Ekspor mineral dihentikan
A
A
A
KEBIJAKAN pelarangan ekspor mineral mentah tak bisa ditawar lagi. Pemerintah bersiap menindak tegas perusahaan yang melanggar kebijakan tersebut. Sanksinya adalah mencabut izin operasi perusahaan.
Konsekuensi dari kebijakan yang berlaku efektif pada 12 Januari tahun depan ini akan berpengaruh terhadap pemasukan pendapatan pemerintah. Namun, tidak menjadi masalah karena pemerintah meyakini kerugian yang timbul hanya bersifat sementara, dan untuk jangka panjang potensi keuntungan sudah bisa diprediksi. Hanya, bagaimana pemerintah mengantisipasi dampak lain yang bakal menyertai kebijakan tersebut, seperti aksi penyelundupan dan membangun ketegasan aparat berwenang di lapangan.
Demi mengatasi kekhawatiran maraknya aksi penyelundupan, pemerintah akan meningkatkan pemantauan terhadap pelabuhan tikus yang sering dijadikan pintu keluar-masuk barang ilegal. Selain itu, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara tidak akan menerbitkan izin ekspor. Jadi, kalau di lapangan masih ada mineral mentah yang diperdagangkan keluar negeri alias diekspor, sudah pasti ilegal.
Apabila kebijakan tersebut berlaku efektif tahun depan, pemerintah sudah menghitung sekitar Rp10 triliun bakal hilang per tahun. Namun, pada 2016 kebijakan tersebut sudah akan berbuah manis. Saat ini pendapatan di sektor mineral tercatat sebesar USD4,9 miliar dan dua tahun ke depan (2016) diprediksi mencapai USD9,1 miliar.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) volume ekspor bijih nikel tercatat sebanyak 46,5 juta ton, biji dan pasir besi sekitar 16,11 juta ton, bauksit sebesar 47,01 juta ton, dan konsentrat tembaga sebanyak 1,02 juta ton. Peningkatan pendapatan tersebut dikontribusi oleh proses mineral mentah yang diolah sebelum ekspor yang mendongkrak nilai jualnya.
Sejak diwacanakan, perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan sudah mulai gaduh mempertanyakan kebijakan ini. Namun, kegaduhan itu tak bisa menghentikan pemerintah membahas kebijakan larangan ekspor mineral mentah, bahkan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kali ini sama-sama tegas bahwa kebijakan tersebut harus diwujudkan.
Kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah itu merujuk pada Undang Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Jika UU tersebut tidak dilaksanakan berarti itu sebuah pelanggaran. Dalam UU itu mengamanatkan perusahan tidak boleh mengekspor mineral mentah sebelum ada pengolahan.
Kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (minerba). UU ini mengamanatkan perusahaan tidak boleh mengekspor mineral mentah sebelum ada pengolahan. Penolakan terhadap kebijakan ini sempat berhembus dari pihak Kamar Dagang dan Industri (Kadin) namun Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Hatta Rajasa tak bersedia mengakomodasinya.
Pemerintah menilai pelarangan ekspor mineral mentah itu tidak melanggar aturan organisasi perdagangan dunia (World Trade Organization/WTO). Memang, pihak Jepang sempat keberatan dengan kebijakan tersebut namun pemerintah menjelaskan bahwa kebijakan melarang ekspor bukan berarti tidak boleh menjual mineral keluar negeri.
Pemerintah meminta perusahaan tambang mengolah dulu mineral mentah sebelum mengekspornya. Pengolahan mineral mentah di dalam negeri diyakini pemerintah bakal menghasilkan nilai jual yang lebih tinggi dibanding hanya mengekspor mineral mentah. Kebijakan ini juga akan mendorong pertumbuhan smelter. Saat ini terdapat sebanyak 28 smelteryang dalam tahap pembangunan dan sebanyak 10 smelter akan beroperasi pada tahun depan.
Dengan demikian, tak ada alasan bagi perusahaan tambang berhenti beroperasi karena tak bisa melakukan ekspor. Perusahaan tambang yang tidak memiliki smelter bisa menjual produknya pada perusahaan yang mengoperasikan smelter. Pemerintah harus tegas demi pemanfaatan sumber daya alam yang lebih maksimal.
