Melawan teror narkoba tanpa militansi
A
A
A
RESPONS pemerintah tetap saja belum signifikan kendati teror narkoba terus menghantui kehidupan masyarakat. Kecenderungan sikap pemerintah kini bahkan sangat mengkhawatirkan. Satu lagi terpidana seumur hidup kasus narkotika, Michael Loic Blanc, sudah mendapatkan keringanan hukuman dan bebas bersyarat.
Bagi sindikat narkotika internasional, pembebasan Michael Blanc ibarat tambahan akses yang akan membuat mereka leluasa membangun jaringan peredaran dan perdagangan narkotika serta obatobatan (narkoba) terlarang di Indonesia. Sebaliknya, bagi kepentingan nasional, pembebasan Michael Blanc justru makin memperlemah posisi negara dan rakyat di hadapan sindikat narkotika internasional.
Di mata publik pembebasan Michael Blanc hanya mempertegas inkonsistensi sikap dan arah kebijakan pemerintah dalam perang melawan sindikat narkotika internasional. Tak hanya berpotensi meruntuhkan moral penegak hukum, inkonsistensi itu bahkan berdampak signifikan terhadap kinerja pemberantasan peredaran dan penyalahgunaan narkoba di dalam negeri. Kecenderungannya sangat memprihatinkan karena pemerintah dan rakyat seperti bertolak belakang menyikapi kejahatan narkoba.
Dengan memberi grasi kepada terpidana narkoba Schapelle Leigh Corby (Australia) dan membebaskan Michael Blanc (Prancis), pemerintah terkesan lemah dan kompromistis terhadap pelaku kejahatan narkotika warga negara asing (WNA).
Padahal, mereka jelas-jelas anggota sindikat narkotika internasional. Sebaliknya, melihat fakta korban kejahatan narkoba di dalam negeri, masyarakat sudah memosisikan negara dalam kondisi darurat narkoba.
Para ahli hukum dan pemerhati masalah sosial bahkan sudah mendeskripsikannya sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Karena itu, masyarakat berharap diberlakukan sanksi hukum ekstrakeras terhadap terpidana kasus narkoba.
Sanksi hukum ekstrakeras yang dapat menimbulkan efek jera, baik bagi anggota sindikat narkotika warga lokal maupun WNA. Efek jera bisa tumbuh kalau pemerintah bersungguh-sungguh dan konsisten mendukung aksi pemberantasan perdagangan dan peredaran narkoba.
WNA akan takut menyelundupkan narkoba ke Indonesia kalau pemerintah juga militan memerangi sindikat narkotika internasional. Sayangnya, dalam konteks itu, militansi pemerintah nyaris tidak ada. Setelah kontroversi grasi Corby, yang berlanjut dengan skandal grasi untuk terpidana narkoba Meirika Franola alias Ola, perilaku kompromistis pemerintah dipertegas dengan kebijakan membebaskan Michael Blanc. Benar bahwa pemberian keringanan hukum kepada seorang terpidana menjadi hak yudikatif Presiden.
Namun, hak itu hendaknya digunakan untuk kemaslahatan negara dan rakyat, bukan memperlemah posisi negara dan rakyat di hadapan sindikat narkotika internasional. Publik merasa bahwa pembebasan Michael Blanc tidak sejalan dengan undang-undang dan ambisi memerangi kejahatan narkotika di negara ini.
Pembebasan Blanc juga bertentangan dengan kebijakan pengetatan (moratorium) pengurangan hukuman kepada terpidana korupsi, narkotika, dan terorisme yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006.
Michael Blanc adalah penghuni Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Cipinang, Jakarta Timur. Dia ditangkap di Bandara Ngurah Rai, Bali, pada 28 Desember 1999 karena pria asal Prancis ini kedapatan membawa 3,8 kilogram narkotika jenis hasis atau cannabis yang disembunyikan di tabung selam. Pada 11 September 2001 Pengadilan Negeri Denpasar memvonis hukuman seumur hidup kepada Blanc.
Putusan itu tak berubah kendati Blanc banding dan kasasi. Namun, dia mendapat grasi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dituangkan dalam Kepres RI No 3/2008 menjadi hukuman 20 tahun penjara. Senin, 20 Januari 2014, Blanc menikmati kebebasannya karena grasi dari Presiden itu diperkuat dengan keputusan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin yang memberikan kepadanya status bebas bersyarat.
Penetrasi sindikat
Bagi publik, tafsir atas rangkaian kompromi terhadap WNA pelaku kejahatan narkoba itu sederhana saja bahwa kepedulian pemerintah terbilang minim terhadap ekses peredarandan penyalahgunaan narkoba di dalam negeri.
