutup-tutupi. Akibatnya publik dibuat tak bergairah. Dalam konteks pelaksanaan Pemilu 2014 ini, informasi mengenai profil para caleg dan rekam jejak mereka dengan sengaja ditutup-tutupi.
Pada saat yang sama, para caleg dan parpol bergerilya keluar masuk kampung untuk meminta dukungan warga. Kampanye para caleg itu cenderung merupakan pepesan kosong.
Demokrasi memang mengalami tantangan serius dewasa ini ketika dunia diserbu pasar global yang tak menghargai partisipasi warga dalam prosesnya. Pasar hanya bicara persaingan dan keuntungan serta modal. Dan kekuasaan pasar itu merasuk jauh serta merusak upaya negara membangun sistem demokrasi yang menempatkan rakyat pada jantung kedaulatan.
Korban utama pasar global saat ini adalah elite bangsa Indonesia. Alih-alih melakukan perlawanan melalui penguatan sistem demokrasi, elite nasional malah nyaman bermain dengan menggunakan sistem tersebut. Lihat saja para caleg yang diusung partai politik. Mayoritas dari mereka adalah orang-orang yang berkapital banyak. Modal menjadi syarat utama seorang caleg saat direkrut Parpol. Parpol memanfaatkan modal untuk meraih kekuasaan.
Jika elite politik dan pemerintahan tergerus total oleh sistem kapitalisme modern, masyarakat warga sebenarnya masih punya ruang reflektif. Kerinduan akan perubahan nampak begitu kuat ketika pemimpin memperlihatkan kemauannya untuk berubah. Ruang diskusi yang leluasa pada komunitas warga sudah kerap meneriakkan keinginan akan perubahan itu.
Pemilu 2014 awalnya diharapkan menjadi momentum untuk memulai perubahan tersebut. Demokrasi harus dikembalikan pada warga sebagai pemegang kedaulatan. Dan pasar global tak boleh mengeruk habis potensi warga untuk membangun bangsa yang lebih beradab.
Akan tetapi pasar global rupanya masih lebih dahsyat dalam melangkah. Sejak awal semua komponen yang diharapkan menjadi aktor kunci melawan pengaruh pasar sudah “masuk jebakan”. Legislator, eksekutif, partai politik, semuanya memilih untuk tunduk pada pasar global. Partisipasi pun hanya bersifat seolah-olah, karena faktanya warga dimobilisasi oleh kapital saat mengikuti pemilu.
Lucius Karus
Peneliti Senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi)
(kri)