Belajar mengelola negara kecil bernama partai politik
A
A
A
KRISIS dengan magnitude besar yang dialami oleh partai politik mencuat sejak satu sampai dua tahun terakhir. Hampir semua partai-partai politik peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2014, baik partai lama maupun partai baru mengalami krisis yang mengakibatkan guncangan organisasi partai, penilaian negatif dari publik hingga lunturnya kepercayaan publik (distrust).
Distrust terhadap partai politik, memicu terjadinya krisis yang berdampak terhadap proses politik jelang Pemilu 2014. Krisis merupakan suatu kondisi dimana partai mengalami suatu permasalahan yang disebabkan oleh berbagai faktor yakni kader terseret dan bahkan terjerat kasus korupsi, pelanggaran etika dan konflik internal yang kemudian menimbulkan pemberitaan negatif suatu partai politik.
Krisis partai politik dapat digolongkan sebagai krisis komunikasi atau krisis public relations. Powell (2005) menyatakan bahwa krisis adalah kejadian yang tidak diharapkan, berdampak dramatis, kadang belum pernah sebelumnya yang mendorong organisasi kepada suatu kekacauan (chaos) dan dapat menghancurkan organisasi tersebut tanpa adanya tindakan nyata.
Sejalan dengan itu, partai-partai politik peserta pemilu 2014 mengalami krisis partai politik mereka. Berdasarkan Survey Political Communication Institute (PolcoMM Institute) yang dilaksanakan 20 Januari 2014 sampai 3 Februari 2014, Partai Demokrat merupakan partai yang paling banyak diberitakan mengenai krisis sebanyak 34,2 persen. Hal itu dikarenakan kasus korupsi yang melilit kader-kader partai berlambang bintang mercy tersebut.
Partai Golkar juga mengalami hal yang sama sebanyak 24,3 persen pemberitaan di media massa nasional yakni kasus korupsi dan melebar ke persoalan politik dinasti. Kemudian PKS dengan 20,3 persen juga banyaknya pemberitaan kasus korupsi dan selanjutnya PDIP sebesar 9,2 persen juga kasus korupsi yang menerpa kadernya. Nasdem sebagai partai baru juga diberitakan sebesar 5,0 persen dikarenakan adanya konflik internal.
Reaksi dan strategi parpol dalam menghadapi krisis
Dalam menyikapi krisis yang dialami, masing-masing partai politik memiliki cara-cara yang berbeda baik dalam memberikan reaksi maupun dalam strategi penanganan krisis.
Partai Hanura dan Partai Nasdem merupakan partai politik yang bersikap Proaktif yakni mampu mengambil langkah tepat ketika terjadi krisis. Kedua partai ini menggunakan strategi masing-masing dalam menangani krisis. Partai Hanura sangat kuat mengandalkan ketokohan Wiranto dalam mengatasi krisis. Selain itu, Partai Hanura mampu bersikap tegas dengan langsung dan cepat menonaktifkan kader yang terseret kasus korupsi.
Kemudian partai politik yang adaptif yakni cenderung melihat situasi ketika terjadi krisis yakni Partai Golkar dan PDI Perjuangan (PDIP). Partai Golkar mengandalkan manajemen isu dalam menghadapi krisis yakni melakukan counter isu dengan melakukan pembelaan terhadap kadernya yang terseret kasus korupsi.
Golkar tidak cepat bereaksi, namun menunggu situasi atau perkembangan kasus yang menimpa kadernya. Namun sebagai partai besar dan berpengalaman, Golkar mampu melakukan konsolidasi elite, yang komunikator politiknya mampu menyampaikan pesan yang sama atau seragam dalam fase krisis yang dialami.
Demikian juga dengan strategi PDIP dalam pengelolaan isu yang hampir sama dengan Golkar dalam melakukan counter isu krisis. PDIP juga melakukan wacana pembelaan terhadap kadernya dan komunikator politiknya mampu membangun pesan yang sama atau seragam dalam menghadapi krisis.
Selain itu faktor yang paling dominan di PDIP adalah ketokohan Megawati Soekarno Putri dalam mengatasi krisis. Megawati sebagai ketua umum, merupakan panutan dan orang yang paling menentukan langkah politik yang diambil PDIP dalam menyelesaikan krisis.
