Ada misteri di putusan MK
A
A
A
Sindonews.com - Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian pasal dalam Undang-Undang nomor 42 tahun 2008, terkait pelaksanaan Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden secara serentak, sebenarnya tidak mengejutkan.
Namun yang mengejutkan adalah, putusan tersebut baru dikeluarkan pada hari ini. Karena putusan tersebut sebenarnya telah dikabulkan dalam rapat musyawarah hakim MK pada April 2013 lalu, atau saat MK masih dipimpin oleh Mahfud MD.
Koordinator Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin menduga ditundanya putusan MK itu lantaran ada kepentingan politik.
"Maka sejak itulah saya menduga bahwa MK sebetulnya mengabulkan permohonan pemohon. Tetapi karena alasan tertentu mereka tidak berani untuk segera membacakan putusan itu," kata Said Salahudin saat dihubungi Sindonews, Jakarta, Kamis (23/1/2014).
Said mengaku, alasan menunda putusan itu yang seharusnya diselidiki masyarakat. Bahkan, putusan yang dibacakan dua bulan menjelang pemungutan suara ini, cenderung bermuatan politis dan misterius.
Mantan aktivis 98 ini menduga, lambatnya putusan pemilu serentak ini patut diduga tengah terjadi kompromi politik di luar persidangan yang dilakukan hakim konstitusi bersama elite politik. "Jadi ada semacam kompromi yang dibangun di antara mereka," ketusnya.
Atau dengan kata lain, tambah Said, putusan yang dibacakan MK di 'menit-menit' jelang pemilu membuka kesempatan bagi MK untuk menjawab segala kecurigaan masyarakat selama ini. Padahal, kata dia, jika putusan diambil pada April 2013, maka MK sulit untuk mengelak Pemilu serentak bisa dilakukan pada 2014 ini.
"Sehingga Pemilu serentak tetap bisa digelar di 2014, tanpa harus menunggu 2019," tuturnya.
Di sisi lain, statmen Dewan Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra yang mengatakan ada hakim kontitusi MK yang kerap bertandang ke rumah ketua umum partai politik bisa menjadi bukti kecurigaan itu. "Yusril seperti sedang ingin menguak misteri yang sebutkan di atas" imbuhnya.
Seperti diketahui, PUU tentang pemilu serentak yang diajukan koalisi masyarakat sipil ini telah selesai pada 14 Maret 2013. PUU tentang pemilu serentak itu dimohonkan sejak 10 Januari 2013.
Dalam pemohonannya, pemohon beranggapan bahwa “Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD” yang tercantum pada pasal 3 ayat (5) UU Pilpres bertentangan dengan pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Pada ketentuan pasal tersebut, judicial review yang dilayangkan Effendi Gazali cs menggunakan pendekatan pemilih. Mereka berpendapat, jika pemilu dilakukan bukan serentak maka hak konstitusi warga negara banyak dirugikan.
Sebab, kemudahan bagi warga negara untuk melaksanakan hak pilihnya secara efisien terancam. Berikutnya, dana untuk menyelenggarakan pemilu yang tidak serentak menjadi amat boros dan seharusnya digunakan untuk memenuhi hak konstitusional lain warga negara.
Namun yang mengejutkan adalah, putusan tersebut baru dikeluarkan pada hari ini. Karena putusan tersebut sebenarnya telah dikabulkan dalam rapat musyawarah hakim MK pada April 2013 lalu, atau saat MK masih dipimpin oleh Mahfud MD.
Koordinator Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin menduga ditundanya putusan MK itu lantaran ada kepentingan politik.
"Maka sejak itulah saya menduga bahwa MK sebetulnya mengabulkan permohonan pemohon. Tetapi karena alasan tertentu mereka tidak berani untuk segera membacakan putusan itu," kata Said Salahudin saat dihubungi Sindonews, Jakarta, Kamis (23/1/2014).
Said mengaku, alasan menunda putusan itu yang seharusnya diselidiki masyarakat. Bahkan, putusan yang dibacakan dua bulan menjelang pemungutan suara ini, cenderung bermuatan politis dan misterius.
Mantan aktivis 98 ini menduga, lambatnya putusan pemilu serentak ini patut diduga tengah terjadi kompromi politik di luar persidangan yang dilakukan hakim konstitusi bersama elite politik. "Jadi ada semacam kompromi yang dibangun di antara mereka," ketusnya.
Atau dengan kata lain, tambah Said, putusan yang dibacakan MK di 'menit-menit' jelang pemilu membuka kesempatan bagi MK untuk menjawab segala kecurigaan masyarakat selama ini. Padahal, kata dia, jika putusan diambil pada April 2013, maka MK sulit untuk mengelak Pemilu serentak bisa dilakukan pada 2014 ini.
"Sehingga Pemilu serentak tetap bisa digelar di 2014, tanpa harus menunggu 2019," tuturnya.
Di sisi lain, statmen Dewan Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra yang mengatakan ada hakim kontitusi MK yang kerap bertandang ke rumah ketua umum partai politik bisa menjadi bukti kecurigaan itu. "Yusril seperti sedang ingin menguak misteri yang sebutkan di atas" imbuhnya.
Seperti diketahui, PUU tentang pemilu serentak yang diajukan koalisi masyarakat sipil ini telah selesai pada 14 Maret 2013. PUU tentang pemilu serentak itu dimohonkan sejak 10 Januari 2013.
Dalam pemohonannya, pemohon beranggapan bahwa “Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD” yang tercantum pada pasal 3 ayat (5) UU Pilpres bertentangan dengan pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Pada ketentuan pasal tersebut, judicial review yang dilayangkan Effendi Gazali cs menggunakan pendekatan pemilih. Mereka berpendapat, jika pemilu dilakukan bukan serentak maka hak konstitusi warga negara banyak dirugikan.
Sebab, kemudahan bagi warga negara untuk melaksanakan hak pilihnya secara efisien terancam. Berikutnya, dana untuk menyelenggarakan pemilu yang tidak serentak menjadi amat boros dan seharusnya digunakan untuk memenuhi hak konstitusional lain warga negara.
(hyk)