Citra partai politik
A
A
A
EKSISTENSI partai politik (parpol) di tanah air kembali dipertanyakan. Survei yang dirilis Cirus Surveyors Group (CSG) menunjukkan hanya 9,4% masyarakat yang bercara terhadap parpol. Ini merupakan survei ke sekian kali yang menunjukkan hasil yang sama.
Beberapa waktu yang lalu beberapa survei juga mengatakan yang sama. Dan, salah satu yang memprihatinkan adalah kondisi ini terjadi menjelang gelaran Pemilu 2014 pada 9 April mendatang. Artinya, setelah sekian lama eksis di Tanah Air dan beberapa bulan menjelang pembuktian eksistensinya, parpol justru tidak mendapat kepercayaan dari publik. Hasil ini memang memantik kekhawatiran akan tingginya jumlah golongan putih (golput) atau golongan masyarakat yang memilih tidak mencoblos pada pemilu mendatang.
Jika mengacu hasil survei CSG tersebut, sosialisasi bagaimanapun yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU), angka golput kemungkinan akan tetap besar, karena bukan panitia yang menyebabkan golput tinggi namun karena memang masyarakat tidak percaya dengan para peserta pemilu. Bak sebuah perlombaan tidak ada juri yang menilai juga tidak ada penonton. Jika angka golput semakin besar, tentu kredibilitas dari pemilu akan dipertanyakan. Produk yang dihasilkan Pemilu 2014 pun juga akan tidak sempurna alias cacat.
Hasil survei CSG juga kontradiktif ketika parpol peserta Pemilu 2014 tengah gencar-gencarnya berkampanye untuk menarik simpati masyarakat. Secara sederhana ketika parpol tengah melakukan kampanye atau promosi, semestinya kepercayaan masyarakat semakin tumbuh. Namun ini yang terjadi sebaliknya yaitu justru angka yang tidak percaya terhadap parpol sepertinya semakin naik.
Tentu ini peringatan atau warning bagi parpol. Hasil survei menunjukkan bahwa kinerja parpol selama puluhan tahun atau belasan tahun tidak berhasil memuaskan masyarakat, padahal tujuan semua parpol pasti menyejahterakan masyarakat. Bagaimana bisa menyejahterakan jika masyarakat saja sudah tidak puas? Respons yang diberikan parpol pun beragam. Ada yang menganggap bahwa hasil survei tidak mencerminkan kondisi riil masyarakat, atau ada yang mengatakan bahwa survei internal menunjukkan sebaliknya.
Bahkan, mungkin ada yang menuduh bahwa survei tersebut pesanan dari pihak luar. Memang ada sebagian politisi di parpol (biasanya pengurus) ketika “diserang” balik menyerang dengan cara-cara di atas. Para politisi ini justru menyerang balik lembaga survei atau bahkan media yang sengaja menjelek-jelekkan parpol. Bak peribahasa tanggapan politisi seperti itu adalah muka buruk, cermin dibelah. Tentu cara-cara seperti itu sangat tidak produktif atau justru memancing kemarahan masyarakat.
Selain itu, menunjukkan bahwa parpol peserta Pemilu 2014 tidak mau menerima kritik yang tentu jauh dari iklim demokrasi saat ini. Namun, ada respons yang menyejukkan dari beberapa politisi (biasanya politisi senior). Para politisi yang berkomentar menyejukkan ini justru meminta parpol mereka untuk melakukan introspeksi diri dan bekerja keras mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat yang terus terkikis. Jawaban-jawaban ini justru sangat produktif daripada mempertanyakan keabsahan dari sebuah survei.
Dengan komentar seperti itu, justru masyarakat akan lebih bersimpati dan seolah mengaku kekurangan organisasi (parpol) mereka. Cara-cara seperti ini memang yang harus terus dikedepankan. Karena menerima kritik semestinya harus dianggap sebagai masukan bukan serangan. Sayang, yang menggunakan cara-cara seperti ini masih minim. Tentu sebagai bangsa yang berdemokrasi, parpol-parpol harus mengedepankan cara-cara produktif untuk menanggapi kritikan atau bahkan serangan dari pihak luar, justru bukan balik menyerang atau mengkritik.
Apa pun parpol adalah bagian terpenting dari bangsa ini untuk membangun. Jika para kader parpol masih sangat tabu dengan kritik dan justru menyerang balik pengkritik, bangsa tentu harus belajar esens dari demokrasi. Masih ada waktu beberapa bulan untuk membuktikan bahwa parpol bisa dipercaya. Masih ada waktu bertahun-tahun untuk membangun kembali kepercayaan publik. Caranya tentu cukup gampang, yaitu jangan melukai rakyat, karena rakyat adalah tujuan parpol.
