Otda dan penguasa daerah
A
A
A
LUAR biasa, Bupati Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT) Marianus Sae menginstruksikan kepada Satpol PP untuk memblokade Bandara Turelelo Soa karena tidak mendapat tiket pesawat Merpati tujuan Kupang. Kejadian ini pada 12 Desember 2013, di mana landasan pacu diblokade dan dipenuhi Satpol PP serta kendaraannya. Akibat itu, pesawat Merpati nomor penerbangan 6516 dari Kupang-Soa batal mendarat di Bandara Turelelo-Soa.
Aksi koboi yang dilakukan bupati dengan memblokade Bandara Turelelo Soa yang berada di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur sungguh membahayakan. Jika hal ini dibiarkan dan tidak ada tindakan hukum, aksi koboi ini tak hanya mencoreng citra penerbangan Indonesia, tapi juga penerapan hukum yang masih tebang pilih.
Penutupan bandara itu termasuk pelanggaran hukum berat dan sesuai Pasal 421 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dinyatakan setiap yang orang berada di daerah tertentu di bandar udara tanpa memperoleh izin dari otoritas bandar udara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 dan setiap orang membuat halangan (obstacle) dan/atau melakukan kegiatan lain di kawasan keselamatan operasi penerbangan yang membahayakan keselamatan dan keamanan penerbangan dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pembelaan dari Bupati Marianus mengatakan bahwa Merpati enggan mengangkutnya ke Bandara Turelelo, Ngada, Nusa Tenggara Timur. Menurut yang bersangkutan sedang berada di Kupang untuk menerima Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang diserahkan Gubernur NTT dan Sabtu, Marianus harus menghadiri sidang pembahasan APBD pukul 09.00 Wita di Ngada.
Sementara penjelasan dari Merpati, yang bersangkutan sudah disiapkan satu seat, tetapi yang bersangkutan pada waktunya tidak juga muncul. Apa pun alasannya, tindakan tersebut bentuk penyalahgunaan wewenang dan tindak pidana yang membahayakan keselamatan operasi penerbangan. Ironisnya berita yang beredar justru 15 orang Satpol PP yang disuruh melakukan pemblokadean ini yang terkena getahnya dan diperiksa Polda NTT. Mungkin benar bahwa Satpol PP ini bagian dari yang memblokade, namun mereka hanyalah pesuruh yang menjalankan perintah atasannya. Karena itu, otak pelaku atau yang menyuruh melakukan seharusnya dipidanakan.
Dalam kasus ini Mendagri tidak dapat berbuat banyak dan hanya bisa memberikan sanksi teguran. Mengapa demikian? Karena sistem pemilihan langsung mengakibatkan perubahan sistem pemerintahan dengan memberikan porsi wewenang yang lebih besar kepada daerah menyebabkan gejala yang dapat dikatakan sebagai ‘powershift syndrome’. Pemerintah pusat yang pada masa sebelum diberlakukan otonomi daerah memiliki wewenang yang sangat besar, terutama dalam UU No 22/1999 (yang kemudian direvisi menjadi UU 32 Tahun 2004) menjadi ‘powerless’ di hadapan pemerintah daerah.
Pejabat di daerah menjadi berkuasa sepenuhnya bahkan tidak lagi peduli atas hierarki tata pemerintahan yang ada. Gejala ini terlihat dari rapat koordinasi gubernur yang jarang dihadiri bupati. Mereka tidak lagi tunduk dengan kebijakan gubernur karena merasa mereka dipilih langsung oleh masyarakat. Arogansi pejabat dapat dirasakan sekarang, muncul pejabat-pejabat di daerah yang merasa powerful, timbul rajaraja kecil yang merasakan kekuasaan tanpa batas. Raja kecil ini bahkan sampai mengabaikan norma dan etika bernegara.
Terjadi salah penafsiran terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, di mana otonomi daerah diartikan sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan.
Paradigma otonomi daerah yang menganggap bisa mengurus (daerah) dirinya sendiri, baik dari sisi wewenang hukum, wewenang politik, wewenang pemerintahan, terutama wewenang ekonomi, maupun wewenang kultural inilah yang menimbulkan sikap arogansi pejabat. Lebih parahnya lagi dampak dari kekuasaan yang melampaui batas adalah tingginya korupsi yang dilakukan kepala daerah. Terbukti dari data yang dirilis Kemendagri dari 524 kepala daerah di Indonesia, sebanyak 298 tersangkut korupsi. Terakhir KPK resmi menahan Gubernur Banten Ratu Atut Choisyah, Jumat (20/12).
