Demokrat, partai semusim
A
A
A
DEMOKRAT adalah partai semusim. Laksana kembang di taman, Demokrat tumbuh mekar, berbunga, dan setelah madunya dihisap habis oleh para politisi oportunis-korup, ia layu dan mengering untuk kemudian mati.
Demokrat perlahan tengah menapaki jalan menuju partai marginal, berubah dari the ruling party menjadi the minority party. Demokrat didirikan di tengah euforia demokrasi dan gempita publik dalam menyambut keruntuhan rezim otoritarian Orde Baru.
Euforia demokrasi mendorong ledakan partisipasi politik yang menjelma dalam wujud sistem multipartai, melahirkan Demokrat yang menjadi kendaraan politik SBY untuk meraih puncak kekuasaan: menjadi presiden.
Kepemimpinan partai
Paling kurang ada empat hal yang menjadi pertanda mengapa Demokrat disebut partai semusim. Pertama, karakter kepemimpinan partai memang berjangka pendek. Demokrat tidak didesain menjadi partai modern untuk dapat berperan dalam praktik demokrasi berjangka panjang di era Indonesia pasca-Orde Baru. Karakter kepemimpinan partai bersifat leader-centric political organization, yang didominasi oleh lingkaran elite yang menggenggam kekuasaan partai berbasis patronase.
SBY menjadi poros patronase politik sekaligus tokoh utama yang memegang kendali partai. Saksikan, karena yang dibangun bukan sistem organisasi kepartaian modern, melainkan sistem patronase politik tradisional, Demokrat sangat rapuh dan rentan oleh turbulensi politik, baik akibat konflik internal maupun kontestasi eksternal. Karena Demokrat bergantung sepenuhnya kepada sosok SBY sebagai patron tunggal, Demokrat pun memasuki masa senja bersamaan dengan berakhirnya periode pemerintahan SBY.
Untuk ukuran sebuah partai besar dan berkuasa, masa keemasan Demokrat berlangsung sangat singkat, mengikuti masa kekuasaan SBY dalam bilangan satu dekade saja (2004-2014). Sungguh sayang, Demokrat bukan memantapkan proses institusionalisasi partai, melainkan meneguhkan personalisasi figur SBY yang membuatnya tak tergantikan oleh tokoh lain.
Imigran politik
Kedua, imigranpolitik. Demokrat adalah partai yang menjadi tempat penampungan para imigran politik. Imigran politik adalah para politisi yang semula berafiliasi dengan parpol lain. Karena tak mendapat tempat, tak mampu bertahan, atau terlibat konflik dengan rekanpolitisi, mereka lalu mencari partai lain yang bersedia mengakomodasinya.
Para imigran politik ini bisa juga para politisi oportunis-pragmatis, yang tak punya orientasi ideologi politik sehingga dengan mudah berpindah partai demi meraih keuntungan ekonomi-politik jangka pendek.
Demi mendapat jabatan dan memperoleh bagian kekuasaan, para politisi oportunis-pragmatis bermigrasi ke Demokrat yang sedang bertahta, memangku kekuasaan negara. Mereka memperlakukan Demokrat tak lebih dari sekadar rumah singgah dan dengan mudah akan pergi setiap waktu untuk mencari tempat persinggahan baru.
Sifat yang melekat pada diri para imigran politik adalah mereka tak punya ikatan ideologi kepartaian dan tak punya komitmen untuk memiliki, merawat, dan mempertahankan kesinambungan partai dalam jangka panjang.
Korupsi politik
Ketiga, korupsi politik. Hal yang sungguh menakjubkan— dalam pengertian negatif— adalah Demokrat merupakan partai baru, yang elite-elitenya— berusia sangat belia pula— banyak terjerat kasus korupsi berskala gigantik.
Mengingat korupsi politik selalu berkelindan dengan pemangku kekuasaan, jajaran pengurus teras Demokrat dengan mudah menyalahgunakan kekuasaan. Mengikuti mazhab Weberian modernity, korupsi politik didefinisikan: the misuse of public power—of entrusted state power—for private gain.
Inilah yang dipraktikkan dengan sangat sempurna oleh politisi Demokrat. Mereka menggenggam kekuasaan sehingga punya akses ke sumber-sumber keuangan publik. Melalui tangantangan kekuasaan serta para operator politik di parlemen maupun birokrasi pemerintahan yang berada dalam kendali partai, mereka berburu state-financed development projects (baca: proyek APBN) di berbagai sektor: infrastruktur, kelistrikan, pendidikan, kesehatan, dan farmasi.
