Ahli soft ware Indonesia tak miliki soft skill

Sabtu, 21 Desember 2013 - 02:00 WIB
Ahli soft ware Indonesia tak miliki soft skill
Ahli soft ware Indonesia tak miliki soft skill
A A A
Sindonews.com - Proses perkuliahan yang berorientasi pada teacher centris, membuat para ahli soft ware Indonesia memiliki kekurangan soft skill. Padahal di dunia kerja, soft skill bagi para ahli soft ware sangatlah penting.

Menyadari hal ini, Fakultas Teknik Informatika (FTI) Universitas Islam Indonesia (UII) mulai menerapkan perkuliahan student centered learning (SCL).

"Ahli perangkat lunak sudah ditasbihkan, menjadi sebuah profesi puncak dari bidang teknik informatika. Sayangnya, Indonesia dapat dikatakan sangat tertinggal, dibanding negara lain jika berbicara para ahli soft ware ini," ujar Koordinator Bidang Keilmuan Magister Teknik Informatika UII Beni Suranto ST SoftEng, Jumat, 20 Desember 2013.

"Kami tertinggal justru bukan pada teknis, seperti penguasaan ilmu. Namun lebih ada soft skill," sambungnya.

Ditemui di kampus setempat, Beni menuturkan, persoalan nonteknis seperti kemampuan komunikasi, team work, kreatifitas hingga rasa percaya diri tidak dimiliki oleh para ahli soft ware Indonesia.

Para ahli soft ware Indonesia cenderung rendah diri, dan tidak berani mengambil resiko menjadi leader. Dan untuk menyatukan sisi soft skill tersebut, SCL menjadi salah satu caranya.

"Semester ini penerapan SCL di fakultas baru dimulai. Goal-nya ialah kami ingin membentuk para ahli soft ware, yang memiliki hard skill dan soft skill yang mumpuni. Karenanya, tiap lulusan FTI UII diharuskan menguasai empat hal, yakni teknis, konseptual, desain skill dan human skill," imbuhnya.

Beni mengaku, human skill atau soft skill tersebut sangatlah berguna di dunia kerja. Sebagai ahli soft ware yang tugasnya membuat atau merancang soft ware baru, diperlukan keahlian negosiasi.

Soft ware yang dihasilkan, lanjutnya, tentu menjadi produk dagang. Dengan human skill yang baik. Tak hanya menjual, para ahli soft ware Indonesia mampu menjelaskan secara baik, mengenai kreativitas mereka dan mampu merambah dunia kerja global.

"Kemampuan berkomunikasi yang kami inginkan tidak hanya kemampuan berbahasa asing, tapi juga bagaimana para mahasiswa kami nantinya menjadi sosok yang bermental baik dan tidak minder. Caranya tentu dengan membuat mahasiswa kami aktif di kelas, berani mengutarakan pendapat, saling mendebat, berdiskusi mengaktualisasikan diri," ungkapnya.

Meski terkesan mudah, pelaksanaan SCL bukan tanpa kendala. Beni mengakui, jumlah mahasiswa yang terlalu banyak tiap perkuliahan menjadi kendala utama SCL.

Rata-rata jumlah mahasiswa di UII perkelas mencapai 50-80 orang, sedangkan idealnya pembelajaran SCL hanya 20-30 mahasiswa. Banyaknya jumlah mahasiswa ini, juga membuat pengawasan pembelajaran menjadi susah.

"Meski kami membebaskan para mahasiswa mengaktualisasikan diri dengan memecahkan persoalan atau kasus, bukan berarti dilepas semua. Sebagai pengajar, kewajiban memberikan pengarahan, analisa dan feedback juga penting. Agar tujuan pembelajaran tercapai efektif," katanya.

Klik di sini untuk berita terkait.
(stb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6214 seconds (0.1#10.140)