RD, mundur atau dicopot
A
A
A
KALAU RD (Rahmad Darmawan) tidak mundur itu kebangetan! Demikian salah satu komentar di sebuah situs berita mengomentari kekalahan telak Timnas U-23 dari Thailand (1-4) dalam laga SEA Games 2013 di Myanmar kemarin petang.
Kekalahan ini menambah catatan buruk tim ini dalam berbagai pertandingan resmi maupun uji coba—sekaligus menumpuk rasa malu penggemar bola di Tanah Air dan bangsa ini. Dalam pertandingan, kekalahan adalah hal biasa. Apalagi skor buruk kontra Negeri Gajah Putih itu tidak serta-merta menyingkirkan Andik Vermansyah dkk karena SEA Games menggunakan sistem setengah kompetisi.
Tapi melihat materi pemain, strategi, dan semangat bertanding, siapa pun pasti pesimistis timnas akan melaju ke babak selanjutnya, apalagi tampil sebagai juara seperti ditargetkan RD. Kecuali jika ada 11 dewi fortuna turun dari langit membawa keberuntungan untuk timnas. Mengapa kualitas Timnas U-23 memprihatinkan? Mengapa permainan yang mereka pertontonkan seolah baru belajar sepak bola? Mengapa kualitas mereka tidak lebih dari kelas tarkam?
Padahal, para punggawa yang mengisi timnas seperti Kurnia Meiga, Diego Michiels, Alfin Tuasalamony, Egi Melgiansyah, Andik Vermansyah dkk, konon, merupakan bibit terbaik bangsa ini. Padahal, mereka inilah yang akan menyambut tongkat estafet sepak bola nasional ke depan, menggantikan para senior mereka.
Tentu siapa pun tidak bisa membayangkan muka bangsa ini akan ditaruh di mana jika kelak tim nol prestasi dan nir-kebanggaan ini bertarung dalam berbagai event internasional yang mempertaruhkan harga diri Garuda. Masyarakat pun pasti akan memilih meninggalkan mereka ketimbang merasa mulas dan harus terus-menerus memproduksi sumpah serapah menyaksikan suguhan permainan yang sangat memalukan.
Melihat fakta yang ada, Badan Tim Nasional (BTN) dan PSSI sudah pasti tidak boleh berdiam diri, kecuali para pengurus menguasai otoritas sepak bola nasional tersebut bermuka bebal menghadapi berbagai kritikan yang muncul, atau kecuali para pembesar ini hanya menganggap penguasaan di lembaga tersebut hanya sebagai pertaruhan gengsi dan adu kuat permainan politik belaka.
Jika mereka benar-benar ingin memajukan prestasi sepak bola nasional, tiada lagi pilihan selain melakukan perombakan—dengan titik krusialnya sang pelatih, RD. Atau syukur-syukur pelatih yang kini menukangi Persebaya Surabaya itu merespons aspirasi masyarakat dengan suka rela mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kegagalannya memimpin Timnas U-23.
Mengapa RD merupakan sumber masalah yang harus dibereskan? Kalau yang dipersoalkan materi pemain, mengapa punggawa Timnas U-19 yang direkrut dari berbagai penjuru kampung mampu menunjukkan kualitas membanggakan? Kalau masalahnya pemain tidak mampu menerapkan taktik dan strategi pelatih, mengapa Evan Dimas dkk bisa bermain seperti gaya FC Barcelona? Atau, kalau persoalannya fisik pemain Indonesia lemah, mengapa anak didik Indra Sjafrie mampu bermain trengginas selama 120 menit penuh?
Kalau biang masalahnya pemain Indonesia tidak mempunyai semangat bertanding dan bermental pecundang, mengapa anak muda dari keluarga serba kekurangan seperti Muhammad Fatchurohman, Muhamad Sahrul Kurniawan, dan Zulfiandi semangatnya begitu menggelora hingga mampu mempersembahkan juara AFF 2013, mengalahkan raksasa Korea Selatan pada Kualifikasi Piala Asia U-19?
Indra Sjafrie yang dianggap pelatih kelas dua dibanding RD ternyata mampu mencari talenta terbaik, meracik strategi yang sesuai karakter pemain Tanah Air, meningkatkan stamina pemain, memberi motivasi, memimpin pemain menjadi sang juara, dan memberikan kebanggaan pada bangsa. Fakta apa lagi yang dibutuhkan untuk menyimpulkan bahwa biang masalah ada pada sang pelatih?
Memang RD bisa berkilah dengan seribu alasan seperti jadwal pemusatan yang mepet, tidak mempunyai striker, atau komunikasi antarpemain yang buruk. Bukankah semua masalah tersebut merupakan tugas pelatih? Kalau masalah tersebut tidak pernah terselesaikan dan terus berulang dan berulang, tidak ada lagi kesimpulan selain RD memang tidak profesional dan patut diganti!
