Salah kaprah

Minggu, 09 Februari 2014 - 07:52 WIB
Salah kaprah
Salah kaprah
A A A
DI musim banjir seperti ini semua orang mengeluh, marah-marah, menderita, minta bantuan pemerintah, berdoa supaya banjir cepat pergi, kalau banjir tidak pergi-pergi juga, Gubernurlah yang dimarahi (bukan Tuhan) dan dikatakan Gubernur gagal memenuhi janji-janji kampanyenya (karena Tuhan tidak pernah ingkar janji).

Pokoknya banjir dianggap bencana, dianggap musuh, dan semua yang dianggap terkait dengan banjir dianggap sebagai musuh juga. Padahal, lihatlah Singapura yang terpaksa mengimpor air dari Johor Baru, Malaysia, dan Provinsi Riau, Indonesia. Lihatlah Arab Saudi. Mereka yang sudah pernah umrah atau haji bisa merasakan betapa sulit dan mahalnya air di sana. Hanya Mekkah yang beruntung karena mendapat karunia Allah berupa sumur zamzam.

Maka, bagaimana mungkin kita yang mendapat rahmat Allah berupa air yang melimpah ruah malah memusuhi air itu? Padahal sudah sejak berabadabad bangsa Indonesia mahir mengelola air. Sistem irigasi persawahan telah membuat lahanlahan persawahan sepanjang pantura Pulau Jawa dan lahanlahan subur di Sulawesi Selatan menjadi lumbung-lumbung padi untuk memasok beras kepada penduduk se-Indonesia. Begitu juga sistem subak di Bali. Tapi bagaimana sekarang?

Dengan cepat sawah berubah jadi pabrik atau permukiman. Kepemilikan lahan sawah per kapita petani merosot drastis sehingga petani tidak bisa lagi hidup dari bertanam padi. Begitu juga produksi beras jadinya merosot terus, padahal jumlah penduduk Indonesia meningkat terus.

Bukan itu saja, masyarakat yang dulunya sudah terbiasa makan yang bukan nasi, seperti jagung (Madura, NTT) atau sagu (Papua), malah diajari makan nasi. Maka kebutuhan akan beras makin besar sehingga harus impor. Hasil hutan sagu Papua terbuang sia-sia karena orang Papua tidak lagi makan papeda (sagu).

Padahal luas hutan sagu Papua hampir 50% luas hutan sagu dunia. Istilah bencana bolehlah diberikan kepada daerah-daerah yang miskin sumber air, yang bisa setahun penuh tidak mendapat hujan. Atau letusan gunung api seperti Sinabung. Namun manusia bisa kok membangun Las Vegas, kota rekreasi terbesar dan termewah sedunia, di atas padang pasir dan sarang ular rattle yang sangat berbisa. Orang Jepang membangun pencakar-pencakar langitnya dengan sistem antigempa.

Bahkan di Jakarta pun kita punya Taman Rekreasi Bina Ria Ancol yang didirikan di atas tempat yang dulu adalah tempat jin buang anak (karena itu ada sinetronnya yang berjudul Si Manis dari Jembatan Ancol). Jadi, kalau kita berpikir secara benar kita akan mampu menjelaskan sesuatu secara benar dan bertindak secara benar juga. Orang yang berpikir secara benar tahu persis bahwa air akan mencari jalan sendiri ke mana pun dia pergi. Tidak peduli perkampungan atau Istana Presiden.

Dia tahu kalau tinggi air di Bendungan Katulampa sudah mencapai sekian ratus sentimeter, berarti itu sudah siaga I dan penduduk Jakarta bersiaplah untuk mengungsi, pasukan SAR silakan siap dengan perahu-perahu evakuasi.

Tapi kalau kecerdasan itu ditambah dengan kecerdikan, orang akan bisa mencarikan jalan air sedemikian rupa sehingga air itu tidak mengganggu manusia, malah bisa dimanfaatkan oleh manusia. Renovasi waduk-waduk, membangun taman-taman dan hutan-hutan kota sebagai daerah resapan air, serta mengatur pemakaian air tanah adalah beberapa langkah cerdik manusia untuk berdamai dan menguasai air.

Tapi memang salah satu kelemahan orang Indonesia adalah sulit untuk diajak berpikir yang benar. Kita ini kebanyakan tidak mau atau malas mengecek benar atau salah pengetahuannya. Misalnya, ketika banyak pengendara sepeda motor menyerobot jalan yang melawan arus, pengendara-pengendara motor yang lain mengira bahwa berkendara melawan arus tidak apa-apa, tidak salah, walaupun jalan semakin macet.

Padahal ia tahu bahwa melawan arus adalah salah. Ini yang dalam bahasa Jawa disebut salah kaprah, sing bener ora lumrah (yang salah dianggap benar, yang benar dianggap tidak wajar). Berpikir salah kaprah ini banyak sekali di Indonesia.

Terutama di kalangan para pemimpinnya. Kalau kita bisa berpikir benar saja (tidak perlu jenius), kita tidak bisa marah pada banjir, apalagi kepada Gubernur yang sebenarnya sama sekali bukan penyebab banjir. Banjir sudah ada sejak zaman sebelum kakek-nenek kita lahir, maka bertemanlah dengan banjir itu, jangan memusuhinya.

Orang Belanda, yang negaranya dua meter di bawah permukaan laut, tidak pernah kebanjiran karena mereka mampu mengelola laut dengan membuat damdam yang sangat kokoh untuk membendung gelombang badai laut.

Kalau kita bisa berpikir benar, kita akan mendorong pemakan sagu untuk kembali ke makan sagu, pemakan jagung kembali ke jagung dan meninggalkan beras. Bahkan kita akan mendorong pemakan nasi (termasuk kita-kita ini sendiri) untuk makan yang bukan nasi seperti singkong, mi, kentang, jagung dan (ini yang penting) tetap tidak merasa kelaparan.

Kalau kita bisa berpikir benar, kita akan mendorong penghentian pembangunan pabrik-pabrik yang memakan banyak lahan pertanian dan kita ganti sumber pendapatan masyarakat dengan jasa pariwisata dan budaya (yang memang merupakan modal kita) ketimbang menggenjot industri yang banyak tergantung pada impor.

Kita lebih berinvestasikelautketimbangdi darat. Universitas-universitas tidak perlu berlomba dalam bidang sains dan teknologi (yang sudah jauh lebih maju di Barat) untuk masuk 100 besar perguruan tinggi dunia, tetapi justru berlomba di bidang seni dan budaya (karawitan, tari, tulisan lontar, tradisi, dll), sebab di situlah justru kekuatan Indonesia.

Orang asing belajar seni dan budaya di universitas-universitas besar di Indonesia, sementara mahasiswa Indonesia sendiri sangat kurang minatnya terhadap ilmuilmu seperti itu. Kesimpulannya, berpikir salah kaprah itulah yang telah menjadikan pembangunan Indonesia salah arah.

SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0746 seconds (0.1#10.140)