Ketika terjadi kerugian subsidi
A
A
A
SEBUAH iklan layanan masyarakat yang dimodali Bank Indonesia muncul beberapa minggu lalu di hampir seluruh televisi nasional dan disiarkan di jam-jam penting (prime time). Iklan layanan tersebut menganjurkan agar masyarakat tidak perlu panik menghadapi kenaikan harga-harga komoditas.
Salah satu cara yang diusulkan dalam iklan tersebut adalah mengubah kebiasaan dalam mengonsumsi barang komoditas. Misalnya apabila kita ingin mengonsumsi protein, namun harga daging sapi mahal, kita mencari sumber protein yang lebih murah seperti tempe, ikan, dan lainnya.
Dengan cara demikian, konsumen dapat “mengalahkan pasar” dan tetap mendapatkan apa yang diinginkan. Yang repot adalah ketika barang yang lebih murah ternyata disubsidi pemerintah. Contohnya kasus kelangkaan gas yang terjadi minggu ini.
Karena kebutuhan gas tetap, padahal gaji tidak naik dan kenaikan harga gas elpiji 12 kg lebih dari 50% bahkan di sejumlah daerah yang jauh dari Ibu Kota bisa lebih dari 100%, masyarakat mengejar gas elpiji 3 kg. Jika konsisten dengan iklan layanan masyarakat di atas, pemerintah berharap masyarakat akan beralih menggunakan kayu bakar atau minyak tanah.
Problemnya, penggunaan barang substitusi sebenarnya menyangkut gaya hidup dan ketersediaan alternatif. Saat ini masyarakat sudah terbiasa, dan dulunya pemerintah juga yang membiasakan, agar masyarakat memasak dengan elpiji.
Ternyata kebiasaan baru ini menjadi pengantar pasar untuk masuk, mengatur, dan mendikte cara hidup kita. Kita tak bisa lepas dari gas, padahal pasokan elpiji kita ternyata belum konsisten.
Yang juga ironis adalah Indonesia sudah 15 tahun pada Era Reformasi dan ketika memasuki era ini kita pernah bertekad untuk memerangi korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menggerogoti pengelolaan negara ini, termasuk BUMN (badan usaha milik negara). Kita masih ingat betapa BUMN lebih lekat konotasinya dengan pelayanan bagi kepentingan bisnis konglomerat tertentu.
Kita geram bahwa BUMN sekadar menjadi mesin anjungan tunai mandiri bagi pejabat, selalu kalah saing bahkan dengan BUMN negara lain. Pertamina pernah terpenjara dalam kungkungan setan tersebut, rugi besar.
Atas dasar pertimbangan itu dan agar kompetisi usaha menjadi sehat, beberapa sektor seperti minyak, gas, batu bara, mineral, atau telekomunikasi mulai dibuka untuk modal-modal asing. Selain karena tujuan agar sektor-sektor itu dikelola oleh perusahaan yang lebih kompetitif, negara transisi demokrasi saat itu juga membutuhkan modal asing untuk menutupi utang-utangnya kepada Bank Dunia dan IMF.
BUMN pun ditegaskan untuk mencari laba dan diwanti-wanti agar tidak merugi seperti pada Orde Baru. Beberapa BUMN pun kemudian melakukan transformasi menjadi perusahaan publik. Beberapadiantaranya mencatatkan saham mereka di Bursa Efek Indonesia seperti PT Garuda, PT Wika, Jasa Marga, Telkom, dan lainnya. Ini berimbas pada perusahaan-perusahaan daerah.
Contoh yang paling nyata adalah privatisasi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang dulu terpusat dan sekarang mulai terdesentralisasi di bawah kewenangan pemerintah daerah masing-masing.
Masalahnya, tidak seluruh komoditas dan sektor dapat diperlakukan sama. Ada komoditas tertentu yang tetap memerlukan campur tangan negara agar dapat dinikmati hasilnya oleh masyarakat seperti listrik, air, dan gas.
