Menunda keadilan

Sabtu, 25 Januari 2014 - 06:02 WIB
Menunda keadilan
Menunda keadilan
A A A
PEMBACAAN vonis Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pelaksanaan pemilu presiden dan parlemen secara serentak pada 2019 menimbulkan kontroversi di ruang publik. Ada yang pro ada juga yang kontra.

Menurut mantan Ketua MK Mahfud MD, pro-kontra terkait keputusan hukum adalah sesuatu yang tidak mungkin dihindari. Apalagi yang diputus adalah keputusan hukum yang mengatur soal perhelatan politik, pasti ada yang memuji di satu pihak dan yang mencerca di pihak lain. Kita tidak akan masuk dalam perdebatan serta dalil-dalil hukum yang disampaikan para pihak yang berbeda pendapat soal putusan MK itu.

Vonis sudah diketuk dan tidak ada pilihan lain semua pihak harus melaksanakan keputusan ini. Cuma ada satu hal yang patut menjadi pembahasan penting di dunia hukum kita. Beberapa waktu sebelum vonis pilpres ini dibacakan MK, pihak yang mengajukan pengujian hukum yang diwakili Effendi Gazali mengancam akan menarik gugatannya karena hampir 10 bulan perkara ini tidak juga diputuskan.

Effendi Gazali dkk mengajukan pengujian kembali Undang-Undang No 42/2008 tentang Pilpres sejak Januari 2013. MK yang waktu itu masih dipimpin Mahfud MD telah selesai menyidangkan judicial review itu pada Maret 2013. Namun, 14 Januari 2014 vonis itu baru dibacakan oleh MK. Sudah sangat dekat dengan pelaksanaan pemilu parlemen yang dijadwalkan 9 April 2014. Mengapa begitu lama?

Bukankah UU Pilpres sifatnya sangat urgent terkait perhelatan akbar pemilu parlemen dan pemilu presiden? Keputusan apa pun pasti berdampak luas terhadap proses pemilu, apalagi jika keputusannya pemilu parlemen dan pemilu presiden dilaksanakan serentak tahun ini juga. Kita sulit membayangkan bagaimana pontang-pantingnya KPU, parpol, dan masyarakat melaksanakan keputusan MK itu.

Bolehkah hakim menggunakan alasan subjektif maupun objektif untuk menunda keputusan yang sedang ditunggu-tunggu banyak orang? Bukankah menunda vonis sama saja dengan menunda keadilan? MK menjelaskan dibutuhkan waktu untuk menyusun dan menulis putusan itu. Setelah disusun dengan rapi baru dibagikan kepada seluruh hakim MK untuk dibaca dan dikoreksi baru kemudian dibacakan.

Tapi bukankah mahkamah memiliki sistem dan alat kelengkapan untuk mempercepat proses itu? Jadi wajar jika kemudian muncul kecurigaan adanya tekanan hebat yang dihadapi MK sebelum membacakan vonis itu. Soal apakah tekanan itu benar ada atau tidak, itu hal lain. Yang jelas buying time dalam dunia peradilan semestinya tidak boleh terjadi. Banyak aspek yang harus dikorbankan dalam setiap detik penundaan dilakukan.

Menunda keputusan di lembaga penegakan hukum bukan hanya terjadi di MK. Jika kita urai satu per satu hampir semua lembaga hukum seperti Mahkamah Agung (MA), pengadilan, kepolisian, kejaksaan, dan KPK, memiliki tanggungan kasus atau perkara dengan berbagai macam latar belakang. Tunggakan perkara di MA misalnya, sudah menjadi hal kronis karena jumlahnya ribuan.

Bayangkan berapa puluh ribu orang yang nasibnya digantung akibat panjangnya antrean perkara di MA. Demikian pula di lembaga penyidikan seperti kepolisian, kejaksaan maupun KPK. Ada kasus yang mandek tanpa alasan, ada kasus yang hilang begitu saja dan ada kasus yang jalannya lamban sekali. Baru-baru ini KPK diprotes karena menggantung begitu lama proses penyidikan terhadap Anas Urbaningrum.

Demikian pula dengan lamanya proses penyidikan kasus Century dan beberapa kasus besar lain di kepolisian dan kejaksaan yang tidak terpantau perkembangannya. Mengapa tunggakan-tunggakan hukum itu bisa terjadi? Apakah hal seperti ini diperbolehkan atas nama hukum? Bukankah ini menciderai rasa keadilan, tujuan yang hendak dicapai oleh hukum itu sendiri? Aparat hukum di semua lini, pemerintah, dan DPR tentu memiliki tanggung jawab besar untuk mengurai problem serius ini.

Jika ini terus dibiarkan tanpa aturan yang tegas, bencana hukum bisa terjadi kapan saja. Dampaknya bisa lebih dahsyat dari bencana banjir, tanah longsor dan letusan gunung berapi. Menunda keadilan adalah bencana yang harus ditanggulangi bersama.
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8393 seconds (0.1#10.140)