Maka itu, publik pun terperangah ketika megaskandal Hambalang terbongkar, yang menyeret petinggi-petinggi Demokrat: Muhammad Naza-ruddin, Angelina Sondakh, Andi Mallarangeng, dan Anas Urbaningrum.
Sekjen partai, Edhie Baskoro Yudhoyono, pun sudah disebut oleh Yulianis dalam sidang pengadilan tipikor ikut menerima uang suap. Menurut pengalaman sejarah bangsa-bangsa di berbagai belahan dunia, tidak ada kekuasaan yang bertahan lama dan berkelanjutan bila ditopang oleh politisi korup dan elite-elite despotik.
Kini bangsa Indonesia memberi kesaksian bahwa riwayat Demokrat adalah riwayat partai korup dan despotik yang aktor-aktornya hanya memproduksi hipokrisi politik. Beriklan “Katakan Tidak pada Korupsi!” tapi para bintang iklannya menjadi tersangka kasus korupsi.
Konflik internal
Keempat, konflik internal. Konflik internal Demokrat takbisa dilepaskan dari aneka skandal korupsi yang melibatkan tokohtokoh sentral partai. Namun, konflik memang bermula dari kongres partai pada 2010 di Bandung yang memilih Anas Urbaningrum sebagai ketua umum.
Belakangan diketahui, kemenangan Anas diduga kuat karena transaksi politik uang yang sumbernya ditengarai berasal dari skandal proyek Hambalang. Salahsatu ujian partai berkuasa adalah bagaimana mengelola konflik internal.
Sebagai partai baru yang tiba-tiba menjadi partai besar dan berkuasa, Demokrat belum terlatih mengatasi konflik dan tidak punya formula dalam proses resolusi konflik. Selama berbulan-bulan Demokrat menjadi sasaran kritik dan kecaman publik karena bendahara umum, sekretaris dewan pembina, wakil sekjen, dan ketua umum yang menjadi simbol partai diduga kuat terlibat korupsi dan kemudian menjadi tersangka dan ditahan KPK, bahkan dua orang sudah dipidana.
Sang patron tunggal, SBY, menempuh cara simplistik dengan mencopot orang-orang yang terlibat korupsi—juga para loyalis Anas—dan mewajibkan semua kader Demokrat menandatangani pakta integritas dan diakhiri dengan pengunduran diri Anas setelah resmi dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK.
Melihat pergumulan antarfaksi Demokrat, pengamat/ analis politik mana pun sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa konflik internal sejatinya adalah pertarungan dominasi dan perebutan hegemoni politik antara SBY selaku pendiri dan patron tunggal partai dan Anas—politisi belia nan cerdas dan mendadak muncul sebagai bintang politik baru di pentas nasional.
Dengan memanfaatkan skandal Hambalang yang melilit Anas, SBY mendepak politisi muda bertalenta tinggi ini dari kursi ketua umum. Alasan utama SBY menyingkirkan Anas sesungguhnya bukan semata-mata untuk membersihkan partai dan menghapus citra korup yang melekat pada Demokrat, melainkan lebih karena Anas dianggap sebagai ancaman keberlangsungan dinasti politik Cikeas yang sedang ia bangun untuk mendominasi politik Indonesia masa mendatang.
Kalam akhir
SBY sungguh naif ketika beranggapan bahwa kemerosotan elektabilitas Demokrat disebabkan oleh Anas dkk terlibat korupsi. Setelah Anas dkk tergusur pun perolehan suara Demokrat dalam Pemilu 2014, menurut berbagai lembaga survei, diprediksi akan terjun bebas dari 20,85% menjadi berkisar 5- 7% saja. Ini lantaran Demokrat sudah berstigma partai korup yang bukan hanya melibatkan Anas, melainkan banyak pula elite partai lain yang tersangkut skandal serupa.
Dengan manajemen konflik yang amburadul dan citra partai korup, prediksi bahwa Demokrat akan menjadi partai semusim segera terkonfirmasi dalam waktu dekat: 9 April mendatang.