Sektor transportasi udara tidak memiliki masalah serius ketika diliberalisasi karena akan membuka investor untuk membangun maskapai yang dapat menyaingi PT Garuda. PT Garuda mau tidak mau harus melakukan perbaikan manajemen agar dapat memberikan pelayanan maksimal dan tidak ditinggal penumpang.
Penumpang memiliki banyak pilihan maskapai lain untuk terbang selain Garuda sehingga mereka bisa diuntungkan dari segi pilihan harga tiket atau mutu pelayanan yang diberikan. Pendekatan tersebut tidak berjalan baik di sektor seperti listrik atau air.
Di Indonesia harga listrik telah ditetapkan oleh pemerintah seperti harga bensin atau gas karena dianggap berpengaruh terhadap hajat hidup orang banyak dan perekonomian nasional. Harga jual listrik PLN kepada konsumen lebih rendah dari biaya produksinya.
Sebagai catatan, menurutauditBadanPemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2010, ongkos produksi atau biaya pokok penjualan PLN sebesar Rp1.089/kWh sementara harga jual kepada konsumen adalah Rp693/kWh.
Dengan demikian, pemerintah memberikan subsidi listrik Rp1.089-693/kWh= Rp 396/ kWh. Hal yang sama juga terjadi pada gas elpiji 12 Kg. Harga pokok perolehan mencapai Rp10.785 per kg, sedangkan harga yang dinikmati masyarakat sebesar Rp5.850 per kg.
Selisih tersebut yang kemudian harus ditanggung Pertamina. (Namun, saya belum tahu, apakah kerugian itu ditalangi pemerintah seperti yang terjadi di PLN atau tidak) Hal yang sama juga terjadi pada sektor perusahaan air minum di daerahdaerah. Dengan harga jual yang ditetapkan rendah, sulit sekali untuk menemukan investoryang mau menanamkan modal di sektor- sektor tersebut.
Perlu waktu yang lama bagi investor di ketenagalistrikan untukbalikmodal, padahalnaluri para investor untuk segera dapat menikmati keuntungan. Ini belum ditambah dengan masalah terbatasnya pasokan atau input produksi seperti gas atau batu bara yang sudah telanjur dijual kepada pihak asing untuk kontrak jangka panjang sehingga pembangkit listrik menjadi sangat bergantung pada bahan bakar fosil atau minyak yang harganya terus meninggi dan menggunakan kurs dolar.
Sebab itu, jangan heran apabila daerah yang terjangkau listrik di Indonesia hanya mencapai 78%. Indonesia tertinggal jauh bahkan dari Vietnam yang sudah mencapai 97,6%, sementara Singapura 100%, Malaysia 99,4%, atau Filipina 89,7%.
Gambaran serupa juga terjadi dalam penyediaan gas elpiji. Karena setiap sektor atau komoditas memiliki beban politik dan ekonomi yang tidak sama, pemerintah dalam hal ini BPK perlu lebih bijak dalam menafsirkan kerugian yang ditimbulkan antara BUMN yang menyediakan layanan dasar (essential services) seperti listrik, air, dan gas dengan BUMN di sektor komunikasi, konstruksi, hotel, dan lainnya.
Rakyat harus dapat dengan mudah dan murah mengakses listrik, air bersih, dan sumber energi lain agar mereka dapat mengakses pelayanan yang lain. Tanpa listrik murah, anakanak keluarga miskin tidak dapat membaca di malam hari sehingga pendidikan terbengkalai, demikian pula pasokan ke air bersih melalui pompa akan terganggu sehingga ada risiko sanitasi dan kesehatan.
Tentu kita juga perlu kritis agar pengecualian kerugian dari BUMN yang melayani hajat hidup orang banyak tidak menjadi pembenaran atas ketidakberesan kebijakan dan koordinasi di pemerintah.
Contoh yang paling relevan misalnya pembangunan infrastruktur yang lamban dan belum terlihat hasilnya sampai saat ini. Kita patut bertanya, mengapa pembangunan infrastruktur seperti kilang minyak, jalur pipa gas, atau jalan raya yang sebetulnya dapat mengurangi subsidi pemerintah terhadap ongkos produksi BUMN tidak ada kemajuan?
