Fokus sebelum pemilu
A
A
A
PEMILIHAN Umum (Pemilu) Anggota DPR, DPD, dan DPRD 2014 kian dekat. Terhitung tidak sampai enam bulan lagi bangsa ini akan menjelang gelaran demokrasi akbar tersebut pada 9 April 2014.
Berbagai pihak baik para calon anggota legislatif (caleg), Komisi Pemilihan Umum (KPU), partai politik (parpol), pemerintah, bahkan media massa sudah menyiapkan langkahnya masing-masing untuk mengantisipasi berbagai perubahan dalam suasana politik yang kian dinamis.
Rakyat pun tak kalah antusiasnya menyambut pemilu dan sedari jauh-jauh hari mulai menunjukkan level partisipasi politiknya yang kian terbuka kemungkinannya dalam suasana keterbukaan informasi dan mudahnya mengakses media sosial. Politik bukan lagi milik para elite. Politik sudah menjadi konsumsi publik.
Namun dengan makin dekatnya pemilu, tentu fokus pihak-pihak terkait sudah habis untuk gelaran ini. Karena terutama bagi para politisi, pemilu adalah ajang pertaruhan hidup mati. Baik anggota DPR/DPRD incumbent atau para politisi yang berjuang untuk menjadi anggota legislatif, kemenangan adalah segalanya.
Semua hal lainnya bisa menunggu, tapi kampanye untuk menjamin kemenangannya menjadi tujuan utama. Bagi para elite politik nasional, mereka tak akan dianggap sebagai siapa-siapa jika tidak berhasil masuk ke gelanggang Senayan sebagai anggota DPR RI.
Sekalipun masih ada kesempatan lain untuk menunjukkan eksistensi seperti menjadi menteri, namun pilihan itu tidak lebih pasti dibandingkan menjadi anggota DPR yang tak memerlukan restu presiden. Elite tingkat lokal pun sama, tak akan berarti rasanya sebagai politisi jika tak masuk ke gedung parlemen daerah.
Habisnya fokus para anggota Dewan baik di tingkat pusat atau tingkat daerah tentu sangat berbahaya bagi sehatnya perpolitikan Indonesia. DPR/DPRD yang salah satu fungsi utamanya sebagai lembaga pengawas pemerintah (eksekutif) akan terpecah perhatiannya.
Para anggota Dewan akan cenderung tidak mengawasi segala tindaktanduk eksekutif kecuali untuk hal-hal atau kebijakan-kebijakan yang secara pragmatis berpotensi merugikannya atau parpolnya. Para anggota Dewan sudah sangat sibuk untuk berkampanye di daerah pemilihan (dapil) masing-masing.
Mereka cenderung tidak peduli lagi pada berbagai proses perundang-undangan yang berjalan di parlemen, kecuali tentunya berkaitan langsung dengan kepentingannya. Lihat saja gedung DPR di Senayan yang kian sepi dari aktivitas anggota Dewan. Dalam hal ini, sudah barang tentu rakyatlah yang menjadi pihak yang dirugikan.
Ketika fokus para anggota Dewan masih cukup besar pada proses legislatif dan pengawasan saja sudah banyak terjadi kebobolan dan berbagai blunder politik, apalagi ketika fokus itu terbagi. Terlebih belakangan ini fungsi legislatif DPR RI merosot jauh dengan menjadikan produktivitas pembuatan undang-undang (UU) sebagai indikatornya.
Pada tahun 2013 ini terdapat 70 Rancangan Undang-Undang yang tercantum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Namun terhitung hingga akhir November tahun ini, DPR baru menelurkan 23 UU saja. Dari 23 UU baru itu, ternyata 11 di antaranya terkait dengan pemekaran daerah, 2 merupakan ratifikasi perjanjian internasional, dan 2 lainnya terkait APBN.
Sayangnya, kita belum punya aturan yang cukup efektif untuk menghukum para wakil rakyat yang menghabiskan waktu yang harusnya milik rakyat itu demi kepentingan pragmatisnya. Namun, rakyat tentu harusnya tak boleh hilang akal. Banyak hal yang bisa dilakukan, salah satunya melakukan penghukuman sosial.
Sebagai contoh kalau ada anggota Dewan yang aktif melakukan kampanye terselubung di dapilnya pada hari kerja Senin-Jumat, bisa saja diunggah ke berbagai media sosial yang ada. Keramaian yang ditimbulkan di media sosial akan menjadi sinyal bagi para anggota Dewan bahwa tindak-tanduknya diawasi sehingga tidak bisa seenaknya saja.
Demokrasi bisa berjalan efektif jika rakyat ikut berperan aktif menjalankannya. Selain aktif dalam ikut pemilu, salah satu cara terbaik untuk membuat demokrasi efektif dan mendatangkan kemaslahatan bagi umat adalah dengan melakukan pengawasan terhadap para wakil rakyat.
