Mengimbangi panen alutsista
A
A
A
KABAR buruk diterima Rabu petang kemarin terkait hilangnya helikopter jenis Bell 412 EP. Alutsista milik Penerbad tersebut dilaporkan hilang kontak di wilayah Tarakan, Kalimantan Timur saat membawa 10 penumpang, tujuh di antaranya personel Radir 100 Medan yang akan bertugas di perbatasan Malaysia.
Namun, Kamis pagi kemarin Kadispenad Brigjen TNI Andika Perkasa melalui SMS memberi kabar terbaru bahwa helikopter bernomor registrasi HA-5166 dan semua penumpangnya dalam kondisi baik. Helikopter yang terbang dari Desa Long Sulit ternyata batal melanjutkan perjalanan ke Long Bawang karena cuaca buruk. Mabes TNI AD pun lega. Bisa dibayangkan, kabar hilangnya helikopter membuat Mabes AD kalang kabut.
Bagaimana tidak, sebelumnya satu helikopter buatan Rusia, MI-17 yang juga dioperasionalkan Penerbad jatuh dan menewaskan 13 penumpangnya pada November tahun lalu. Pada tahun yang sama, helikopter MI-17 juga jatuh di Papua. Yang membuat Mabes AD semakin galau, semua helikopter tersebut relatif baru, termasuk Bell 412 EP yang baru dibeli dan dioperasionalkan pada 2013.
Kecelakaan helikopter bisa disebabkan berbagai faktor, seperti kondisi cuaca, teknis, beban yang diangkut terlalu berat, atau human factor. Untuk helikopter tempur kemungkinan penyebab kecelakaan bertambah, karena ditembak musuh. Namun jika disimak lebih dalam, sejatinya ada dua faktor utama yakni alam dan manusia. Faktor alam memang paling susah ditebak. Akan tetapi dengan kecanggihan teknologi perubahan cuaca, sebenarnya bisa dimitigasi.
Apalagi dengan faktor-faktor yang menyangkut pengetahuan dan keterampilan manusia, dalam hal ini menyangkut pilot, kopilot, teknisi, dan sumber daya manusia lain terkait operasional penerbangan, khususnya helikopter TNI AD. Dengan pemahaman ini, musibah jatuhnya dua helikopter TNI menimbulkan pertanyaan sejauh mana kemampuan personel Penerbad?
Pertanyaan ini bukan bentuk ketidakpercayaan terhadap kemampuan para prajurit TNI AD, melainkan sebagai bentuk harapan agar tidak ada lagi helikopter yang harganya sangat mahal. Pertanyaan ini juga relevan mengingatkan TNI AD—juga TNI Angkatan Udara dan TNI Angkatan Laut, akan memasuki masa panen alutsista, termasuk di dalamnya berbagai jenis helikopter.
Seiring dengan berakhirnya program Minimum Essential Forcetahap pertama (2010–2014), Kementerian Pertahanan (Kemhan) sudah membelikan 12 helikopter serbu ringan Fennec. Kemhan juga membelanjakan TNI AD total 22 helikopter multifungsi Bell 412, termasuk di antaranya yang sempat dikabarkan hilang di Kalimantan Timur, 6 helikopter EC 275 full combat. Itu belum termasuk pembelian 8 Apache AH-64 dan rencana pembelian 20 Black Hawk dari Amerika Serikat.
Keberadaan alutsista yang dibelikan dari uang rakyat dengan harga triliunan rupiah tersebut, tentu dengan harapan bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk operasi militer maupun nonmiliter, seperti membantu penanganan bencana. Jika kemudian helikopter baru dan canggih tersebut satu per satu jatuh, asas kemanfaatan dan dukungan terhadap daya deterrencepun akan berkurang.
Karena itulah, belanja alutsista besar-besaran juga harus diimbangi dengan kemampuan personel yang mengoperasikannya. Kecanggihan dan kegaharan helikopter harus diimbangi dengan kemampuan dan ketangkasan sang pilot beserta kru pendukungnya. Kondisi tersebut hanya bisa terwujud jika TNI terus mengembangkan dan melatih personelnya hingga semuanya bisa mencapai standar kualifikasi terbaik.
Harapan sama juga relevan dialamatkan untuk TNI AL dan TNI AU dengan berbagi kesatuan di bawahnya yang mulai kebanjiran alutsista baru, seperti senjata api, rudal, meriam, roket multilaras, kapal cepat rudal, fregat, kapal selam, pesawat tempur, tank kelas berat, tank amfibi.