Beberapa waktu yang lalu beberapa survei juga mengatakan yang sama. Dan, salah satu yang memprihatinkan adalah kondisi ini terjadi menjelang gelaran Pemilu 2014 pada 9 April mendatang. Artinya, setelah sekian lama eksis di Tanah Air dan beberapa bulan menjelang pembuktian eksistensinya, parpol justru tidak mendapat kepercayaan dari publik. Hasil ini memang memantik kekhawatiran akan tingginya jumlah golongan putih (golput) atau golongan masyarakat yang memilih tidak mencoblos pada pemilu mendatang.
Jika mengacu hasil survei CSG tersebut, sosialisasi bagaimanapun yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU), angka golput kemungkinan akan tetap besar, karena bukan panitia yang menyebabkan golput tinggi namun karena memang masyarakat tidak percaya dengan para peserta pemilu. Bak sebuah perlombaan tidak ada juri yang menilai juga tidak ada penonton. Jika angka golput semakin besar, tentu kredibilitas dari pemilu akan dipertanyakan. Produk yang dihasilkan Pemilu 2014 pun juga akan tidak sempurna alias cacat.
Hasil survei CSG juga kontradiktif ketika parpol peserta Pemilu 2014 tengah gencar-gencarnya berkampanye untuk menarik simpati masyarakat. Secara sederhana ketika parpol tengah melakukan kampanye atau promosi, semestinya kepercayaan masyarakat semakin tumbuh. Namun ini yang terjadi sebaliknya yaitu justru angka yang tidak percaya terhadap parpol sepertinya semakin naik.
Tentu ini peringatan atau warning bagi parpol. Hasil survei menunjukkan bahwa kinerja parpol selama puluhan tahun atau belasan tahun tidak berhasil memuaskan masyarakat, padahal tujuan semua parpol pasti menyejahterakan masyarakat. Bagaimana bisa menyejahterakan jika masyarakat saja sudah tidak puas? Respons yang diberikan parpol pun beragam. Ada yang menganggap bahwa hasil survei tidak mencerminkan kondisi riil masyarakat, atau ada yang mengatakan bahwa survei internal menunjukkan sebaliknya.
Bahkan, mungkin ada yang menuduh bahwa survei tersebut pesanan dari pihak luar. Memang ada sebagian politisi di parpol (biasanya pengurus) ketika “diserang” balik menyerang dengan cara-cara di atas. Para politisi ini justru menyerang balik lembaga survei atau bahkan media yang sengaja menjelek-jelekkan parpol. Bak peribahasa tanggapan politisi seperti itu adalah muka buruk, cermin dibelah. Tentu cara-cara seperti itu sangat tidak produktif atau justru memancing kemarahan masyarakat.
Selain itu, menunjukkan bahwa parpol peserta Pemilu 2014 tidak mau menerima kritik yang tentu jauh dari iklim demokrasi saat ini. Namun, ada respons yang menyejukkan dari beberapa politisi (biasanya politisi senior). Para politisi yang berkomentar menyejukkan ini justru meminta parpol mereka untuk melakukan introspeksi diri dan bekerja keras mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat yang terus terkikis. Jawaban-jawaban ini justru sangat produktif daripada mempertanyakan keabsahan dari sebuah survei.
Dengan komentar seperti itu, justru masyarakat akan lebih bersimpati dan seolah mengaku kekurangan organisasi (parpol) mereka. Cara-cara seperti ini memang yang harus terus dikedepankan. Karena menerima kritik semestinya harus dianggap sebagai masukan bukan serangan. Sayang, yang menggunakan cara-cara seperti ini masih minim. Tentu sebagai bangsa yang berdemokrasi, parpol-parpol harus mengedepankan cara-cara produktif untuk menanggapi kritikan atau bahkan serangan dari pihak luar, justru bukan balik menyerang atau mengkritik.
Apa pun parpol adalah bagian terpenting dari bangsa ini untuk membangun. Jika para kader parpol masih sangat tabu dengan kritik dan justru menyerang balik pengkritik, bangsa tentu harus belajar esens dari demokrasi. Masih ada waktu beberapa bulan untuk membuktikan bahwa parpol bisa dipercaya. Masih ada waktu bertahun-tahun untuk membangun kembali kepercayaan publik. Caranya tentu cukup gampang, yaitu jangan melukai rakyat, karena rakyat adalah tujuan parpol.
(nfl)