Banyak kepala daerah yang menjadi tersangka mengindikasikan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah telah melenceng dari tujuan utamanya. Otonomi daerah diartikan sebagai kekuasaan tanpa batas, ditambah lagi dengan tingginya biaya pilkada mengakibatkan para kepala daerah mencoba melakukan korupsi untuk mengembalikan dana kampanye yang diperoleh dari pelbagai sumber, termasuk dari para donatur yang mensponsori pilkada. Akibatnya bisa diduga terjadi kesemrawutan dalam tata kelola pemerintahan.
Timbul pembentukan struktur organisasi perangkat daerah atau unitunit kerja baru yang tumpang tindih dengan struktur pemerintah pusat. Ini terjadi untuk mengakomodasi dan mendistribusikan pelbagai kewenangan kepala daerah yang ujungujungnya memproteksi kepentingan kepala daerah terpilih. Pelbagai peraturan dan prosedur perizinan baru diterbitkan hanya untuk kepentingan kepala daerah tersebut.
Retribusi-retribusi dipunguti dan pajak daerah ditingkatkan untuk kepentingan sesaat. Kenapa begitu? Karena Undang-Undang 32 Tahun 2004 Pasal 158 membolehkan pajak daerah dan retribusi daerah diatur lebih lanjut dengan perda. Inilah bentuk atau jalan menuju korupsi yang disahkan undang-undang.
Menyimak cerita tersebut di atas ada kegalauan bahwa kami rindu akan ketertiban yang tercipta pada masa lalu. Kegalauan hati atas kekacauan yang terjadi saat ini diharapkan bisa diperbaiki pada masa yang akan datang. Wakil rakyat yang terbentuk pada masa yang akan datang perlu berkaca pada dua dekade pascareformasi di mana terjadi kesewenangan di daerah dan tingkat korupsi yang tinggi.
Di mana ini terjadi akibat euforia politik yang diwujudkan dalam bentuk Undang-Undang Otonomi Daerah yang kebablasan dalam penerapannya. Peninjauan kembali atas penerapan maupun penafsiran yang salah terhadap undang-undang yang terkait dengan otonomi daerah perlu dijadikan prioritas bagi wakil rakyat mendatang agar masyarakat Indonesia tidak terpecah belah karena pembagian kekuasaan tersebut dan tentu peninjauan kembali dimaksudkan untuk menyejahterakan masyarakat.
WIJAYA KUSUMA SUBROTO SH MM
Ketua Perindo DPW DKI Jakarta, Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanegara
Aksi koboi yang dilakukan bupati dengan memblokade Bandara Turelelo Soa yang berada di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur sungguh membahayakan. Jika hal ini dibiarkan dan tidak ada tindakan hukum, aksi koboi ini tak hanya mencoreng citra penerbangan Indonesia, tapi juga penerapan hukum yang masih tebang pilih.
Penutupan bandara itu termasuk pelanggaran hukum berat dan sesuai Pasal 421 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dinyatakan setiap yang orang berada di daerah tertentu di bandar udara tanpa memperoleh izin dari otoritas bandar udara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 dan setiap orang membuat halangan (obstacle) dan/atau melakukan kegiatan lain di kawasan keselamatan operasi penerbangan yang membahayakan keselamatan dan keamanan penerbangan dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pembelaan dari Bupati Marianus mengatakan bahwa Merpati enggan mengangkutnya ke Bandara Turelelo, Ngada, Nusa Tenggara Timur. Menurut yang bersangkutan sedang berada di Kupang untuk menerima Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang diserahkan Gubernur NTT dan Sabtu, Marianus harus menghadiri sidang pembahasan APBD pukul 09.00 Wita di Ngada.
Sementara penjelasan dari Merpati, yang bersangkutan sudah disiapkan satu seat, tetapi yang bersangkutan pada waktunya tidak juga muncul. Apa pun alasannya, tindakan tersebut bentuk penyalahgunaan wewenang dan tindak pidana yang membahayakan keselamatan operasi penerbangan. Ironisnya berita yang beredar justru 15 orang Satpol PP yang disuruh melakukan pemblokadean ini yang terkena getahnya dan diperiksa Polda NTT. Mungkin benar bahwa Satpol PP ini bagian dari yang memblokade, namun mereka hanyalah pesuruh yang menjalankan perintah atasannya. Karena itu, otak pelaku atau yang menyuruh melakukan seharusnya dipidanakan.