Berbagai pihak baik para calon anggota legislatif (caleg), Komisi Pemilihan Umum (KPU), partai politik (parpol), pemerintah, bahkan media massa sudah menyiapkan langkahnya masing-masing untuk mengantisipasi berbagai perubahan dalam suasana politik yang kian dinamis.
Rakyat pun tak kalah antusiasnya menyambut pemilu dan sedari jauh-jauh hari mulai menunjukkan level partisipasi politiknya yang kian terbuka kemungkinannya dalam suasana keterbukaan informasi dan mudahnya mengakses media sosial. Politik bukan lagi milik para elite. Politik sudah menjadi konsumsi publik.
Namun dengan makin dekatnya pemilu, tentu fokus pihak-pihak terkait sudah habis untuk gelaran ini. Karena terutama bagi para politisi, pemilu adalah ajang pertaruhan hidup mati. Baik anggota DPR/DPRD incumbent atau para politisi yang berjuang untuk menjadi anggota legislatif, kemenangan adalah segalanya.
Semua hal lainnya bisa menunggu, tapi kampanye untuk menjamin kemenangannya menjadi tujuan utama. Bagi para elite politik nasional, mereka tak akan dianggap sebagai siapa-siapa jika tidak berhasil masuk ke gelanggang Senayan sebagai anggota DPR RI.
Sekalipun masih ada kesempatan lain untuk menunjukkan eksistensi seperti menjadi menteri, namun pilihan itu tidak lebih pasti dibandingkan menjadi anggota DPR yang tak memerlukan restu presiden. Elite tingkat lokal pun sama, tak akan berarti rasanya sebagai politisi jika tak masuk ke gedung parlemen daerah.
Habisnya fokus para anggota Dewan baik di tingkat pusat atau tingkat daerah tentu sangat berbahaya bagi sehatnya perpolitikan Indonesia. DPR/DPRD yang salah satu fungsi utamanya sebagai lembaga pengawas pemerintah (eksekutif) akan terpecah perhatiannya.
Para anggota Dewan akan cenderung tidak mengawasi segala tindaktanduk eksekutif kecuali untuk hal-hal atau kebijakan-kebijakan yang secara pragmatis berpotensi merugikannya atau parpolnya. Para anggota Dewan sudah sangat sibuk untuk berkampanye di daerah pemilihan (dapil) masing-masing.
Mereka cenderung tidak peduli lagi pada berbagai proses perundang-undangan yang berjalan di parlemen, kecuali tentunya berkaitan langsung dengan kepentingannya. Lihat saja gedung DPR di Senayan yang kian sepi dari aktivitas anggota Dewan. Dalam hal ini, sudah barang tentu rakyatlah yang menjadi pihak yang dirugikan.
Ketika fokus para anggota Dewan masih cukup besar pada proses legislatif dan pengawasan saja sudah banyak terjadi kebobolan dan berbagai blunder politik, apalagi ketika fokus itu terbagi. Terlebih belakangan ini fungsi legislatif DPR RI merosot jauh dengan menjadikan produktivitas pembuatan undang-undang (UU) sebagai indikatornya.
Pada tahun 2013 ini terdapat 70 Rancangan Undang-Undang yang tercantum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Namun terhitung hingga akhir November tahun ini, DPR baru menelurkan 23 UU saja. Dari 23 UU baru itu, ternyata 11 di antaranya terkait dengan pemekaran daerah, 2 merupakan ratifikasi perjanjian internasional, dan 2 lainnya terkait APBN.
Sayangnya, kita belum punya aturan yang cukup efektif untuk menghukum para wakil rakyat yang menghabiskan waktu yang harusnya milik rakyat itu demi kepentingan pragmatisnya. Namun, rakyat tentu harusnya tak boleh hilang akal. Banyak hal yang bisa dilakukan, salah satunya melakukan penghukuman sosial.
Sebagai contoh kalau ada anggota Dewan yang aktif melakukan kampanye terselubung di dapilnya pada hari kerja Senin-Jumat, bisa saja diunggah ke berbagai media sosial yang ada. Keramaian yang ditimbulkan di media sosial akan menjadi sinyal bagi para anggota Dewan bahwa tindak-tanduknya diawasi sehingga tidak bisa seenaknya saja.
Demokrasi bisa berjalan efektif jika rakyat ikut berperan aktif menjalankannya. Selain aktif dalam ikut pemilu, salah satu cara terbaik untuk membuat demokrasi efektif dan mendatangkan kemaslahatan bagi umat adalah dengan melakukan pengawasan terhadap para wakil rakyat.
(nfl)