AMICH ALHUMAMI PhD
Antropologi Lulusan Universitas Sussex, Inggris; Peneliti di Lembaga Studi Pengembangan Etika Usaha (LSPEU) Indonesia, Jakarta
Demokrat perlahan tengah menapaki jalan menuju partai marginal, berubah dari the ruling party menjadi the minority party. Demokrat didirikan di tengah euforia demokrasi dan gempita publik dalam menyambut keruntuhan rezim otoritarian Orde Baru.
Euforia demokrasi mendorong ledakan partisipasi politik yang menjelma dalam wujud sistem multipartai, melahirkan Demokrat yang menjadi kendaraan politik SBY untuk meraih puncak kekuasaan: menjadi presiden.
Kepemimpinan partai
Paling kurang ada empat hal yang menjadi pertanda mengapa Demokrat disebut partai semusim. Pertama, karakter kepemimpinan partai memang berjangka pendek. Demokrat tidak didesain menjadi partai modern untuk dapat berperan dalam praktik demokrasi berjangka panjang di era Indonesia pasca-Orde Baru. Karakter kepemimpinan partai bersifat leader-centric political organization, yang didominasi oleh lingkaran elite yang menggenggam kekuasaan partai berbasis patronase.
SBY menjadi poros patronase politik sekaligus tokoh utama yang memegang kendali partai. Saksikan, karena yang dibangun bukan sistem organisasi kepartaian modern, melainkan sistem patronase politik tradisional, Demokrat sangat rapuh dan rentan oleh turbulensi politik, baik akibat konflik internal maupun kontestasi eksternal. Karena Demokrat bergantung sepenuhnya kepada sosok SBY sebagai patron tunggal, Demokrat pun memasuki masa senja bersamaan dengan berakhirnya periode pemerintahan SBY.
Untuk ukuran sebuah partai besar dan berkuasa, masa keemasan Demokrat berlangsung sangat singkat, mengikuti masa kekuasaan SBY dalam bilangan satu dekade saja (2004-2014). Sungguh sayang, Demokrat bukan memantapkan proses institusionalisasi partai, melainkan meneguhkan personalisasi figur SBY yang membuatnya tak tergantikan oleh tokoh lain.
Imigran politik
Kedua, imigranpolitik. Demokrat adalah partai yang menjadi tempat penampungan para imigran politik. Imigran politik adalah para politisi yang semula berafiliasi dengan parpol lain. Karena tak mendapat tempat, tak mampu bertahan, atau terlibat konflik dengan rekanpolitisi, mereka lalu mencari partai lain yang bersedia mengakomodasinya.
Para imigran politik ini bisa juga para politisi oportunis-pragmatis, yang tak punya orientasi ideologi politik sehingga dengan mudah berpindah partai demi meraih keuntungan ekonomi-politik jangka pendek.
Demi mendapat jabatan dan memperoleh bagian kekuasaan, para politisi oportunis-pragmatis bermigrasi ke Demokrat yang sedang bertahta, memangku kekuasaan negara. Mereka memperlakukan Demokrat tak lebih dari sekadar rumah singgah dan dengan mudah akan pergi setiap waktu untuk mencari tempat persinggahan baru.
Sifat yang melekat pada diri para imigran politik adalah mereka tak punya ikatan ideologi kepartaian dan tak punya komitmen untuk memiliki, merawat, dan mempertahankan kesinambungan partai dalam jangka panjang.
Korupsi politik
Ketiga, korupsi politik. Hal yang sungguh menakjubkan— dalam pengertian negatif— adalah Demokrat merupakan partai baru, yang elite-elitenya— berusia sangat belia pula— banyak terjerat kasus korupsi berskala gigantik.
Mengingat korupsi politik selalu berkelindan dengan pemangku kekuasaan, jajaran pengurus teras Demokrat dengan mudah menyalahgunakan kekuasaan. Mengikuti mazhab Weberian modernity, korupsi politik didefinisikan: the misuse of public power—of entrusted state power—for private gain.
Inilah yang dipraktikkan dengan sangat sempurna oleh politisi Demokrat. Mereka menggenggam kekuasaan sehingga punya akses ke sumber-sumber keuangan publik. Melalui tangantangan kekuasaan serta para operator politik di parlemen maupun birokrasi pemerintahan yang berada dalam kendali partai, mereka berburu state-financed development projects (baca: proyek APBN) di berbagai sektor: infrastruktur, kelistrikan, pendidikan, kesehatan, dan farmasi.
