Dinasti korupsi
A
A
A
PERDEBATAN perihal dinasti politik kembali mengemuka setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menaikkan status Gubernur Banten Ratu Atut Chosiah menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap Pilkada Lebak yang melibatkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar.
Sudah sejak lama Banten identik dengan dinasti politik. Meski bukan satu-satunya di Indonesia, nuansa dinasti politik di provinsi pecahan Jawa Barat ini begitu kuat. Baik dari sisi jumlah jabatan politik strategis (gubernur, bupati, wali kota, wakil bupati, wakil walikota, dan DPRD) yang dikuasai satu keluarga maupun dari sudut pengaruh keluarga besar Atut. Di wilayah atau daerah lain hubungan kekerabatan yang memegang jabatan-jabatan strategis juga lumayan banyak.
Ada bupati yang sudah lengser kemudian mengajukan istri dan anaknya sebagai pengganti dan kemudian terpilih dalam pilkada. Ada pula gubernur yang memiliki adik, kakak, atau kerabat lain menjadi bupati atau wali kota di wilayah kekuasaannya. Dinasti politik di Banten menjadi sorotan tajam karena ukuran dan intensitas pengaruhnya sulit ditandingi dinasti di daerah lain. Jabatan politik strategis di level nasional pun tak lepas dari unsur hubungan kekerabatan. Meskipun skala dan pengaruhnya tidak sedahsyat seperti di Banten.
Mengapa publik begitu antipati dengan dinasti politik? Ini tak lain karena dinasti politik selalu terkait praktik abuse of power, penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, keluarga, maupun kelompoknya. Penguasaan jabatan penting dimanfaatkan untuk mengumpulkan harta dari uang negara. Modusnya sederhana sekali, membobol anggaran dengan memberikan proyek-proyek kepada kroni atau kelompoknya. Maka tidak heran, seorang kepala daerah yang korup tidak malu hidup bermewah-mewah di tengah penderitaan rakyat yang dipimpinnya.
Bagi pejabat ini, kekuasaan adalah sarana memupuk harta, memperluas pengaruh, dan pasti melanggengkan kekuasaan itu dengan segala cara. Sebenarnya dinasti politik tidak selamanya buruk bila dibarengi dengan integritas anggota-anggota dinasti itu dengan mengelola kekuasaannya untuk memakmurkan daerah. Bukan memakmurkan diri sendiri. Sayang, integritas tidak bisa dibentuk oleh kesadaran pribadi sang pemimpin. Zaman kerajaan dahulu rakyat senang dipimpin oleh dinasti politik karena memang raja kekuasaannya turuntemurun.
Kalaupun ada pergantian dinasti, itu lebih karena konflik elite di sekitar dinasti itu sendiri atau pemberontakan yang dipimpin elite yang tidak lain juga sempalan dari dinasti itu maupun dinasti yang ditumbangkan sebelumnya. Tentu saja politik dinasti di era demokrasi sekarang jauh berbeda. Sekarang ruang gerak dinasti politik sebenarnya sudah dibatasi aturan dan hukum. Namun, dinasti politik yang korup ternyata masih mampu melanggengkan kekuasaan melalui pemilu atau pilkada.
Rakyat boleh benci karena korupnya dinasti itu, tapi mereka pun tak sanggup menumbangkan dukungan suara kepada dinasti itu bahkan melalui pemilu sekalipun. Artinya ada yang suka juga dengan dinasti itu. Apa yang terjadi di Banten adalah cerminan situasi itu. Meski tidak menyapu bersih semua wilayah, keluarga besar Atut mampu mengontrol posisi-posisi penting itu untuk menancapkan pengaruh politiknya. Namun, dinasti ini lupa bahwa hegemoni mereka telah menyolidkan akar rumput dan sejumlah elite oposisi di wilayah itu untuk menyatukan kekuatan.
Ini terlihat dari reaksi masyarakat Banten yang bersukacita dengan penetapan Atut sebagai tersangka. Ini momentum yang telah lama mereka tunggu demi menyongsong era baru Banten yang lebih makmur dan sejahtera tentunya. Hingga detik ini kita masih kesulitan untuk mendapat contoh dinasti politik yang dicintai rakyatnya. Hampir semua dinasti berkonotasi negatif meski tidak semua buruk.
Bisa jadi ada hubungan kekerabatan oleh pejabat politik yang justru semakin mensiner-gikan upaya untuk menyejahterakan rakyat di wilayahnya. Artinya rakyat akan happydipimpin oleh dinasti itu. Apa yang terjadi di Banten adalah pelajaran penting bagi kita semua bahwa dinasti politik itu akan sangat mudah berubah menjadi dinasti korupsi. Dengan begitu, usaha untuk mencegahnya dengan peraturan dan undang-undang sangat bisa dipahami dalam konteks Indonesia.