Kemudian partai politik yang bersikap reaktif yakni partai politik yang mengambil langkah tidak tepat ketika terjadi krisis adalah Partai Demokrat dan PKS. Partai Demokrat melakukan hal-hal tidak terkontrol dalam pengelolaan isu dan juga elite partai (komunikator politik) dalam mengemas pesan ketika melakukan counter isu berbeda-beda atau tidak seragam antar elite yang satu dengan yang lain.
Sehingga krisis yang dialami semakin meruncing dan menjadi polemik baru di tengah-tengah masyarakat. Sebenarnya Partai Demokrat memiliki tokoh menonjol yakni SBY, namun dalam pengelolaan krisis, ternyata Partai Demokrat tidak mampu memainkan peran ketokohan tersebut.
Sementara itu PKS dalam menghadapi krisis khususnya dalam kasus korupsi yang menimpa mantan Presiden LHI melakukan counter isu dengan membangun discourse melalui elitnya dengan menyatakan bahwa PKS merupakan “korban politik” dan “dizalimi” dalam kasus tersebut. Ada upaya melakukan pembelaan oleh PKS di awal-awal kasus ini mencuat namun, seiring dengan waktu PKS melakukan konsolidasi internal.
Namun konsolidasi internal tersebut sangat bergantung pada mekanisme partai. PKS termasuk partai yang tidak cepat atau lambat dalam mengambil keputusan ketika krisis, sehingga menyebabkan isu krisis yang terjadi menjadi polemik berkepanjangan.
Jika kita cermati dari berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya krisis partai politik dan bagaimana strategi penanganan krisis yang dilakukan oleh partai politik, terlihat bahwa masing-masing partai memiliki cara tersendiri.
Ada hal yang penting perlu dicermati, bahwa pengelolaan krisis di dalam partai politik merupakan cerminan bagaimana partai politik tersebut mengelola partai, nah ini tentu merupakan potret kemampuan partai politik dalam mengelola Negara kecil bernama partai politik.
Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana mau mengelola Negara yang multi kompleks dan dengan beragam persoalan jika mengelola krisis partai politiknya sendiri, mereka tidak mampu?
Dr Heri Budianto,M.Si
Direktur Eksekutif Political Communication Institute (PolcoMM Institute)
Dosen Komunikasi Politik Universitas Mercu Buana
Distrust terhadap partai politik, memicu terjadinya krisis yang berdampak terhadap proses politik jelang Pemilu 2014. Krisis merupakan suatu kondisi dimana partai mengalami suatu permasalahan yang disebabkan oleh berbagai faktor yakni kader terseret dan bahkan terjerat kasus korupsi, pelanggaran etika dan konflik internal yang kemudian menimbulkan pemberitaan negatif suatu partai politik.
Krisis partai politik dapat digolongkan sebagai krisis komunikasi atau krisis public relations. Powell (2005) menyatakan bahwa krisis adalah kejadian yang tidak diharapkan, berdampak dramatis, kadang belum pernah sebelumnya yang mendorong organisasi kepada suatu kekacauan (chaos) dan dapat menghancurkan organisasi tersebut tanpa adanya tindakan nyata.
Sejalan dengan itu, partai-partai politik peserta pemilu 2014 mengalami krisis partai politik mereka. Berdasarkan Survey Political Communication Institute (PolcoMM Institute) yang dilaksanakan 20 Januari 2014 sampai 3 Februari 2014, Partai Demokrat merupakan partai yang paling banyak diberitakan mengenai krisis sebanyak 34,2 persen. Hal itu dikarenakan kasus korupsi yang melilit kader-kader partai berlambang bintang mercy tersebut.
Partai Golkar juga mengalami hal yang sama sebanyak 24,3 persen pemberitaan di media massa nasional yakni kasus korupsi dan melebar ke persoalan politik dinasti. Kemudian PKS dengan 20,3 persen juga banyaknya pemberitaan kasus korupsi dan selanjutnya PDIP sebesar 9,2 persen juga kasus korupsi yang menerpa kadernya. Nasdem sebagai partai baru juga diberitakan sebesar 5,0 persen dikarenakan adanya konflik internal.