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu
Salah satu cara yang diusulkan dalam iklan tersebut adalah mengubah kebiasaan dalam mengonsumsi barang komoditas. Misalnya apabila kita ingin mengonsumsi protein, namun harga daging sapi mahal, kita mencari sumber protein yang lebih murah seperti tempe, ikan, dan lainnya.
Dengan cara demikian, konsumen dapat “mengalahkan pasar” dan tetap mendapatkan apa yang diinginkan. Yang repot adalah ketika barang yang lebih murah ternyata disubsidi pemerintah. Contohnya kasus kelangkaan gas yang terjadi minggu ini.
Karena kebutuhan gas tetap, padahal gaji tidak naik dan kenaikan harga gas elpiji 12 kg lebih dari 50% bahkan di sejumlah daerah yang jauh dari Ibu Kota bisa lebih dari 100%, masyarakat mengejar gas elpiji 3 kg. Jika konsisten dengan iklan layanan masyarakat di atas, pemerintah berharap masyarakat akan beralih menggunakan kayu bakar atau minyak tanah.
Problemnya, penggunaan barang substitusi sebenarnya menyangkut gaya hidup dan ketersediaan alternatif. Saat ini masyarakat sudah terbiasa, dan dulunya pemerintah juga yang membiasakan, agar masyarakat memasak dengan elpiji.
Ternyata kebiasaan baru ini menjadi pengantar pasar untuk masuk, mengatur, dan mendikte cara hidup kita. Kita tak bisa lepas dari gas, padahal pasokan elpiji kita ternyata belum konsisten.
Yang juga ironis adalah Indonesia sudah 15 tahun pada Era Reformasi dan ketika memasuki era ini kita pernah bertekad untuk memerangi korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menggerogoti pengelolaan negara ini, termasuk BUMN (badan usaha milik negara). Kita masih ingat betapa BUMN lebih lekat konotasinya dengan pelayanan bagi kepentingan bisnis konglomerat tertentu.
Kita geram bahwa BUMN sekadar menjadi mesin anjungan tunai mandiri bagi pejabat, selalu kalah saing bahkan dengan BUMN negara lain. Pertamina pernah terpenjara dalam kungkungan setan tersebut, rugi besar.
Atas dasar pertimbangan itu dan agar kompetisi usaha menjadi sehat, beberapa sektor seperti minyak, gas, batu bara, mineral, atau telekomunikasi mulai dibuka untuk modal-modal asing. Selain karena tujuan agar sektor-sektor itu dikelola oleh perusahaan yang lebih kompetitif, negara transisi demokrasi saat itu juga membutuhkan modal asing untuk menutupi utang-utangnya kepada Bank Dunia dan IMF.
BUMN pun ditegaskan untuk mencari laba dan diwanti-wanti agar tidak merugi seperti pada Orde Baru. Beberapa BUMN pun kemudian melakukan transformasi menjadi perusahaan publik. Beberapadiantaranya mencatatkan saham mereka di Bursa Efek Indonesia seperti PT Garuda, PT Wika, Jasa Marga, Telkom, dan lainnya. Ini berimbas pada perusahaan-perusahaan daerah.
Contoh yang paling nyata adalah privatisasi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang dulu terpusat dan sekarang mulai terdesentralisasi di bawah kewenangan pemerintah daerah masing-masing.
Masalahnya, tidak seluruh komoditas dan sektor dapat diperlakukan sama. Ada komoditas tertentu yang tetap memerlukan campur tangan negara agar dapat dinikmati hasilnya oleh masyarakat seperti listrik, air, dan gas.
Sektor transportasi udara tidak memiliki masalah serius ketika diliberalisasi karena akan membuka investor untuk membangun maskapai yang dapat menyaingi PT Garuda. PT Garuda mau tidak mau harus melakukan perbaikan manajemen agar dapat memberikan pelayanan maksimal dan tidak ditinggal penumpang.