Sudah sejak lama Banten identik dengan dinasti politik. Meski bukan satu-satunya di Indonesia, nuansa dinasti politik di provinsi pecahan Jawa Barat ini begitu kuat. Baik dari sisi jumlah jabatan politik strategis (gubernur, bupati, wali kota, wakil bupati, wakil walikota, dan DPRD) yang dikuasai satu keluarga maupun dari sudut pengaruh keluarga besar Atut. Di wilayah atau daerah lain hubungan kekerabatan yang memegang jabatan-jabatan strategis juga lumayan banyak.
Ada bupati yang sudah lengser kemudian mengajukan istri dan anaknya sebagai pengganti dan kemudian terpilih dalam pilkada. Ada pula gubernur yang memiliki adik, kakak, atau kerabat lain menjadi bupati atau wali kota di wilayah kekuasaannya. Dinasti politik di Banten menjadi sorotan tajam karena ukuran dan intensitas pengaruhnya sulit ditandingi dinasti di daerah lain. Jabatan politik strategis di level nasional pun tak lepas dari unsur hubungan kekerabatan. Meskipun skala dan pengaruhnya tidak sedahsyat seperti di Banten.
Mengapa publik begitu antipati dengan dinasti politik? Ini tak lain karena dinasti politik selalu terkait praktik abuse of power, penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, keluarga, maupun kelompoknya. Penguasaan jabatan penting dimanfaatkan untuk mengumpulkan harta dari uang negara. Modusnya sederhana sekali, membobol anggaran dengan memberikan proyek-proyek kepada kroni atau kelompoknya. Maka tidak heran, seorang kepala daerah yang korup tidak malu hidup bermewah-mewah di tengah penderitaan rakyat yang dipimpinnya.
Bagi pejabat ini, kekuasaan adalah sarana memupuk harta, memperluas pengaruh, dan pasti melanggengkan kekuasaan itu dengan segala cara. Sebenarnya dinasti politik tidak selamanya buruk bila dibarengi dengan integritas anggota-anggota dinasti itu dengan mengelola kekuasaannya untuk memakmurkan daerah. Bukan memakmurkan diri sendiri. Sayang, integritas tidak bisa dibentuk oleh kesadaran pribadi sang pemimpin. Zaman kerajaan dahulu rakyat senang dipimpin oleh dinasti politik karena memang raja kekuasaannya turuntemurun.
Kalaupun ada pergantian dinasti, itu lebih karena konflik elite di sekitar dinasti itu sendiri atau pemberontakan yang dipimpin elite yang tidak lain juga sempalan dari dinasti itu maupun dinasti yang ditumbangkan sebelumnya. Tentu saja politik dinasti di era demokrasi sekarang jauh berbeda. Sekarang ruang gerak dinasti politik sebenarnya sudah dibatasi aturan dan hukum. Namun, dinasti politik yang korup ternyata masih mampu melanggengkan kekuasaan melalui pemilu atau pilkada.
Rakyat boleh benci karena korupnya dinasti itu, tapi mereka pun tak sanggup menumbangkan dukungan suara kepada dinasti itu bahkan melalui pemilu sekalipun. Artinya ada yang suka juga dengan dinasti itu. Apa yang terjadi di Banten adalah cerminan situasi itu. Meski tidak menyapu bersih semua wilayah, keluarga besar Atut mampu mengontrol posisi-posisi penting itu untuk menancapkan pengaruh politiknya. Namun, dinasti ini lupa bahwa hegemoni mereka telah menyolidkan akar rumput dan sejumlah elite oposisi di wilayah itu untuk menyatukan kekuatan.
Ini terlihat dari reaksi masyarakat Banten yang bersukacita dengan penetapan Atut sebagai tersangka. Ini momentum yang telah lama mereka tunggu demi menyongsong era baru Banten yang lebih makmur dan sejahtera tentunya. Hingga detik ini kita masih kesulitan untuk mendapat contoh dinasti politik yang dicintai rakyatnya. Hampir semua dinasti berkonotasi negatif meski tidak semua buruk.
Bisa jadi ada hubungan kekerabatan oleh pejabat politik yang justru semakin mensiner-gikan upaya untuk menyejahterakan rakyat di wilayahnya. Artinya rakyat akan happydipimpin oleh dinasti itu. Apa yang terjadi di Banten adalah pelajaran penting bagi kita semua bahwa dinasti politik itu akan sangat mudah berubah menjadi dinasti korupsi. Dengan begitu, usaha untuk mencegahnya dengan peraturan dan undang-undang sangat bisa dipahami dalam konteks Indonesia.
(nfl)