Padahal, peredaran dan penyalahgunaan narkoba akhir-akhir ini terkesan masif dan makin ekstrem. Pemerintah seperti gagal menangkap kecemasan masyarakat yang begitu takut karena peredaran dan penyalahgunaan narkoba bisa membunuh generasi muda bangsa.
Apalagi, peredaran narkoba saat ini cenderung membidik kaum muda berstatus pelajar dan mahasiswa. Badan Narkotika Nasional (BNN) telah membuat perhitungan rata-rata yang mengindikasikan 50 orang tewas setiap hari diIndonesia karena mengonsumsi narkoba.
Kerja sama riset BNN dan Universitas Indonesia (UI) menemukan 3,8 juta penduduk atau 2,2% dari populasi penduduk menjadi korban penyalahgunaan narkoba. Jakarta menjadi provinsi dengan prevalensi penyalahgunaan paling tinggi di Indonesia, mencapai 7% atau setara 491.848 orang penyalahguna narkoba.
Negara harus menanggung beban dana Rp4,1 triliun untuk membiayai rehabilitasi para korban narkotika. Begitulah gambaran sekilas ekses penyalahgunaan narkoba. Data-data ini hanya mencerminkan jangkauan riset BNN UI. Gambaran riil yang berada di luar jangkauan riset itu pasti lebih mengerikan.
Data kecenderungan ini mestinya sudah bisa memotivasi pemerintah untuk ekstrategas dan lugas menyikapi kejahatan ini. Jangan lagi kompromistis terhadap jaringan dan anggota sindikat narkotika internasional yang beroperasi di Indonesia sebab taruhannya masa depan generasi muda saat ini.
Fakta dan kecenderungan lain yang juga sangat mencemaskan adalah sebaran atau asal negara para anggota sindikat narkotika internasional berstatus WNA. Pada 2013 BNN mengungkap 166 Laporan Kasus Narkotika (LKN) dengan 244 tersangka.
Dari ratusan tersangka itu, 22 di antaranya WNA antara lain dari Nigeria (5 tersangka), India (3), China (2), Jerman (2), serta masingmasing satu orang tersangka yang berasal Malaysia, Taiwan, Vietnam, Inggris, Austria, Mali, Afrika Selatan, Pantai Gading, Pakistan, dan Thailand.
Dari data BNN ini bisa ditarik kesimpulan bahwa anggota sindikat narkotika yang berasal 14 negara itu melihat Indonesia sebagai pasar narkoba yang sangat menjanjikan karena jumlah konsumennya yang sangat besar.
Mereka berani menyusup ke pasar Indonesia karena dua alasan ini; pertama, daya cegah atau daya tangkal Indonesia terhadap penyelundupan narkoba dari luar sangat lemah. Kedua, pemerintah dan penegak hukum Indonesia sangat kompromistis.
Kalau efektivitas menangkal penyelundupan narkoba tidak ditingkatkan, akan semakin banyak anggota sindikat dari negara lain yang ingin mencoba peruntungannya di Indonesia. Anggota sindikat narkotika internasional akan semakin penetratif mengeksplorasi pasar narkoba di Indonesia jika pemerintah dan oknum birokrat di bandar udara atau pelabuhan terus bersikap kompromistis terhadap penyelundupan narkoba dan para pelakunya.
Bila kecenderungan ini menjadi kenyataan, negara mempertaruhkan masa depan generasi muda. Beberapa kajian terakhir menunjukkan bahwa para penyelundup narkoba lebih memilih jalur laut, khususnya untuk bawaan berjumlah besar.
Kecenderungan ini terbaca sejak terungkap penyelundupan 995 kg sabu di Teluk Naga, Banten, Desember 2006. Pelakunya anggota sindikat dari Hong Kong dan Taiwan, bekerja sama dengan jaringan anggota sindikat mereka di Indonesia.
Dewasa ini wilayah perairan di Jawa bukan lagi favorit para penyelundup narkoba. Mereka kini lebih memilih beberapa wilayah perairan di Sumatera karena lebih mudah diterobos. Intensitas penyelundupan narkoba di sejumlah pelabuhan kecil itu cukup tinggi.
Pembebasan Michael Blanc tidak hanya mengecewakan, tetapi juga sangat mencemaskan. Pembebasan itu bisa menjadi preseden yang meruntuhkan moral aparat penegak hukum karena merasa kerja keras mereka tidak didukung pemerintah. Kalau kecenderungannya berkembang seperti itu, bukan mustahil akan bertambah banyak oknum di bandar udara atau pelabuhan yang mau diajak kompromi oleh penyelundup narkoba.
