Pemilu serentak bisa sebabkan krisis politik
A
A
A
Sindonews.com - Wacana Pemilu 2014 dilakukan secara serentak terus bergulir dan menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang gugatannya dilayangkan oleh Yusril Ihza Mahendra. Namun, Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden (Pilpres) yang dilakukan serentak dinilai lebih banyak mudarat ketimbang keuntungannya.
"Pemilu serentak tentu untuk konteks saat ini lebih banyak rugi atau negatif dibandingkan positifnya," ujar Pengamat Politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Muradi ketika dihubungi Sindonews, Kamis (23/1/2014).
Ia melanjutkan, hal ini dikarenakan persiapan dan fase kepemiluan telah berjalan tanggal 11 Januari 2014 lalu. Sehingga, ia menilai, pemilu serentak hanya akan mengacaukan perencanaan yang telah dibuat.
"Ini juga berpotensi merusak dan memiliki daya ganggu yang luar biasa dan mendorong terjadinya krisis politik. Yang pada derajat tertentu daya efeknya akan sangat luar biasa," tandas dosen Universitas Paramadina ini.
Seperti diketahui, dalam permohonannya, Yusril meminta Pemilu Legislatif (Pileg) dan (Pilpres) dilaksanakan serentak. Serta dihapuskannya ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold (PT).
Ha itu dilakukan Yusril dengan mendaftarkan uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal yang diuji yakni Pasal 3 Ayat 4, Pasal 9, Pasal 14 Ayat 2 dan Pasal 112 UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden terhadap Pasal 4 Ayat 1, Pasal 6a Ayat 2, Pasal 7c, Pasal 22e Ayat 1, 2 dan 3 UUD tahun 1945.
"Inti permohonan saya adalah, menyatakan beberapa pasal dari undang-undang pemilihan presiden adalah, bertentangan terhadap UUD 1945 dan saya akan pertahankan pendirian saya di MK," ucap Ketua Dewan Syuro PBB ini.
Baca berita:
PKB: Pemilu serentak 2019 saja
"Pemilu serentak tentu untuk konteks saat ini lebih banyak rugi atau negatif dibandingkan positifnya," ujar Pengamat Politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Muradi ketika dihubungi Sindonews, Kamis (23/1/2014).
Ia melanjutkan, hal ini dikarenakan persiapan dan fase kepemiluan telah berjalan tanggal 11 Januari 2014 lalu. Sehingga, ia menilai, pemilu serentak hanya akan mengacaukan perencanaan yang telah dibuat.
"Ini juga berpotensi merusak dan memiliki daya ganggu yang luar biasa dan mendorong terjadinya krisis politik. Yang pada derajat tertentu daya efeknya akan sangat luar biasa," tandas dosen Universitas Paramadina ini.
Seperti diketahui, dalam permohonannya, Yusril meminta Pemilu Legislatif (Pileg) dan (Pilpres) dilaksanakan serentak. Serta dihapuskannya ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold (PT).
Ha itu dilakukan Yusril dengan mendaftarkan uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal yang diuji yakni Pasal 3 Ayat 4, Pasal 9, Pasal 14 Ayat 2 dan Pasal 112 UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden terhadap Pasal 4 Ayat 1, Pasal 6a Ayat 2, Pasal 7c, Pasal 22e Ayat 1, 2 dan 3 UUD tahun 1945.
"Inti permohonan saya adalah, menyatakan beberapa pasal dari undang-undang pemilihan presiden adalah, bertentangan terhadap UUD 1945 dan saya akan pertahankan pendirian saya di MK," ucap Ketua Dewan Syuro PBB ini.
Baca berita:
PKB: Pemilu serentak 2019 saja
(kri)