Ledakan harga elpiji

Sabtu, 04 Januari 2014 - 14:37 WIB
Ledakan harga elpiji
Ledakan harga elpiji
A A A
MASYARAKAT banyak yang masih shock dengan kenaikan harga elpiji 12 kg yang dadakan. Semakin terkejut lagi karena harga di lapangan menjadi tidak terkontrol; yang semula Rp80.000 per tabung, tiba-tiba naik menjadi Rp130.000 per tabung, bahkan ada yang melambung hingga Rp180.000 per tabung.

Elpiji 12 kg tidak termasuk yang disubsidi seperti halnya elpiji tabung 3 kg. Elpiji 12 kg sama dengan harga BBM jenis pertamax yang setiap saat bisa berubah sesuai harga pasar. Pertamina sebagai produsen elpiji terpaksa menaikkan harga jual elpiji 12 kg, karena tingginya harga pokok elpiji di pasaran dan melemahnya nilai tukar rupiah. Bahkan, Pertamina mengaku selama ini mengalami kerugian Rp22 triliun dalam enam tahun terakhir karena menjual elpiji 12 kg dengan harga jauh di bawah harga pasar.

Apa yang disampaikan Pertamina sangat masuk akal, tapi apa yang dikeluhkan masyarakat juga masuk akal. Kerugian yang diderita Pertamina sebesar itu tidak banyak diketahui masyarakat. Masyarakat tahunya harga elpiji 12 kg sudah sesuai dengan harga pasar. Apalagi sering kali tabung yang diterima konsumen tidak utuh 12 kg, tapi sudah berkurang 1–2 kg.

Fakta ini pun diterima konsumen dengan lapang dada karena memaklumi rantai distribusi barang di Indonesia yang memang rumit, tidak terkendali dan banyak dikuasai para spekulan yang melakukan aksi ambil untung di tengah krisis. Kenaikan harga elpiji 12 kg yang resmi diketuk per 1 Januari 2014 kelihatannya simpel dan logis. Logika pembuat kebijakan tak lepas dari keyakinan bahwa berapa pun kenaikannya, konsumen harus membeli karena ini termasuk kebutuhan vital.

Dengan kata lain, masyarakat dipaksa membeli elpiji 12 kg dengan harga pasar karena menurut perhitungan, konsumen ini termasuk golongan mampu, sedangkan golongan yang kurang mampu sudah disediakan elpiji tabung 3 kg yang harganya murah karena disubsidi pemerintah. Di atas kertas kelihatannya mudah, tapi banyak unsur di lapangan yang terkadang kurang diperhitungkan secara matang.

Efek psikologis keterkejutan konsumen atas kenaikan itu juga bagian yang patut dipertimbangkan. Apalagi, publik masih belum terlalu lama merasakan efek kenaikan BBM bersubsidi jenis premium dan solar. Belum lagi kegelisahan masyarakat dan dunia usaha tentang rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Jika TDL akhirnya dinaikkan juga dalam waktu dekat, lengkap sudah kado cantik Tahun Baru 2014 kepada masyarakat.

Sementara menurut perhitungan Bappenas, berbagai program pemerintah ternyata tidak mampu menahan laju jumlah penduduk miskin akibat kenaikan BBM bersubsidi. Dari sisi dampak, elpiji dan BBM beda-beda tipis. Keduanya adalah kebutuhan pokok yang memengaruhi hampir seluruh aktivitas kehidupan masyarakat dan dunia usaha. Karena itu, wajarlah jika negara dituntut mampu memegang kendali penuh terhadap dua sumber energi penting ini.

Dalam ekonomi pasar, tuntutan semacam ini dianggap berbahaya dan akan membebani APBN. Para ekonom berbeda pendapat melihat masalah ini, bergantung mazhab apa yang mereka anut. Namun, mayoritas berpendapat era energi murah sudah berakhir. Jadi, rakyat tidak bisa “dimanjakan lagi”. Jika itu benar, pertanyaannya kemudian adalah mengapa semua harus ditanggung masyarakat sendirian? Di mana peran pemerintah yang diberi mandat oleh rakyat untuk mengatur negara?

Jika kemudian semua diserahkan kepada mekanisme pasar, lha apa pekerjaan mereka? Bukankah pemerintah digaji, diberi fasilitas dan jaminan pensiun oleh rakyat untuk berpikir, bekerja keras mengatasi semua persoalan? Konsumen memang mengeluh dengan kenaikan harga elpiji yang melambung itu.

Akan tetapi, akhirnya mereka akan menerima kenyataan pahit itu. Sebaliknya, apakah pemerintah akan berlapang dada juga untuk merenungkan kembali untuk siapakah mereka bekerja? Untuk APBN kah, untuk kelestarian mekanisme pasar, atau untuk masyarakat yang memberi mandat kepada mereka? Masyarakat akan menunggu jawabannya hingga akhir hayat.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5684 seconds (0.1#10.140)