AHMAD YANI
Wakil Ketua Fraksi PPP DPR RI
Bagi sindikat narkotika internasional, pembebasan Michael Blanc ibarat tambahan akses yang akan membuat mereka leluasa membangun jaringan peredaran dan perdagangan narkotika serta obatobatan (narkoba) terlarang di Indonesia. Sebaliknya, bagi kepentingan nasional, pembebasan Michael Blanc justru makin memperlemah posisi negara dan rakyat di hadapan sindikat narkotika internasional.
Di mata publik pembebasan Michael Blanc hanya mempertegas inkonsistensi sikap dan arah kebijakan pemerintah dalam perang melawan sindikat narkotika internasional. Tak hanya berpotensi meruntuhkan moral penegak hukum, inkonsistensi itu bahkan berdampak signifikan terhadap kinerja pemberantasan peredaran dan penyalahgunaan narkoba di dalam negeri. Kecenderungannya sangat memprihatinkan karena pemerintah dan rakyat seperti bertolak belakang menyikapi kejahatan narkoba.
Dengan memberi grasi kepada terpidana narkoba Schapelle Leigh Corby (Australia) dan membebaskan Michael Blanc (Prancis), pemerintah terkesan lemah dan kompromistis terhadap pelaku kejahatan narkotika warga negara asing (WNA).
Padahal, mereka jelas-jelas anggota sindikat narkotika internasional. Sebaliknya, melihat fakta korban kejahatan narkoba di dalam negeri, masyarakat sudah memosisikan negara dalam kondisi darurat narkoba.
Para ahli hukum dan pemerhati masalah sosial bahkan sudah mendeskripsikannya sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Karena itu, masyarakat berharap diberlakukan sanksi hukum ekstrakeras terhadap terpidana kasus narkoba.
Sanksi hukum ekstrakeras yang dapat menimbulkan efek jera, baik bagi anggota sindikat narkotika warga lokal maupun WNA. Efek jera bisa tumbuh kalau pemerintah bersungguh-sungguh dan konsisten mendukung aksi pemberantasan perdagangan dan peredaran narkoba.
WNA akan takut menyelundupkan narkoba ke Indonesia kalau pemerintah juga militan memerangi sindikat narkotika internasional. Sayangnya, dalam konteks itu, militansi pemerintah nyaris tidak ada. Setelah kontroversi grasi Corby, yang berlanjut dengan skandal grasi untuk terpidana narkoba Meirika Franola alias Ola, perilaku kompromistis pemerintah dipertegas dengan kebijakan membebaskan Michael Blanc. Benar bahwa pemberian keringanan hukum kepada seorang terpidana menjadi hak yudikatif Presiden.
Namun, hak itu hendaknya digunakan untuk kemaslahatan negara dan rakyat, bukan memperlemah posisi negara dan rakyat di hadapan sindikat narkotika internasional. Publik merasa bahwa pembebasan Michael Blanc tidak sejalan dengan undang-undang dan ambisi memerangi kejahatan narkotika di negara ini.
Pembebasan Blanc juga bertentangan dengan kebijakan pengetatan (moratorium) pengurangan hukuman kepada terpidana korupsi, narkotika, dan terorisme yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006.
Michael Blanc adalah penghuni Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Cipinang, Jakarta Timur. Dia ditangkap di Bandara Ngurah Rai, Bali, pada 28 Desember 1999 karena pria asal Prancis ini kedapatan membawa 3,8 kilogram narkotika jenis hasis atau cannabis yang disembunyikan di tabung selam. Pada 11 September 2001 Pengadilan Negeri Denpasar memvonis hukuman seumur hidup kepada Blanc.
Putusan itu tak berubah kendati Blanc banding dan kasasi. Namun, dia mendapat grasi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dituangkan dalam Kepres RI No 3/2008 menjadi hukuman 20 tahun penjara. Senin, 20 Januari 2014, Blanc menikmati kebebasannya karena grasi dari Presiden itu diperkuat dengan keputusan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin yang memberikan kepadanya status bebas bersyarat.
Penetrasi sindikat
Bagi publik, tafsir atas rangkaian kompromi terhadap WNA pelaku kejahatan narkoba itu sederhana saja bahwa kepedulian pemerintah terbilang minim terhadap ekses peredarandan penyalahgunaan narkoba di dalam negeri.