Maka itu, publik pun terperangah ketika megaskandal Hambalang terbongkar, yang menyeret petinggi-petinggi Demokrat: Muhammad Naza-ruddin, Angelina Sondakh, Andi Mallarangeng, dan Anas Urbaningrum.
Sekjen partai, Edhie Baskoro Yudhoyono, pun sudah disebut oleh Yulianis dalam sidang pengadilan tipikor ikut menerima uang suap. Menurut pengalaman sejarah bangsa-bangsa di berbagai belahan dunia, tidak ada kekuasaan yang bertahan lama dan berkelanjutan bila ditopang oleh politisi korup dan elite-elite despotik.
Kini bangsa Indonesia memberi kesaksian bahwa riwayat Demokrat adalah riwayat partai korup dan despotik yang aktor-aktornya hanya memproduksi hipokrisi politik. Beriklan “Katakan Tidak pada Korupsi!” tapi para bintang iklannya menjadi tersangka kasus korupsi.
Konflik internal
Keempat, konflik internal. Konflik internal Demokrat takbisa dilepaskan dari aneka skandal korupsi yang melibatkan tokohtokoh sentral partai. Namun, konflik memang bermula dari kongres partai pada 2010 di Bandung yang memilih Anas Urbaningrum sebagai ketua umum.
Belakangan diketahui, kemenangan Anas diduga kuat karena transaksi politik uang yang sumbernya ditengarai berasal dari skandal proyek Hambalang. Salahsatu ujian partai berkuasa adalah bagaimana mengelola konflik internal.
Sebagai partai baru yang tiba-tiba menjadi partai besar dan berkuasa, Demokrat belum terlatih mengatasi konflik dan tidak punya formula dalam proses resolusi konflik. Selama berbulan-bulan Demokrat menjadi sasaran kritik dan kecaman publik karena bendahara umum, sekretaris dewan pembina, wakil sekjen, dan ketua umum yang menjadi simbol partai diduga kuat terlibat korupsi dan kemudian menjadi tersangka dan ditahan KPK, bahkan dua orang sudah dipidana.
Sang patron tunggal, SBY, menempuh cara simplistik dengan mencopot orang-orang yang terlibat korupsi—juga para loyalis Anas—dan mewajibkan semua kader Demokrat menandatangani pakta integritas dan diakhiri dengan pengunduran diri Anas setelah resmi dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK.
Melihat pergumulan antarfaksi Demokrat, pengamat/ analis politik mana pun sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa konflik internal sejatinya adalah pertarungan dominasi dan perebutan hegemoni politik antara SBY selaku pendiri dan patron tunggal partai dan Anas—politisi belia nan cerdas dan mendadak muncul sebagai bintang politik baru di pentas nasional.
Dengan memanfaatkan skandal Hambalang yang melilit Anas, SBY mendepak politisi muda bertalenta tinggi ini dari kursi ketua umum. Alasan utama SBY menyingkirkan Anas sesungguhnya bukan semata-mata untuk membersihkan partai dan menghapus citra korup yang melekat pada Demokrat, melainkan lebih karena Anas dianggap sebagai ancaman keberlangsungan dinasti politik Cikeas yang sedang ia bangun untuk mendominasi politik Indonesia masa mendatang.
Kalam akhir
SBY sungguh naif ketika beranggapan bahwa kemerosotan elektabilitas Demokrat disebabkan oleh Anas dkk terlibat korupsi. Setelah Anas dkk tergusur pun perolehan suara Demokrat dalam Pemilu 2014, menurut berbagai lembaga survei, diprediksi akan terjun bebas dari 20,85% menjadi berkisar 5- 7% saja. Ini lantaran Demokrat sudah berstigma partai korup yang bukan hanya melibatkan Anas, melainkan banyak pula elite partai lain yang tersangkut skandal serupa.
Dengan manajemen konflik yang amburadul dan citra partai korup, prediksi bahwa Demokrat akan menjadi partai semusim segera terkonfirmasi dalam waktu dekat: 9 April mendatang.
AMICH ALHUMAMI PhD
Antropologi Lulusan Universitas Sussex, Inggris; Peneliti di Lembaga Studi Pengembangan Etika Usaha (LSPEU) Indonesia, Jakarta
(nfl)