Bencana hukum

Kamis, 06 Februari 2014 - 10:00 WIB
Bencana hukum
Bencana hukum
A A A
TERKAIT dengan pro dan kontra atas pembacaan vonis Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pelaksanaan pemilu presiden dan parlemen secara serentak pada 2019, KORAN SINDO(25/01/14) secara kritis menurunkan tajuk berjudul “Menunda Keadilan”.

Bukankah menunda vonis sama saja dengan menunda keadilan? Itulah pertanyaan dan sekaligus sentilan terhadap sikap MK yang dinilainya patut dicurigai. Saya setuju itu. Bila sikap- sikap “konyol” melekat pada lembaga peradilan, dipastikan bencana hukum bisa terjadi kapan saja. Dampaknya bisa lebih dahsyat dari bencana banjir, tanah longsor, dan letusan gunung berapi. Dalam perspektif moralitas hukum, sesungguhnya pekerjaan hakim sangat mulia.

Para hakim dan insan-insan lain pendukungnya berhak atas kemuliaan dunia dan akhirat apabila dalam mengemban amanah senantiasa didasarkan kepada niat ikhlas. Benar bahwa niat itu tidak tampak secara lahiriah dan mungkin dipandang aneh berbicara profesionalitas hakim dengan melihat pada dimensi niat. Dunia hukum tidak sesempit dunia perundang-undangan yang dapat dibaca dan diamati secara lahiriah, tetapi begitu luas karena terkait perilaku.

Perilaku hakim yang secara kasatmata tergolong bagus, seolah bijaksana, dan seolah berwawasan nasional belum tentu demikian kadar kualitasnya ketika dilihat dari perspektif niat. Sebagai manusia beriman, setiap hakim, lebih-lebih yang beragama Islam, mesti ingat firman Allah SWT bahwa di akhirat nanti saat orang-orang berkumpul seluruhnya di Padang Mahsyar, ketika mereka dihisab, tak terkecuali seorang hakim, akan ditanya: ”Dulu sewaktu di dunia ketika engkau memangku jabatan sebagai hakim, engkau menunda- nunda putusan.

Atas dasar motivasi dan tujuan apakah itu engkau kerjakan? Mungkin hakim itu akan menjawab, “Aku lakukan semata- mata karena Mu ya Allah. Lihatlah, irah-irah putusanku senantiasa didahului sanjungan kepada-Mu yakni ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’.

”Alangkah terkejutnya ketika Allah berkata: “Kadzabta (engkau dusta). Itu engkau lakukan karena engkau ingin dipandang sebagai hakim yang bijak, hakim yang adil, hakim yang berwawasan ke depan, padahal niatmu bukan demikian”. Hati hakim membenarkan apa yang dinyatakan Allah itu. Allah Mahabenar dan hati nurani tidak pernah berbohong, tetapi lisan manusia pandai bersilat lidah. Sungguh celaka ketika Allah berkata: “Sebaik-baik tempat bagimu adalah neraka”. Astaghfirullah.

Kisah imajiner yang dielaborasi dari Hadits Qudsi di atas memberikan pelajaran kepada para hakim untuk meluruskan niat dalam mengemban amanah jabatan, apalagi ketika putusannya telah disakralkan dan pantang digugat alias final.

Jangan ada sedikit pun niat buruk apalagi sampai merugikan orang banyak atau bangsa secara keseluruhan. Bukankah bangsa ini sedang merindukan pemimpin yang amanah, sementara sistem kepartaian tertutup rapat bagi siapa pun untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin bangsa tanpa melalui partai.

Adakah ihwal demikian benar dan adil untuk 2014 sementara salah untuk 2019 dan seterusnya? Melalui penalaran rendah pun akan sampai pada jawaban, ”aneh, tapi nyata”, kebenaran konstitusional kok bersifat temporal, parsial, dan tidak universal. Mafhum bagi kita bahwa tujuan utama bernegara disertai perlengkapan berupa konstitusi adalah untuk melindungi setiap warga negara dan menjamin terpenuhi seluruh hakhaknya, baik yang bersifat materiil maupun spiritual.

Hakim yang terjaga moralitasnya dan terpuji profesionalitasnya layak dinobatkan sebagai manusia yang telah memfungsikan hakikat penciptaannya yakni menjalankan profesinya sebagai ibadah sosial-kenegaraan.

Sebaliknya, hakim yang melalaikan visi dan misi penciptaannya, melalaikan sumpah jabatan, memutus perkara demi kepentingan lain, berarti telah mendisfungsikan hakikat penciptaanya. Hakim seperti itu bak lampu penerang yang telah disfungsi, alias mati, walaupun ada dalam realitas, tetapi tidak bermanfaat sehingga perlu segera diganti dengan yang baru.

Hakim MK tidak bekerja sendirian dan individual, tapi kolektif. Seperti apa pun kadar kualitas putusannya, tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada pribadi masingmasing, melainkan kepada MK sebagai lembaga peradilan yang bertugas mengawal konstitusi. Walau demikian, terkait dengan kualitas putusan MK, sekali lagi, ada motivasi (niat) masing- masing hakim menjadi unsur penentunya.

Motivasi setiap hakim MK pastilah tidak pernah sama, tapi berbeda-beda yang kemudian menjadi satu setelah dimusyawarahkan. Katakanlah, ada hakim MK yang tetap pada pendiriannya dan tidak mau dipersatukan pendapatnya, maka dinyatakan ada dissenting opinion.

Kembali pada pembicaraan tentang bencana hukum, tidak tertutup kemungkinan terjadi sebagai dampak dari putusan pengadilan yang kontroversial karena diputuskan berdasarkan kepentingan tertentu dan bukan niat ikhlas. Kepentingan tertentu itu tidak mesti berkonotasi negatif, mungkin saja sekadar ingin menjalankan kewajiban profesinya yakni membuat putusan atas gugatan judicial review.

Ketika putusan sudah dibuat, dibacakan, dinyatakan berlaku, dan mempunyai kekuatan hukum, pengadilan merasa sudah amanah menunaikan kewajibannya. Persoalan adil ataukah tidak, benar ataukah salah, tepat ataukah melenceng, bukan lagi menjadi perhatiannya.

Dengan kata lain, pengadilan cuek terhadap protes ataupun sikap kritis dari publik. Kalau benar skenario ini titik sentralnya, boleh dinyatakan bahwa pengadilan hanya berbuat untuk dirinya sendiri, tetapi lalai bahkan memisahkan diri dari publik.

Ego dan kecongkakan kelembagaan, cuek terhadap aspirasi publik, merupakan bencana hukum. Dampaknya lebih dahsyat dan mengerikan dibanding bencana alam. Ibarat bom waktu, dapat meledak setiap saat. Bencana hukum adalah bencana kemanusiaan, bencana kenegaraan, dan bencana kehidupan. Banyak dinamika dan variannya. Jangan remehkan bencana hukum ini. Wallahualam.

PROF DR SUDJITO SH MSI
Guru Besar Ilmu Hukum, Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6540 seconds (0.1#10.140)