Padahal, peredaran dan penyalahgunaan narkoba akhir-akhir ini terkesan masif dan makin ekstrem. Pemerintah seperti gagal menangkap kecemasan masyarakat yang begitu takut karena peredaran dan penyalahgunaan narkoba bisa membunuh generasi muda bangsa.
Apalagi, peredaran narkoba saat ini cenderung membidik kaum muda berstatus pelajar dan mahasiswa. Badan Narkotika Nasional (BNN) telah membuat perhitungan rata-rata yang mengindikasikan 50 orang tewas setiap hari diIndonesia karena mengonsumsi narkoba.
Kerja sama riset BNN dan Universitas Indonesia (UI) menemukan 3,8 juta penduduk atau 2,2% dari populasi penduduk menjadi korban penyalahgunaan narkoba. Jakarta menjadi provinsi dengan prevalensi penyalahgunaan paling tinggi di Indonesia, mencapai 7% atau setara 491.848 orang penyalahguna narkoba.
Negara harus menanggung beban dana Rp4,1 triliun untuk membiayai rehabilitasi para korban narkotika. Begitulah gambaran sekilas ekses penyalahgunaan narkoba. Data-data ini hanya mencerminkan jangkauan riset BNN UI. Gambaran riil yang berada di luar jangkauan riset itu pasti lebih mengerikan.
Data kecenderungan ini mestinya sudah bisa memotivasi pemerintah untuk ekstrategas dan lugas menyikapi kejahatan ini. Jangan lagi kompromistis terhadap jaringan dan anggota sindikat narkotika internasional yang beroperasi di Indonesia sebab taruhannya masa depan generasi muda saat ini.
Fakta dan kecenderungan lain yang juga sangat mencemaskan adalah sebaran atau asal negara para anggota sindikat narkotika internasional berstatus WNA. Pada 2013 BNN mengungkap 166 Laporan Kasus Narkotika (LKN) dengan 244 tersangka.
Dari ratusan tersangka itu, 22 di antaranya WNA antara lain dari Nigeria (5 tersangka), India (3), China (2), Jerman (2), serta masingmasing satu orang tersangka yang berasal Malaysia, Taiwan, Vietnam, Inggris, Austria, Mali, Afrika Selatan, Pantai Gading, Pakistan, dan Thailand.
Dari data BNN ini bisa ditarik kesimpulan bahwa anggota sindikat narkotika yang berasal 14 negara itu melihat Indonesia sebagai pasar narkoba yang sangat menjanjikan karena jumlah konsumennya yang sangat besar.
Mereka berani menyusup ke pasar Indonesia karena dua alasan ini; pertama, daya cegah atau daya tangkal Indonesia terhadap penyelundupan narkoba dari luar sangat lemah. Kedua, pemerintah dan penegak hukum Indonesia sangat kompromistis.
Kalau efektivitas menangkal penyelundupan narkoba tidak ditingkatkan, akan semakin banyak anggota sindikat dari negara lain yang ingin mencoba peruntungannya di Indonesia. Anggota sindikat narkotika internasional akan semakin penetratif mengeksplorasi pasar narkoba di Indonesia jika pemerintah dan oknum birokrat di bandar udara atau pelabuhan terus bersikap kompromistis terhadap penyelundupan narkoba dan para pelakunya.
Bila kecenderungan ini menjadi kenyataan, negara mempertaruhkan masa depan generasi muda. Beberapa kajian terakhir menunjukkan bahwa para penyelundup narkoba lebih memilih jalur laut, khususnya untuk bawaan berjumlah besar.
Kecenderungan ini terbaca sejak terungkap penyelundupan 995 kg sabu di Teluk Naga, Banten, Desember 2006. Pelakunya anggota sindikat dari Hong Kong dan Taiwan, bekerja sama dengan jaringan anggota sindikat mereka di Indonesia.
Dewasa ini wilayah perairan di Jawa bukan lagi favorit para penyelundup narkoba. Mereka kini lebih memilih beberapa wilayah perairan di Sumatera karena lebih mudah diterobos. Intensitas penyelundupan narkoba di sejumlah pelabuhan kecil itu cukup tinggi.
Pembebasan Michael Blanc tidak hanya mengecewakan, tetapi juga sangat mencemaskan. Pembebasan itu bisa menjadi preseden yang meruntuhkan moral aparat penegak hukum karena merasa kerja keras mereka tidak didukung pemerintah. Kalau kecenderungannya berkembang seperti itu, bukan mustahil akan bertambah banyak oknum di bandar udara atau pelabuhan yang mau diajak kompromi oleh penyelundup narkoba.
AHMAD YANI
Wakil Ketua Fraksi PPP DPR RI
(nfl)