Dalam kasus ini Mendagri tidak dapat berbuat banyak dan hanya bisa memberikan sanksi teguran. Mengapa demikian? Karena sistem pemilihan langsung mengakibatkan perubahan sistem pemerintahan dengan memberikan porsi wewenang yang lebih besar kepada daerah menyebabkan gejala yang dapat dikatakan sebagai ‘powershift syndrome’. Pemerintah pusat yang pada masa sebelum diberlakukan otonomi daerah memiliki wewenang yang sangat besar, terutama dalam UU No 22/1999 (yang kemudian direvisi menjadi UU 32 Tahun 2004) menjadi ‘powerless’ di hadapan pemerintah daerah.
Pejabat di daerah menjadi berkuasa sepenuhnya bahkan tidak lagi peduli atas hierarki tata pemerintahan yang ada. Gejala ini terlihat dari rapat koordinasi gubernur yang jarang dihadiri bupati. Mereka tidak lagi tunduk dengan kebijakan gubernur karena merasa mereka dipilih langsung oleh masyarakat. Arogansi pejabat dapat dirasakan sekarang, muncul pejabat-pejabat di daerah yang merasa powerful, timbul rajaraja kecil yang merasakan kekuasaan tanpa batas. Raja kecil ini bahkan sampai mengabaikan norma dan etika bernegara.
Terjadi salah penafsiran terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, di mana otonomi daerah diartikan sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan.
Paradigma otonomi daerah yang menganggap bisa mengurus (daerah) dirinya sendiri, baik dari sisi wewenang hukum, wewenang politik, wewenang pemerintahan, terutama wewenang ekonomi, maupun wewenang kultural inilah yang menimbulkan sikap arogansi pejabat. Lebih parahnya lagi dampak dari kekuasaan yang melampaui batas adalah tingginya korupsi yang dilakukan kepala daerah. Terbukti dari data yang dirilis Kemendagri dari 524 kepala daerah di Indonesia, sebanyak 298 tersangkut korupsi. Terakhir KPK resmi menahan Gubernur Banten Ratu Atut Choisyah, Jumat (20/12).
Banyak kepala daerah yang menjadi tersangka mengindikasikan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah telah melenceng dari tujuan utamanya. Otonomi daerah diartikan sebagai kekuasaan tanpa batas, ditambah lagi dengan tingginya biaya pilkada mengakibatkan para kepala daerah mencoba melakukan korupsi untuk mengembalikan dana kampanye yang diperoleh dari pelbagai sumber, termasuk dari para donatur yang mensponsori pilkada. Akibatnya bisa diduga terjadi kesemrawutan dalam tata kelola pemerintahan.
Timbul pembentukan struktur organisasi perangkat daerah atau unitunit kerja baru yang tumpang tindih dengan struktur pemerintah pusat. Ini terjadi untuk mengakomodasi dan mendistribusikan pelbagai kewenangan kepala daerah yang ujungujungnya memproteksi kepentingan kepala daerah terpilih. Pelbagai peraturan dan prosedur perizinan baru diterbitkan hanya untuk kepentingan kepala daerah tersebut.
Retribusi-retribusi dipunguti dan pajak daerah ditingkatkan untuk kepentingan sesaat. Kenapa begitu? Karena Undang-Undang 32 Tahun 2004 Pasal 158 membolehkan pajak daerah dan retribusi daerah diatur lebih lanjut dengan perda. Inilah bentuk atau jalan menuju korupsi yang disahkan undang-undang.
Menyimak cerita tersebut di atas ada kegalauan bahwa kami rindu akan ketertiban yang tercipta pada masa lalu. Kegalauan hati atas kekacauan yang terjadi saat ini diharapkan bisa diperbaiki pada masa yang akan datang. Wakil rakyat yang terbentuk pada masa yang akan datang perlu berkaca pada dua dekade pascareformasi di mana terjadi kesewenangan di daerah dan tingkat korupsi yang tinggi.
Di mana ini terjadi akibat euforia politik yang diwujudkan dalam bentuk Undang-Undang Otonomi Daerah yang kebablasan dalam penerapannya. Peninjauan kembali atas penerapan maupun penafsiran yang salah terhadap undang-undang yang terkait dengan otonomi daerah perlu dijadikan prioritas bagi wakil rakyat mendatang agar masyarakat Indonesia tidak terpecah belah karena pembagian kekuasaan tersebut dan tentu peninjauan kembali dimaksudkan untuk menyejahterakan masyarakat.
WIJAYA KUSUMA SUBROTO SH MM
Ketua Perindo DPW DKI Jakarta, Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanegara
(nfl)