Penumpang memiliki banyak pilihan maskapai lain untuk terbang selain Garuda sehingga mereka bisa diuntungkan dari segi pilihan harga tiket atau mutu pelayanan yang diberikan. Pendekatan tersebut tidak berjalan baik di sektor seperti listrik atau air.
Di Indonesia harga listrik telah ditetapkan oleh pemerintah seperti harga bensin atau gas karena dianggap berpengaruh terhadap hajat hidup orang banyak dan perekonomian nasional. Harga jual listrik PLN kepada konsumen lebih rendah dari biaya produksinya.
Sebagai catatan, menurutauditBadanPemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2010, ongkos produksi atau biaya pokok penjualan PLN sebesar Rp1.089/kWh sementara harga jual kepada konsumen adalah Rp693/kWh.
Dengan demikian, pemerintah memberikan subsidi listrik Rp1.089-693/kWh= Rp 396/ kWh. Hal yang sama juga terjadi pada gas elpiji 12 Kg. Harga pokok perolehan mencapai Rp10.785 per kg, sedangkan harga yang dinikmati masyarakat sebesar Rp5.850 per kg.
Selisih tersebut yang kemudian harus ditanggung Pertamina. (Namun, saya belum tahu, apakah kerugian itu ditalangi pemerintah seperti yang terjadi di PLN atau tidak) Hal yang sama juga terjadi pada sektor perusahaan air minum di daerahdaerah. Dengan harga jual yang ditetapkan rendah, sulit sekali untuk menemukan investoryang mau menanamkan modal di sektor- sektor tersebut.
Perlu waktu yang lama bagi investor di ketenagalistrikan untukbalikmodal, padahalnaluri para investor untuk segera dapat menikmati keuntungan. Ini belum ditambah dengan masalah terbatasnya pasokan atau input produksi seperti gas atau batu bara yang sudah telanjur dijual kepada pihak asing untuk kontrak jangka panjang sehingga pembangkit listrik menjadi sangat bergantung pada bahan bakar fosil atau minyak yang harganya terus meninggi dan menggunakan kurs dolar.
Sebab itu, jangan heran apabila daerah yang terjangkau listrik di Indonesia hanya mencapai 78%. Indonesia tertinggal jauh bahkan dari Vietnam yang sudah mencapai 97,6%, sementara Singapura 100%, Malaysia 99,4%, atau Filipina 89,7%.
Gambaran serupa juga terjadi dalam penyediaan gas elpiji. Karena setiap sektor atau komoditas memiliki beban politik dan ekonomi yang tidak sama, pemerintah dalam hal ini BPK perlu lebih bijak dalam menafsirkan kerugian yang ditimbulkan antara BUMN yang menyediakan layanan dasar (essential services) seperti listrik, air, dan gas dengan BUMN di sektor komunikasi, konstruksi, hotel, dan lainnya.
Rakyat harus dapat dengan mudah dan murah mengakses listrik, air bersih, dan sumber energi lain agar mereka dapat mengakses pelayanan yang lain. Tanpa listrik murah, anakanak keluarga miskin tidak dapat membaca di malam hari sehingga pendidikan terbengkalai, demikian pula pasokan ke air bersih melalui pompa akan terganggu sehingga ada risiko sanitasi dan kesehatan.
Tentu kita juga perlu kritis agar pengecualian kerugian dari BUMN yang melayani hajat hidup orang banyak tidak menjadi pembenaran atas ketidakberesan kebijakan dan koordinasi di pemerintah.
Contoh yang paling relevan misalnya pembangunan infrastruktur yang lamban dan belum terlihat hasilnya sampai saat ini. Kita patut bertanya, mengapa pembangunan infrastruktur seperti kilang minyak, jalur pipa gas, atau jalan raya yang sebetulnya dapat mengurangi subsidi pemerintah terhadap ongkos produksi BUMN tidak ada kemajuan?
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu
(nfl)