Reaksi dan strategi parpol dalam menghadapi krisis
Dalam menyikapi krisis yang dialami, masing-masing partai politik memiliki cara-cara yang berbeda baik dalam memberikan reaksi maupun dalam strategi penanganan krisis.
Partai Hanura dan Partai Nasdem merupakan partai politik yang bersikap Proaktif yakni mampu mengambil langkah tepat ketika terjadi krisis. Kedua partai ini menggunakan strategi masing-masing dalam menangani krisis. Partai Hanura sangat kuat mengandalkan ketokohan Wiranto dalam mengatasi krisis. Selain itu, Partai Hanura mampu bersikap tegas dengan langsung dan cepat menonaktifkan kader yang terseret kasus korupsi.
Kemudian partai politik yang adaptif yakni cenderung melihat situasi ketika terjadi krisis yakni Partai Golkar dan PDI Perjuangan (PDIP). Partai Golkar mengandalkan manajemen isu dalam menghadapi krisis yakni melakukan counter isu dengan melakukan pembelaan terhadap kadernya yang terseret kasus korupsi.
Golkar tidak cepat bereaksi, namun menunggu situasi atau perkembangan kasus yang menimpa kadernya. Namun sebagai partai besar dan berpengalaman, Golkar mampu melakukan konsolidasi elite, yang komunikator politiknya mampu menyampaikan pesan yang sama atau seragam dalam fase krisis yang dialami.
Demikian juga dengan strategi PDIP dalam pengelolaan isu yang hampir sama dengan Golkar dalam melakukan counter isu krisis. PDIP juga melakukan wacana pembelaan terhadap kadernya dan komunikator politiknya mampu membangun pesan yang sama atau seragam dalam menghadapi krisis.
Selain itu faktor yang paling dominan di PDIP adalah ketokohan Megawati Soekarno Putri dalam mengatasi krisis. Megawati sebagai ketua umum, merupakan panutan dan orang yang paling menentukan langkah politik yang diambil PDIP dalam menyelesaikan krisis.
Kemudian partai politik yang bersikap reaktif yakni partai politik yang mengambil langkah tidak tepat ketika terjadi krisis adalah Partai Demokrat dan PKS. Partai Demokrat melakukan hal-hal tidak terkontrol dalam pengelolaan isu dan juga elite partai (komunikator politik) dalam mengemas pesan ketika melakukan counter isu berbeda-beda atau tidak seragam antar elite yang satu dengan yang lain.
Sehingga krisis yang dialami semakin meruncing dan menjadi polemik baru di tengah-tengah masyarakat. Sebenarnya Partai Demokrat memiliki tokoh menonjol yakni SBY, namun dalam pengelolaan krisis, ternyata Partai Demokrat tidak mampu memainkan peran ketokohan tersebut.
Sementara itu PKS dalam menghadapi krisis khususnya dalam kasus korupsi yang menimpa mantan Presiden LHI melakukan counter isu dengan membangun discourse melalui elitnya dengan menyatakan bahwa PKS merupakan “korban politik” dan “dizalimi” dalam kasus tersebut. Ada upaya melakukan pembelaan oleh PKS di awal-awal kasus ini mencuat namun, seiring dengan waktu PKS melakukan konsolidasi internal.
Namun konsolidasi internal tersebut sangat bergantung pada mekanisme partai. PKS termasuk partai yang tidak cepat atau lambat dalam mengambil keputusan ketika krisis, sehingga menyebabkan isu krisis yang terjadi menjadi polemik berkepanjangan.
Jika kita cermati dari berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya krisis partai politik dan bagaimana strategi penanganan krisis yang dilakukan oleh partai politik, terlihat bahwa masing-masing partai memiliki cara tersendiri.
Ada hal yang penting perlu dicermati, bahwa pengelolaan krisis di dalam partai politik merupakan cerminan bagaimana partai politik tersebut mengelola partai, nah ini tentu merupakan potret kemampuan partai politik dalam mengelola Negara kecil bernama partai politik.
Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana mau mengelola Negara yang multi kompleks dan dengan beragam persoalan jika mengelola krisis partai politiknya sendiri, mereka tidak mampu?
Dr Heri Budianto,M.Si
Direktur Eksekutif Political Communication Institute (PolcoMM Institute)
Dosen Komunikasi Politik Universitas Mercu Buana
(hyk)