Teori tak ikut Teori Konstitusi

Sabtu, 14 Desember 2013 - 09:32 WIB
Teori tak ikut Teori...
Teori tak ikut Teori Konstitusi
A A A
TIDAK dapat dibantah, saat ini negara kita terjebak dalam karut-marut atau kemelut yang mencemaskan. Meski pertumbuhan ekonomi kita secara nasional cukup baik, namun perkembangan index ratio gini kita sangat mengkhawatirkan karena distribusinya sangat timpang.

Jumlah penduduk miskin mencapai 12,5% dalam ukuran kita, sementara index ratio gini melonjak dari 0,20 pada era Orde Baru menjadi 0,41 pada tahun 2013 ini. Menurut teori, jika index ratio gini 0,50 bisa terjadi huru-hara sosial. Di bidang politik dan pemerintahan, kita terjebak dalam kolusi-kolusi dan korupsi-korupsi yang berkepanjangan.

Banyak yang menilai, komando dan dirigen pemerintahan kita tidak jelas, sehingga berbagai sektor pemerintahan terkesan dibiarkan berjalan dan mengambil risiko sendiri-sendiri. Sistem pemerintahan yang ada sekarang dianggap tidak efektif dan justru mengacaukan ketatanegaraan kita. Muncullah berbagai penilaian bahwa amendemen atas UUD 1945 merupakan langkah yang salah.

Isi UUD hasil amendemen tidak benar dan jelek. Ada yang mengatakan bahwa kesalahan UUD 1945 hasil amendemen karena pilihan isinya tidak mengikuti teori Trias Politica yang murni. Ada juga yang bilang karena tidak mengikuti sistem Amerika dengan sistem presidensial murninya atau Inggris dengan parlementer murninya. Kata mereka, sistem pemerintahan kita banci, tidak parlementer, dan tidak presidensial, melainkan presidensial dengan rasa parlementer.

Memang benar, negara kita sekarang karutmarut karena instrumen-instrumen konstitusional tidak bekerja efektif sebagai sistem. Tetapi saya tidak setuju pada penilaian bahwa karut-marut itu disebabkan oleh kesalahan konstitusi hasil amendemen, apalagi jika dikatakan karena konstitusi kita tidak ikut teori murni. Bagi saya, teori yang paling murni dalam ilmu konstitusi adalah ”teori bahwa konstitusi suatu negara tidak harus mengikuti teori apa pun”.

Meminjam ungkapan begawan konstitusi, KC Wheare, di dalam karyanya, Modern Constitutions, isi konstitusi adalah resultan atau kesepakatan dari faktor politik, sosial, ekonomi, dan budaya pada waktu dan tempat tertentu. Konstitusi dibuat berdasar kebutuhan masing-masing, minimal ada modifikasi-modifikasi sesuai dengan kebutuhan domestik masing-masing.

Tidak pernah ada yang mengikuti teori murni. Begitu juga tidak ada keharusan untuk mengikuti atau tidak mengikuti konstitusi yang berlaku di negara tertentu. Yang dibuat sendirilah yang berlaku sebagai konstitusi. Bisa saja yang dibuat sendiri itu merupakan modifikasi dari teori-teori dan praktik yang berlaku di negara lain yang disesuaikan dengan kebutuhan.

Dalam pada itu, yang disebut teori murni itu sebenarnya tidak benar-benar ada. Teori Trias Politica, misalnya, tidak pernah jelas mana yang disebut murni. Semula pemisahan kekuasaan ke dalam tiga poros itu diajarkan oleh John Locke ketika mengatakan bahwa agar tidak terjadi absolutisme kekuasaan harus dipisah ke dalam legislatif, eksekutif, dan federatif.

Kemudian diikuti oleh Montesquieu dengan memodifikasi ke dalam tiga kekuasaan yang agak berbeda yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Immanuel Kant-lah yang kemudian memberi nama Trias Politica. Implementasi pemisahan kekuasaan itu ke dalam sistem pemerintahan kemudian muncul secara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan masing-masing negara.

Di Amerika Serikat muncul sistem presidensial, di Inggris berlaku sistem parlementer, di Swiss berlaku sistem badan pekerja, di Prancis dan Jerman muncul sistem campuran. Yang mana yang murni? Tidak ada yang murni dalam arti diterima sebagai teori yang berlaku universal. Semua membuat sendirisendiri sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Dengan demikian, tidak ada ketentuan bahwa konstitusi harus dibuat sesuai dengan teori tertentu, sebab isi konstitusi itu adalah yang disepakati saja oleh bangsa yang bersangkutan atau oleh lembaga resmi yang berwenang membuatnya. Untuk Indonesia, dulu UUD 1945 dibuat berdasarkan kesepakatan para pendiri negara yang tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPK).

Para pendiri negara seperti Soekarno, Soekiman, Soepomo, Hatta pun mengatakan bahwa kita membuat konstitusi kita sendiri yang berbeda dari yang ada di negara-negara lain. Konstitusi RIS 1945 dibuat berdasar kebutuhan pada saat itu sesuai dengan hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Begitu pula UUDS 1950 dibuat berdasar kesepakatan para pemimpin bangsa pada tahun 1950 itu.

Konstituante hasil Pemilu 1955 mencoba membuat konstitusi sendiri, tetapi gagal merampungkan tugasnya karena keburu keluar Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945. Adapun MPR hasil Pemilu 1999 telah mencapai kesepakatan (resultante) memberlakukan UUD 1945 hasil amendemen yang berlaku sekarang ini. Tidak ada konstitusi yang secara kategoris bisa disebut baik atau jelek, benar atau salah.

Yang ada adalah resultan atau kesepakatan para pembentuknya. Karena telah disepakati itulah konstitusi mengikat untuk ditaati. Kalau mau dibuat yang baru dengan amendemen lagi atau kembali ke UUD 1945 yang asli juga boleh, asal disepakati.

Tetapi pastilah, apa pun hasil kesepakatan baru itu, nanti ada yang mengkritik lagi. Karut-marut ketatanegaraan di negara kita ini bukan karena konstitusinya salah atau jelek, tetapi karena implementasinya oleh para penyelenggara yang korup.

MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7603 seconds (0.1#10.140)