Kebijakan elpiji

Selasa, 07 Januari 2014 - 06:08 WIB
Kebijakan elpiji
Kebijakan elpiji
A A A
"DRAMA” sepekan yang bertajuk kenaikan harga elpiji 12 kg pada intinya adalah mempertontonkan betapa mahalnya yang namanya koordinasi di tingkat elite pengambil kebijakan di negeri ini. Yang menggelikan dari “drama” kenaikan harga elpiji di mana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta dianulir dengan mematok waktu 1x24 jam, berakhir dengan koordinasi yang apik.

Setidaknya tercipta konferensi pers bersama tiga pejabat penting, yakni Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik.

Berkat koordinasi singkat dan khusus para elite pengambil kebijakan tersebut, harga elpiji tabung 12 kg yang sempat melambung sebesar Rp3.500 per kg atau Rp42.000 per kg berhasil diturunkan. Keputusannya, Pertamina tetap diperkenankan menaikkan harga elpiji namun hanya sebesar Rp1.000 per kg atau Rp12.000 per tabung.

Secara terbuka, Hadi mengakui pihaknya yang merekomendasikan agar perusahaan migas milik negara itu menaikkan harga elpiji 12 kg untuk menahan laju kerugian yang kini jumlahnya triliunan rupiah. Lampu hijau dari BPK membuat Pertamina langsung tancap gas.

Namun, laju perusahaan pelat merah itu harus terhenti karena dinilai tak berkoordinasi, meski sudah mengirim surat pemberitahuan baik terhadap menteri ESDM maupun menko perekonomian.

Lalu, bagaimana nasib Pertamina ke depan yang tetap harus menelan kerugian triliunan rupiah demi mendistribusikan elpiji 12 kg. Sebenarnya kalau pemerintah mau bersikap tegas, jawabannya sederhana yakni kerugian Pertamina dikompensasi melalui pengurangan penerimaan dividen Pertamina kepada pemerintah.

Namun faktanya, pemerintah selama ini ingin mendapatkan hasil maksimal, memberi beban Pertamina untuk menjual elpiji dengan harga rendah tanpa subsidi dan mendapatkan dividen yang besar.

Hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut harus ada keputusan jelas antara Pertamina dan pemerintah, sebab korban dari ketidakjelasan tersebut jatuh pada masyarakat. Contoh paling konkret drama kenaikan elpiji sepekan yang mengorbankan para agen elpiji.

Siapa yang akan menanggung kerugian para agen yang terlanjur menyetok elpiji dengan harga kenaikan awal dan harus melepas setelah harga dikoreksi? Untungnya kalangan pengusaha restoran belum mengoreksi harga.

Tugas pemerintah tentu belum usai setelah berhasil mengoreksi kenaikan harga elpiji menjadi hanya Rp1.000 per kg. Selain memaksimalkan kontrol pendistribusian yang sempat terganggu selama sepekan, juga harus mengantisipasi agar masyarakat pengguna elpiji 12 kg tidak beralih pada elpiji 3 kg yang mendapat subsidi dari pemerintah karena diperuntukkan bagi masyarakat yang kurang mampu.

Seiring kenaikan harga elpiji 12 kg selama sepekan ini, permintaan terhadap elpiji 3 kg melonjak tajam, bahkan di beberapa wilayah elpiji 3 kg yang lebih akrab disebut gas melon mulai menghilang dan harga pun terdongkrak.

Tugas lainnya, pemerintah harus jujur menjelaskan kepada masyarakat seperti apa sebenarnya kebijakan harga elpiji 12 kg selama ini. Elpiji 12 kg adalah barang nonsubsidi tetapi dijual dengan harga di bawah harga keekonomian.

Di sisi lain, pemerintah memutuskan untuk tidak memberikan subsidi dengan alasan komoditas ini dikonsumsi oleh masyarakat kelas menengah atas. Sebagai perbandingan, harga elpiji 12 kg untuk di kawasan Asia memang sangat rendah di Indonesia.

Harga elpiji dengan ukuran yang sama di China dan India berkisar Rp12.000 hingga Rp20.000 per kg. Kita berharap penjelasan tersebut harus segera disampaikan kalau tidak ingin Pertamina terus tersandera oleh harga elpiji 12 kg tersebut.

Sebenarnya, kisruh kenaikan harga elpiji tersebut sebuah peringatan bagi pemerintah untuk tetap solid menjalankan roda negeri ini. Kesolidan tersebut kembali akan teruji pekan depan, apakah kebijakan pemurnian mineral di dalam negeri bisa sepenuhnya dilaksanakan pada 12 Januari mendatang.

Kalau alasan BPK merekomendasi Pertamina menaikkan harga elpiji karena atas nama kerugian, kebijakan pemurnian mineral di dalam negeri juga tak boleh ditunda, karena selama ini ekspor mineral mentah juga terdeteksi mendatangkan kerugian yang jauh lebih besar.
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0637 seconds (0.1#10.140)