Kekalahan ini menambah catatan buruk tim ini dalam berbagai pertandingan resmi maupun uji coba—sekaligus menumpuk rasa malu penggemar bola di Tanah Air dan bangsa ini. Dalam pertandingan, kekalahan adalah hal biasa. Apalagi skor buruk kontra Negeri Gajah Putih itu tidak serta-merta menyingkirkan Andik Vermansyah dkk karena SEA Games menggunakan sistem setengah kompetisi.
Tapi melihat materi pemain, strategi, dan semangat bertanding, siapa pun pasti pesimistis timnas akan melaju ke babak selanjutnya, apalagi tampil sebagai juara seperti ditargetkan RD. Kecuali jika ada 11 dewi fortuna turun dari langit membawa keberuntungan untuk timnas. Mengapa kualitas Timnas U-23 memprihatinkan? Mengapa permainan yang mereka pertontonkan seolah baru belajar sepak bola? Mengapa kualitas mereka tidak lebih dari kelas tarkam?
Padahal, para punggawa yang mengisi timnas seperti Kurnia Meiga, Diego Michiels, Alfin Tuasalamony, Egi Melgiansyah, Andik Vermansyah dkk, konon, merupakan bibit terbaik bangsa ini. Padahal, mereka inilah yang akan menyambut tongkat estafet sepak bola nasional ke depan, menggantikan para senior mereka.
Tentu siapa pun tidak bisa membayangkan muka bangsa ini akan ditaruh di mana jika kelak tim nol prestasi dan nir-kebanggaan ini bertarung dalam berbagai event internasional yang mempertaruhkan harga diri Garuda. Masyarakat pun pasti akan memilih meninggalkan mereka ketimbang merasa mulas dan harus terus-menerus memproduksi sumpah serapah menyaksikan suguhan permainan yang sangat memalukan.
Melihat fakta yang ada, Badan Tim Nasional (BTN) dan PSSI sudah pasti tidak boleh berdiam diri, kecuali para pengurus menguasai otoritas sepak bola nasional tersebut bermuka bebal menghadapi berbagai kritikan yang muncul, atau kecuali para pembesar ini hanya menganggap penguasaan di lembaga tersebut hanya sebagai pertaruhan gengsi dan adu kuat permainan politik belaka.
Jika mereka benar-benar ingin memajukan prestasi sepak bola nasional, tiada lagi pilihan selain melakukan perombakan—dengan titik krusialnya sang pelatih, RD. Atau syukur-syukur pelatih yang kini menukangi Persebaya Surabaya itu merespons aspirasi masyarakat dengan suka rela mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kegagalannya memimpin Timnas U-23.
Mengapa RD merupakan sumber masalah yang harus dibereskan? Kalau yang dipersoalkan materi pemain, mengapa punggawa Timnas U-19 yang direkrut dari berbagai penjuru kampung mampu menunjukkan kualitas membanggakan? Kalau masalahnya pemain tidak mampu menerapkan taktik dan strategi pelatih, mengapa Evan Dimas dkk bisa bermain seperti gaya FC Barcelona? Atau, kalau persoalannya fisik pemain Indonesia lemah, mengapa anak didik Indra Sjafrie mampu bermain trengginas selama 120 menit penuh?
Kalau biang masalahnya pemain Indonesia tidak mempunyai semangat bertanding dan bermental pecundang, mengapa anak muda dari keluarga serba kekurangan seperti Muhammad Fatchurohman, Muhamad Sahrul Kurniawan, dan Zulfiandi semangatnya begitu menggelora hingga mampu mempersembahkan juara AFF 2013, mengalahkan raksasa Korea Selatan pada Kualifikasi Piala Asia U-19?
Indra Sjafrie yang dianggap pelatih kelas dua dibanding RD ternyata mampu mencari talenta terbaik, meracik strategi yang sesuai karakter pemain Tanah Air, meningkatkan stamina pemain, memberi motivasi, memimpin pemain menjadi sang juara, dan memberikan kebanggaan pada bangsa. Fakta apa lagi yang dibutuhkan untuk menyimpulkan bahwa biang masalah ada pada sang pelatih?
Memang RD bisa berkilah dengan seribu alasan seperti jadwal pemusatan yang mepet, tidak mempunyai striker, atau komunikasi antarpemain yang buruk. Bukankah semua masalah tersebut merupakan tugas pelatih? Kalau masalah tersebut tidak pernah terselesaikan dan terus berulang dan berulang, tidak ada lagi kesimpulan selain RD memang tidak profesional dan patut diganti!
(nfl)