Formappi: Target Prolegnas 2014 DPR tak masuk akal
A
A
A
Sindonews.com - Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai, datarnya kinerja DPR di bidang legislasi tentu berbanding terbalik dengan 'kegilaan' mereka untuk selalu dan selalu mengadakan studi banding ke luar negeri demi pembahasan rancangan undang-undang (RUU).
"Kegilaan tersebut kemudian nampak menjadi semacam 'penyakit' menahun para wakil rakyat yang begitu terpesona dengan anjang sana ke luar negeri, ketimbang mengefektifkan waktu, tenaga dan anggaran untuk menyelesaikan RUU dengan modal dalam negeri," ujar Peneliti Senior Formappi Lucius Karus ketika dihubungi Sindonews, Senin (23/12/2013).
Menurutnya, pencapaian tidak maksimal yang ditunjukkan oleh DPR yang berlangsung selama empat tahun sesungguhnya sudah pantas untuk diganjar dengan hukuman. Agar, mereka tak lagi dipercaya untuk mengemban amanat wakil rakyat pada periode mendatang.
"Apa mau dikata, partai politik asal para wakil rakyat kita ini masih memberikan kepercayaan kepada mereka untuk mengikuti Pemilu 2014 sebagai caleg," ucap dia.
Harus diakui, kata Lucius, bahwa beberapa RUU yang disahkan DPR di 2013 ini memang sangat pro-rakyat. Sebut aja misalnya, RUU Desa yang walaupun kehadirannya masih diragukan mampu mengagregasi kemajuan di desa-desa Indonesia. Ada juga UU tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani serta UU yang mengatur kawasan pesisir.
"Untuk tahun 2014, DPR kembali mencanangkan jumlah prolegnas yang hemat saya berlebihan. Mereka menetapkan 66 RUU prolegnas. Padahal waktu kerja mereka akan sangat banyak tersita oleh pemilu. Masa jabatan mereka juga hanya sampai bulan Oktober," tandasnya.
Ia menambahkan, pada masa-masa produktif seperti empat tahun selama ini saja, DPR nampak tak bisa melampaui 20 persen pencapaian di bidang legislasi. Apalagi di tahun pemilu ini.
Fakta bahwa hampir 85 persen dari DPR periode 2009-2014 kembali menjadi caleg saja sudah memberikan gambaran mengenai keseriusan mereka untuk tetap bekerja pada tahun 2014 mendatang.
"Nah bagaimana mungkin target 66 RUU masih pantas untuk DPR yang akan menghadapi hari penghakiman melalui pemilu nanti?" pungkasnya.
Baca berita:
Gedung baru DPR hampir jadi gedung lambang korupsi
"Kegilaan tersebut kemudian nampak menjadi semacam 'penyakit' menahun para wakil rakyat yang begitu terpesona dengan anjang sana ke luar negeri, ketimbang mengefektifkan waktu, tenaga dan anggaran untuk menyelesaikan RUU dengan modal dalam negeri," ujar Peneliti Senior Formappi Lucius Karus ketika dihubungi Sindonews, Senin (23/12/2013).
Menurutnya, pencapaian tidak maksimal yang ditunjukkan oleh DPR yang berlangsung selama empat tahun sesungguhnya sudah pantas untuk diganjar dengan hukuman. Agar, mereka tak lagi dipercaya untuk mengemban amanat wakil rakyat pada periode mendatang.
"Apa mau dikata, partai politik asal para wakil rakyat kita ini masih memberikan kepercayaan kepada mereka untuk mengikuti Pemilu 2014 sebagai caleg," ucap dia.
Harus diakui, kata Lucius, bahwa beberapa RUU yang disahkan DPR di 2013 ini memang sangat pro-rakyat. Sebut aja misalnya, RUU Desa yang walaupun kehadirannya masih diragukan mampu mengagregasi kemajuan di desa-desa Indonesia. Ada juga UU tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani serta UU yang mengatur kawasan pesisir.
"Untuk tahun 2014, DPR kembali mencanangkan jumlah prolegnas yang hemat saya berlebihan. Mereka menetapkan 66 RUU prolegnas. Padahal waktu kerja mereka akan sangat banyak tersita oleh pemilu. Masa jabatan mereka juga hanya sampai bulan Oktober," tandasnya.
Ia menambahkan, pada masa-masa produktif seperti empat tahun selama ini saja, DPR nampak tak bisa melampaui 20 persen pencapaian di bidang legislasi. Apalagi di tahun pemilu ini.
Fakta bahwa hampir 85 persen dari DPR periode 2009-2014 kembali menjadi caleg saja sudah memberikan gambaran mengenai keseriusan mereka untuk tetap bekerja pada tahun 2014 mendatang.
"Nah bagaimana mungkin target 66 RUU masih pantas untuk DPR yang akan menghadapi hari penghakiman melalui pemilu nanti?" pungkasnya.
Baca berita:
Gedung baru DPR hampir jadi gedung lambang korupsi
(kri)