Konsekuensi dari kebijakan yang berlaku efektif pada 12 Januari tahun depan ini akan berpengaruh terhadap pemasukan pendapatan pemerintah. Namun, tidak menjadi masalah karena pemerintah meyakini kerugian yang timbul hanya bersifat sementara, dan untuk jangka panjang potensi keuntungan sudah bisa diprediksi. Hanya, bagaimana pemerintah mengantisipasi dampak lain yang bakal menyertai kebijakan tersebut, seperti aksi penyelundupan dan membangun ketegasan aparat berwenang di lapangan.
Demi mengatasi kekhawatiran maraknya aksi penyelundupan, pemerintah akan meningkatkan pemantauan terhadap pelabuhan tikus yang sering dijadikan pintu keluar-masuk barang ilegal. Selain itu, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara tidak akan menerbitkan izin ekspor. Jadi, kalau di lapangan masih ada mineral mentah yang diperdagangkan keluar negeri alias diekspor, sudah pasti ilegal.
Apabila kebijakan tersebut berlaku efektif tahun depan, pemerintah sudah menghitung sekitar Rp10 triliun bakal hilang per tahun. Namun, pada 2016 kebijakan tersebut sudah akan berbuah manis. Saat ini pendapatan di sektor mineral tercatat sebesar USD4,9 miliar dan dua tahun ke depan (2016) diprediksi mencapai USD9,1 miliar.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) volume ekspor bijih nikel tercatat sebanyak 46,5 juta ton, biji dan pasir besi sekitar 16,11 juta ton, bauksit sebesar 47,01 juta ton, dan konsentrat tembaga sebanyak 1,02 juta ton. Peningkatan pendapatan tersebut dikontribusi oleh proses mineral mentah yang diolah sebelum ekspor yang mendongkrak nilai jualnya.
Sejak diwacanakan, perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan sudah mulai gaduh mempertanyakan kebijakan ini. Namun, kegaduhan itu tak bisa menghentikan pemerintah membahas kebijakan larangan ekspor mineral mentah, bahkan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kali ini sama-sama tegas bahwa kebijakan tersebut harus diwujudkan.
Kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah itu merujuk pada Undang Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Jika UU tersebut tidak dilaksanakan berarti itu sebuah pelanggaran. Dalam UU itu mengamanatkan perusahan tidak boleh mengekspor mineral mentah sebelum ada pengolahan.
Kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (minerba). UU ini mengamanatkan perusahaan tidak boleh mengekspor mineral mentah sebelum ada pengolahan. Penolakan terhadap kebijakan ini sempat berhembus dari pihak Kamar Dagang dan Industri (Kadin) namun Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Hatta Rajasa tak bersedia mengakomodasinya.
Pemerintah menilai pelarangan ekspor mineral mentah itu tidak melanggar aturan organisasi perdagangan dunia (World Trade Organization/WTO). Memang, pihak Jepang sempat keberatan dengan kebijakan tersebut namun pemerintah menjelaskan bahwa kebijakan melarang ekspor bukan berarti tidak boleh menjual mineral keluar negeri.
Pemerintah meminta perusahaan tambang mengolah dulu mineral mentah sebelum mengekspornya. Pengolahan mineral mentah di dalam negeri diyakini pemerintah bakal menghasilkan nilai jual yang lebih tinggi dibanding hanya mengekspor mineral mentah. Kebijakan ini juga akan mendorong pertumbuhan smelter. Saat ini terdapat sebanyak 28 smelteryang dalam tahap pembangunan dan sebanyak 10 smelter akan beroperasi pada tahun depan.
Dengan demikian, tak ada alasan bagi perusahaan tambang berhenti beroperasi karena tak bisa melakukan ekspor. Perusahaan tambang yang tidak memiliki smelter bisa menjual produknya pada perusahaan yang mengoperasikan smelter. Pemerintah harus tegas demi pemanfaatan sumber daya alam yang lebih maksimal.
(nfl)