Apalagi dalam dunia militer, istilah man behind the gun masih menjadi determinant factor yang memengaruhi kemenangan di medan pertempuran.
Namun, Kamis pagi kemarin Kadispenad Brigjen TNI Andika Perkasa melalui SMS memberi kabar terbaru bahwa helikopter bernomor registrasi HA-5166 dan semua penumpangnya dalam kondisi baik. Helikopter yang terbang dari Desa Long Sulit ternyata batal melanjutkan perjalanan ke Long Bawang karena cuaca buruk. Mabes TNI AD pun lega. Bisa dibayangkan, kabar hilangnya helikopter membuat Mabes AD kalang kabut.
Bagaimana tidak, sebelumnya satu helikopter buatan Rusia, MI-17 yang juga dioperasionalkan Penerbad jatuh dan menewaskan 13 penumpangnya pada November tahun lalu. Pada tahun yang sama, helikopter MI-17 juga jatuh di Papua. Yang membuat Mabes AD semakin galau, semua helikopter tersebut relatif baru, termasuk Bell 412 EP yang baru dibeli dan dioperasionalkan pada 2013.
Kecelakaan helikopter bisa disebabkan berbagai faktor, seperti kondisi cuaca, teknis, beban yang diangkut terlalu berat, atau human factor. Untuk helikopter tempur kemungkinan penyebab kecelakaan bertambah, karena ditembak musuh. Namun jika disimak lebih dalam, sejatinya ada dua faktor utama yakni alam dan manusia. Faktor alam memang paling susah ditebak. Akan tetapi dengan kecanggihan teknologi perubahan cuaca, sebenarnya bisa dimitigasi.
Apalagi dengan faktor-faktor yang menyangkut pengetahuan dan keterampilan manusia, dalam hal ini menyangkut pilot, kopilot, teknisi, dan sumber daya manusia lain terkait operasional penerbangan, khususnya helikopter TNI AD. Dengan pemahaman ini, musibah jatuhnya dua helikopter TNI menimbulkan pertanyaan sejauh mana kemampuan personel Penerbad?
Pertanyaan ini bukan bentuk ketidakpercayaan terhadap kemampuan para prajurit TNI AD, melainkan sebagai bentuk harapan agar tidak ada lagi helikopter yang harganya sangat mahal. Pertanyaan ini juga relevan mengingatkan TNI AD—juga TNI Angkatan Udara dan TNI Angkatan Laut, akan memasuki masa panen alutsista, termasuk di dalamnya berbagai jenis helikopter.
Seiring dengan berakhirnya program Minimum Essential Forcetahap pertama (2010–2014), Kementerian Pertahanan (Kemhan) sudah membelikan 12 helikopter serbu ringan Fennec. Kemhan juga membelanjakan TNI AD total 22 helikopter multifungsi Bell 412, termasuk di antaranya yang sempat dikabarkan hilang di Kalimantan Timur, 6 helikopter EC 275 full combat. Itu belum termasuk pembelian 8 Apache AH-64 dan rencana pembelian 20 Black Hawk dari Amerika Serikat.
Keberadaan alutsista yang dibelikan dari uang rakyat dengan harga triliunan rupiah tersebut, tentu dengan harapan bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk operasi militer maupun nonmiliter, seperti membantu penanganan bencana. Jika kemudian helikopter baru dan canggih tersebut satu per satu jatuh, asas kemanfaatan dan dukungan terhadap daya deterrencepun akan berkurang.
Karena itulah, belanja alutsista besar-besaran juga harus diimbangi dengan kemampuan personel yang mengoperasikannya. Kecanggihan dan kegaharan helikopter harus diimbangi dengan kemampuan dan ketangkasan sang pilot beserta kru pendukungnya. Kondisi tersebut hanya bisa terwujud jika TNI terus mengembangkan dan melatih personelnya hingga semuanya bisa mencapai standar kualifikasi terbaik.
Harapan sama juga relevan dialamatkan untuk TNI AL dan TNI AU dengan berbagi kesatuan di bawahnya yang mulai kebanjiran alutsista baru, seperti senjata api, rudal, meriam, roket multilaras, kapal cepat rudal, fregat, kapal selam, pesawat tempur, tank kelas berat, tank amfibi.
Apalagi dalam dunia militer, istilah man behind the gun masih menjadi determinant factor yang memengaruhi kemenangan di medan pertempuran.
(nfl)